Mohon tunggu...
Anton 99
Anton 99 Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer at the University of Garut

Express yourself, practice writing at will and be creative for the benefit of anyone

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mahar Dalam Pernikahan, Apakah Suatu Keharusan atau Kewajiban?

17 Maret 2022   16:40 Diperbarui: 18 Maret 2022   22:21 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan, yang juga dapat disebut harta atau manfaat yang diberikan oleh seorang mempelai pria dengan sebab pernikahan.

Mahar juga bisa dikatakan sebagai bentuk penyerahan dari pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang berupa harta, sesuatu yang berharga atau dalam bentuk lain yang memiliki nilai manfaat karena adanya ikatan perkawinan.

Bentuk, jenis dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam hukum perkawinan yang sesuai ajaran Islam, tetapi kedua mempelai dianjurkan untuk bermusyawarah dalam menyepakati mahar yang akan diberikan saat menikah itu.

Adapun istilah lain yang populer dimasyarakat, seringkali disebut dengan maskawin yang seolah-olah setiap mahar yang diberikan laki-laki selalu berupa emas, meskipun pada kenyataannya seringkali hanya seperangkat alat shalat.

Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak di nikahi telah dibeli seperti layaknya barang. Pemberian mahar dalam ajaran islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat, martabat dan derajat kaum perempuan yang pada zaman jahiliyah dulu telah diinjak-injak harga dirinya.

Melihat dari asal katanya, mahar berasal dari bahasa Arab yang termasuk pada kata benda bentuk abstrak atau masdar, yakni "mahram" atau kata kerjanya yakni fi'il dari mahara-yamhuru-mahran.

Lalu, di bakukan dengan kata benda "mufrad" yakni al-mahr dan sekarang sudah di Indonesia kan dengan kata yang sama yaitu mahar. Karena kebiasaan masyarakat di negara kita, penyerahan mahar dengan benda bernilai yaitu "mas" (emas), maka seringkali disebut dengan maskawin.

Dasar hukum dari adanya mahar dalam suatu perkawinan, terdiri atas dasar dalil pada Al-Qur'an dan As-Shunnah. Dilengkapi pula oleh pendapat para ulama dan ahli fiqh tentang kewajiban menyerahkan mahar oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.

Gambar 1 : ayat Al-Qur'an tentang maskawin
Gambar 1 : ayat Al-Qur'an tentang maskawin

"Oleh karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berikanlah mahar (maskawin) mereka menurut yang patut (pantas)"

Dalam ayat diatas, disampaikan dengan menggunakan kata "ajrun" atau "ujurahuna". Istilah tersebut yang makna asalnya adalah upah, dalam konteks ayat diatas bermakna mahar atau maskawin bagi hamba sahaya perempuan yang hendak di nikahinya, yang di samping harus atas seizin tuannya (orang tua/walinya), juga harus dibayarkan untuk maharnya.

Ketika mengkaji ayat tadi, dapat pula dipahami bahwa dari sisi kesetaraan, ajaran islam telah melakukannya secara adil termasuk tidak adanya perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan perempuan merdeka, terutama dalam upaya membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan sosial maupun budaya.

Selanjutnya, dinyatakan dalam salah satu hadits Muttafaqun'Alaih yang berbunyi :

Gambar 2 : hadits tentang mahar
Gambar 2 : hadits tentang mahar

"Yang paling membawa berkah adalah wanita yang paling sedikit maharnya" 

Maka, keterangan ayat dan hadits ini menjadi salah satu dasar dan dalil bahwa kedudukan mahar dalam suatu perkawinan adalah wajib bagi setiap laki-laki yang harus di bayarkan kepada perempuan yang hendak di nikahinya.

Ayat Al-Qur'an maupun hadits yang disampaikan tadi, merupakan salah satu contoh saja tentang dalil mahar, sebenarnya masih banyak ayat Al-Qur'an maupun hadits shahih yang bisa dijadikan dasar tentang tentang ketentuan wajibnya dalam menunaikan mahar bagi pria yang akan menikahi perempuan yang dicintainya.

Keharusan dalam membayar mahar bagi mempelai laki-laki tidaklah otomatis mewajibkan bentuk dan jenisnya. Jenis maupun bentuk dari mahar serta besar atau kecilnya tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan.

Hanya saja, mahar dengan jenis yang sederhana dan murah menandakan sebaik-baik pernikahan dan sebaik-baik perempuan yang akan menjadi pendamping hidup suaminya.

Karena mahar ini merupakan hak mempelai wanita, maka pihak mempelai wanita dapat memilih dan menentukan maharnya. Ia tentunya berhak untuk meminta mahar dalam jumlah yang besar atau pun kecil.

Seorang perempuan yang akan di nikahi berhak meminta mahar kepada calon suaminya dalam bentuk apapun seperti emas, rumah, tanah, mobil, uang dan bentuk manfaat lainnya.

Sebaiknya mengutamakan nilai manfaat dan kebermanfaatan bagi dirinya dalam menentukan permintaan mahar, calon suami harus ikhlash dan ridhlo dalam menyerahkan mahar yang sesuai dengan keinginan calon istrinya.

Akan tetapi hendaknya tetap berpedoman pada sifat kesederhanaan, kemulyaan dan kemudahan yang telah dianjurkan oleh ajaran syari'at islam, dalam hal maskawin ajaran agama Islam tidak menetapkan jumlah, besar dan kecilnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun