Mohon tunggu...
Abdurahman Hoda
Abdurahman Hoda Mohon Tunggu... Freelancer - Pria keturunan Bacan dan Gorontalo, lahir dan berdomosili di Ternate

Pria berkumis yang suka baca dan makan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gadis Kecil yang Malang

25 Juli 2020   02:29 Diperbarui: 25 Juli 2020   05:57 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pa, jangan papa"

"Aku anakmu pa!"

" Aduh pa, sakit pa, aku takut"

Ungkapan di atas, mugkin saja keluar dari mulut gadis kecil korban perkosaan seorang ayah bejat. Rintihan sedih bercampur rasa takut bisa saja membungkam mulutnya.

Kekarnya tubuh dan kuatnya cengkraman yang sudah dirasuki iblis menjadikan laku sang ayah semakin bringas. Rasa belas kasih sirna ditelan nafsu syahwatnya. Rintihan pilu sang anak tak terdengar ditelinga sang ayah, karena diselimuti oleh rayuan maut syaitan dan iblis dari berbagai penjuru. Gadis kecil yang malang itupun pasrah.

Sudah pasti, deraian air matanya akan terus mengalir dengan kepedihan yang teramat dalam. Kenikmatan sesaat yang diperoleh sang ayah, membawa petaka berkepanjangan untuk gadis kecil ini. Trauma sepanjang hidupnya. Buram masa depannya.

Hancur,- luluh berkeping-keping, keceriaan yang seyogyanya dimiliki  seorang anak untuk tumbuh dan berkembang bersama keluarganya.

Keprihatinan yang sangat dalam terhadap anak-anak korban pelecehan dan kekerasan seksual, ijinkanlah saya mengekspresikan dalam sebuah puisi agar semua kita dapat terpanggil untuk bersama-sama menghentikan KEKERASAN TERHADAP ANAK.

GADIS KECIL YANG MALANG

Di sudut ruang gadis kecil menyendiri

Tatapannya nanar,-hampa dan tak berarti

Keceriaan sirna ditelan predator tak bernurani

Luka hati membekas sampai mati

Gadis kecil itu menggigil ketakutan

Melihat lelaki asing datang, ia lari ketakutan

Trauma hidup semakin menakutkan

Di kamar sepi ia histeris ketakutan

Oh, gadis kecil yang malang.-

***

Puisi di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa sangat berat kehidupan yang akan dilalui dari seorang anak yang mengalami tindakan kekerasan ataupun pelecehan yang dialaminya. Masa kecil yang harus disi dengan keceriaan semuanya sirna.

Bayangkan saja, jika gadis kecil itu adalah anak kita. Kita akan mengalami trauma yang sama seperti gadis kecil itu. Naudzubika minzalik.

Untuk itu, dalam suasana Hari Anak Nasional yang telah diperingati 23 Juli lalu, marilah kita bersama-sama mengatakan "Stop Kekerasan dan Pelecehan pada Anak". Ikrar ini harus kita jaga, jangan lengah. Predator-predator pedofolia selalu bergentayangan.

Kasus pelecehan anak, hampir setiap saat kita dengar dan ikuti di media cetak maupun elektronik. Bisa saja, berita ini hanya teori gunung es (iceberg theory) yang nampak kecil di permukaan tapi sesungguhnya akar permasalahan yang tidak nampak sangat besar terpendam di dalam laut. Kasus-kasus korban pelecehan anak dalam keluarga bisa saja disembunyikan karena malu.

Bisa juga terjadi seorang anak gadis memendam perbuatan pelecehan atas dirinya karena diancam atau disuap pelaku. Bahkan bisa saja terjadi gertakan pelaku yang mengatakan bahwa laporan atau ceritera si korban akan membuat malu kelurga sehingga dia harus bungkam seribu bahasa.

Namun dalam kondisi seperti ini, orang tua bisa saja memperhatikan sang anak jika terjadi korban kekerasan seksual misalnya dengan meperhatikan tingkah laku sang anak seperti perubahan suasana hati dan nafsu makan, sulit konsentrasi dan belajar, mengalami mimpi buruk, sering ngompol di celana, atau yang paling menonjol adalah sulit berjalan atau duduk karena nyeri di areal genital atau anus.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melansir bahwa data kekerasan anak selama tahun 2019 sebanyak 123 anak yang mengalami korban kekerasa yang terdiri dari 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki, yang lebih memprihatinkan lagi bahwa kasus ini sebagian besar terjadi di dunia pendidikan yang notabenenya adalah garda depan untuk menjaga moralitas bangsa ini. 

Dari 21 kasus dengan 123 korban, 90% pelakunya adalah guru dan 10% adalah kepala sekolah. Nah, sebagai orang tua kita harus berbuat apa? Ketika anak-anak kita sudah limpahkan ke sekolah dengan keyakinan 100% agar pihak sekolah dapat memberikan pendidikan dan pengajaran yang layak. Namun dibelakang itu, terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.

Sekali lagi saya harus katakan, keikhtiaran kita harus tetap dikedepankan. Anak-anak kita perlu dibekali dengan pendidikan keluarga yang mumpuni, tidak serta merta melimpahkan tanggungjawab sepenuhnya pada sekolah.

Kita selaku orangtua harus memastikan anak memiliki hubungan dan lingkungan yang aman dan terjaga. Sebisa mungkin anak selalu dalam jangkauan pengawasan kita, jalin komunikasi yang baik dengannya sehingga dengan leluasa anak akan menyampaikan informasi secara jujur dan terbuka dengan kita, dengan demikian anak merasa bahwa orangtua merupakan benteng perlindungan yang kuat dalam hidupmya.

Pada akhir tulisan ini saya ingin juga menyampaikan sebuah sajak tentang anak dengan judul:

Senyuman Gadis Kecilku

Bibir mungil itu tersungging seyuman

Senyum manis dalam keluguan ratapan

Terkadang semu dalam senyuman

Sesekali senyuman terbalut semu

Syukurlah,  kamu sudah bisa senyum gadis kecilku

Kejadian yang telah merenggut keceriaanmu setahun lalu

Kini kamu telah tersenyum

Tersenyum teruslah gadisku

Karena di ujung senyum ada asa menanti

Bangkitlah dan songsong masa depanmu wahai gadis kecilku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun