Ajengan itu terheran-heran dan terbengong-bengong melihatnya, tapi karena rasa kantuk yang menggelayut dikelopak mata masih menyelimutinya iapun segera kembali ke dalam rumah sambil geleng-geleng kepala dan melanjutkan kembali tidurnya.Â
Keesokan harinya, tanpa disangka ia melihat di halaman rumahnya itu terdapat bekas kaki manusia dan bercak-bercak darah yang sudah agak mengering, ia heran sambil bertanya dalam hati "semalam itu ada apa gerangan?"Â
Lantas berbicara sendiri seperti seolah bergumam "oh iya, sepertinya dua orang yang malam itu kayak terluka dan melarikan diri pasti maling!", akhirnya Iapun yakin bahwa dua orang yang terlihat berjatuhan dan berlari itu sebagai penjahat (pencuri) yang akan melakukan pencurian, karena memang saat itu dirumahnya sedang memiliki banyak padi hasil panen beberapa hari kebelakang.Â
Ia pun teringat akan tongkat kayu Kaboa Sancang miliknya pemberian dari Kuncen Sancang yang suka di pakainya apabila bepergian dan sudah biasa jika mau masuk rumah sengaja ditancapkan di tanah depan halaman rumah dengan niat sebagai penjagaan.Â
Karena sang ajeungan merasa yakin, bahwa kayu miliknya itu berisi khodam harimau Sancang yang tinggal pada tiap ruas kayu Kaboa Sancang yang sudah dibentuk menjadi sebuah tongkat dengan jumlah ruasnya sebanyak tujuh ruas.Â
Sebagaimana pernah dijelaskan kuncen Sancang kepadanya saat memberikan, bahwa "itek' yang dikasihkan adalah kayu kaboa Sancang memiliki 7 ruas yang di dalamnya berisi 7 harimau Sancang.
Memiliki khasiat nyata untuk penjagaan, daya tolak dan keselamatan bagi pemiliknya dari berbagai gangguan fisik maupun gangguan gaib yang datang kepadanya.
Sang kuncen pernah mewanti-wanti agar itek pemberiannya selalu di bawa kemanapun ajeungan pergi, apabila sampai dirumah agar menancapkannya di halaman atau menyandarkannya di depan rumah.
Amanat dari kuncen itu, ia laksanakan dan sudah menjadi kebiasaan. Berangkat kemanapun itek kayu kaboa selalu dipakai nya dan jika sudah kembali kerumah maka di sandarkan di bagian depan rumah atau ditancapkan di depan halaman rumahnya yang memang masih hamparan tanah merah yang alami.
Beliau ini seorang tokoh agama dan mengabdikan diri pada masyarakat sebagai guru ngaji di kampung dengan nama populer "Abah Empud" atau biasa dipanggil "Ajengan Empud" yang memang suka berkunjung kerumah kakek dan nenek untuk sekedar silaturahim dan bercerita "ngaler ngidul" tentang apa saja yang pernah dialaminya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H