Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintah yang Bingung Menentukan Sikap tentang Pangan

26 Mei 2016   10:26 Diperbarui: 26 Mei 2016   10:33 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih segar di pikiran kita, ketika harga pangan naik tinggi beberapa bulan yang lalu. Jagung sampai 6500-7000 per kg. Waktu itu, impor jagung dihentikan sepihak oleh pemerintah. Salah satu alasan Mentan, Amran Sulaiman, karena harga pembelian di petani terlalu rendah. Jagung yang sudah tiba di pelabuhan surabaya, tidak boleh keluar dari gudang. Meski harga jagung melambung dan protes dari pabrik pakan dan peternak berdatangan, mentan koppig, keras kepala. Lalu, kemudian mentan melakukan impor sendiri, via Bulog. Dan jagung yang ditahan kemudian diijinkan keluar dari pelabuhan.

Lalu, apakah keadaan jagung sekarang baik? Harga jagung dibeli peternak berkisar 5000 per kg, pada saat ini. Berapa sebenarnya harga yang wajar dari jagung? 3000 kah, 4000 kah, atau 5000? Menurut perhitungan kewajaran, dengan memperhitungkan keuntungan petani dan peternak serta daya beli masyarakat atas produk pangan yang berhubungan langsung dengan jagung, menurut saya 3500 - 4000 adalah harga yang wajar. Ketika mentan mengambil tindakan untuk menghentikan impor, apa sebenarnya yang ada di dalam benak beliau? Apakah Mentan berniat menaikkan harga jagung setinggi-tingginya? Bukankah ini akan menimbulkan efek domino? Harga ayam dan telur ayam tentu akan naik. Rakyat sebelah mana yang sedang dibela?

Ketika Bulog diikutsertakan dalam ketahanan pangan, dan kuota impor kepada pengusaha swasta sama sekali ditutup, maka kita perlu melihat, apakah tujuan Mentan tercapai, atau ini hanya 'uji coba' saja? Salah satu alasan Mentan ketika itu adalah harga beli di tingkat petani yang hanya 1800. Di Sumatera Utara, harga jagung sangat transparan. Bahkan di tingkat petani sekalipun, harga pabrik pakan hanya sejauh telepon. Harga jagung pada saat itu, pipil kering adalah 3200 per kg. 

Saya merasa bingung, sambil menulis saya bertambah bingung, karena belum mendapat alur logika dari penanganan pangan dari mentan. Kalau Mentan ingin menciptakan suatu sistem perdagangan pangan yang sehat, kenapa harga pangan kita tidak masih tinggi? Kenapa sesudah daging dan jagung diserahkan ke Bulog, harga masih tinggi? Sama saja dengan ketika impor dipegan swasta? Ada apa ini?

Beberapa hari yang lalu, JOKOWI mengatakan dengan jungkir balikpun harga daging harus di bawah 80.000 per kg nya. Apakah di bawah 80.000 adalah harga yang wajar? Apakah peternak akan gulung tikar dengan harga ini? Apakah biaya penggemukan sapi tertutupi dengan harga 80.000?

Sebenarnya, pemerintah ini, mau menaikkan harga pangan demi peternak dan petani, ataukah menurunkan harga pangan demi masyarakat Republik Indonesia yang mengkonsumsi hasil produksi pertanian dan peternakan? Atau hanya sekedar latah saja, tergantung situasi? Kalau masyarakat takut harga daging naik di bulan puasa, maka pemerintah mengumumkan harga daging akan turun?

Melihat tata kelola pangan di Indonesia, saya berpendapat, Indonesia semakin menuju ke sistem sosialis. Ketika pemerintah tidak mampu untuk berperan tepat dalam sistem perdagangan pangan, maka karena merasa lebih gampang 'mengontrol' bulog, maka semua kuota impor dibuang ke bulog. Meskipun kemudian harga pangan tidak lebih baik, pemerintah tidak peduli. Meski keadaan menjadi lebih buruk, pemerintah pun tidak peduli. Satu alasan klasik, ada kartel yang mau dimusnahkan, ada monopoli, dsb nya. Kalau ada beberapa importir yang telah secara rutin selama bertahun-tahun melakukan impor karena mampu secara finansial dan memiliki network yang cukup, kenapa mentan tidak bisa membina mereka? Ingat, sebelum mentan mengambil tindakan, harga jagung masih 3500! Harga yang wajar! Lalu memfitnah pedagang jagung sebagai monopoli jahat adalah hal yang wajar saja? Saya tidak tahu, apakah para pengusaha itu adalah dari etnis tertentu? Apakah ada unsur sara? Wallahualam, apa masih jamannya main sara?

Sekarang, Presiden meminta supaya harga daging turun. Maaf, ya, Pak, siapa yang menalangi kerugian peternak dan pedagang daging? 

Lalu, bagaimana pemerintah seharusnya berperan?

Peranan pemerintah dalam sistem perdagangan pangan harus menjadi penyeimbang dan mengupgrade sistem yang ada menjadi lebih sehat dan kuat. Bukan turut menjadi 'pemain' atau malahan menjadi 'pemain utama'. Meski, fungsi intervensi ketika keadaan pasar sedang genting, harus tetap ada.

Saya berikan contoh tentang daging. Selama ini, sumber daging kita adalah dari penggemukan. Kita mengimpor anakan, digemukkan dan kemudian dijual. Semua biaya produksi bisa dihitung. Dari tempat pemeliharaan sampai dengan pangan dan transportasi serta biaya lainya, kita akan mendapatkan biaya penggemukkan per kg. Apakah sudah ada ahli nya di bidang ini? Sudah dan sudah berjalan. Apakah bijaksana apabila mereka dimatikan?

Jadi, sesudah pemerintah bersama peternak menghitung, maka pemerintah boleh menghimbau supaya harga daging dijual di harga tertentu. Atau, boleh juga pemerintah membuat regulasi, bahwa 30 persen dari hasil ternak wajib dijual ke pemeritah (apabila pemerintah merasa perlu membeli) dengan harga yang disepakati. Umpamanya, modal 50 ribu, maka harga penjualan 70.000. Dan untuk situasi musiman, seperti natal, lebaran, pemerintah bisa melakukan pembelian dari peternak dan melakukan operasi pasar. Bisa saja demi kepentingan umum, pemerintah membuat regulasinya. Di sanalah peranan Bulog seharusnya diberikan. 

Lalu, demi mengurangi ketergantungan impor anakan sapi, kenapa pemerintah dengan para ahlinya dan Bulog tidak membuat peternakan yang hasil produksinya adalah anakan sapi? Jelas, pemerintah mempunyai akses yang lebih besar dan kapital yang cukup untuk melakukan pembiakan sapi secara besar-besaran. Tetapi, pemerintah sebaiknya tidak rebutan dengan swasta dalam hal impor sapi dan daging.

Contoh lainnya, tentang jagung. Ketika Mentan mengeluh harga jagung di tingkat petani terlalu murah, kenapa tidak menugaskan Bulog membeli jagung dari petani? Kenapa justru kran impor yang distop? Apa hubungannya? Toh harga jagung impor dijual 3500 juga pada saat itu? Kalau pada saat itu harga jagung impor 1800, dan pengusaha membeli dari petani 1800, baru kita bisa melihat keterkaitan dari distopnya impor jagung dan harga petani. Lagi pula, harga petani yang 1800 itu pun perlu dipertanyakan. Apakah ladang petani ini sangat jauh atau sangat sulit dijangkau, ataukah petani telah dililit oleh tengkulak yang memberikan pupuk, bibit dan modal usaha dari awal? Jadi, pemerintah, seharusnya sambil membuka lahan pertanian baru, sambil mengontrol kuota impor. Untuk lahan baru diberikan keringanan berupa bibit, pupuk dan penyewaan traktor yang murah. Tidak ada gejolak, tetapi tujuan tercapai. Itu baru bener.

Mohon maaf, saya melihat Mentan lebih sedang memainkan kartu politik dari pada memperbaiki sistem perdagangan pangan. Pengusaha swasta yang ada, digencet sampai tidak mampu berusaha. Dibuatlah kesan, seakan-akan Mentan membela petani dan sedang menuju kemandirian pangan. Sekali lagi, saya bertanya, apakah dengan mematikan importir pangan, maka Indonesia akan berhasil mencapai kemandirian pangan? Kemandirian pangan akan tercapai apabila produksi pertanian mencukupi kebutuhan pangan nasional. Dan itu, kalau lahan pertanian dan sistem irigasi kita sudah cukup dan baik. Oh ya, undang-undang tentang pertanian sudah boleh diperbaharui juga. Pembatasan pengusaha besar ke bidang pertanian juga tidak akan membantu pencapaian kemandirian pangan.

Berani bertaruh tidak, harga pangan pasti naik di bulan puasa ini. Kalau harga pangan turun, suruh Ahmad dani terjun dari monas. (hehehe....), kalau harga pangan naik, nanti saya minta ahmad dani manjat monas.

Di antara cuaca yang sejuk,

Medan, 26 Mei 2016

Anto Medan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun