Namun dalam kondisi seperti ini, orang tua bisa saja memperhatikan sang anak jika terjadi korban kekerasan seksual misalnya dengan meperhatikan tingkah laku sang anak seperti perubahan suasana hati dan nafsu makan, sulit konsentrasi dan belajar, mengalami mimpi buruk, sering ngompol di celana, atau yang paling menonjol adalah sulit berjalan atau duduk karena nyeri di areal genital atau anus.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melansir bahwa data kekerasan anak selama tahun 2019 sebanyak 123 anak yang mengalami korban kekerasa yang terdiri dari 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki, yang lebih memprihatinkan lagi bahwa kasus ini sebagian besar terjadi di dunia pendidikan yang notabenenya adalah garda depan untuk menjaga moralitas bangsa ini.Â
Dari 21 kasus dengan 123 korban, 90% pelakunya adalah guru dan 10% adalah kepala sekolah. Nah, sebagai orang tua kita harus berbuat apa? Ketika anak-anak kita sudah limpahkan ke sekolah dengan keyakinan 100% agar pihak sekolah dapat memberikan pendidikan dan pengajaran yang layak. Namun dibelakang itu, terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.
Sekali lagi saya harus katakan, keikhtiaran kita harus tetap dikedepankan. Anak-anak kita perlu dibekali dengan pendidikan keluarga yang mumpuni, tidak serta merta melimpahkan tanggungjawab sepenuhnya pada sekolah.
Kita selaku orangtua harus memastikan anak memiliki hubungan dan lingkungan yang aman dan terjaga. Sebisa mungkin anak selalu dalam jangkauan pengawasan kita, jalin komunikasi yang baik dengannya sehingga dengan leluasa anak akan menyampaikan informasi secara jujur dan terbuka dengan kita, dengan demikian anak merasa bahwa orangtua merupakan benteng perlindungan yang kuat dalam hidupmya.
Pada akhir tulisan ini saya ingin juga menyampaikan sebuah sajak tentang anak dengan judul:
Senyuman Gadis Kecilku
Bibir mungil itu tersungging seyuman
Senyum manis dalam keluguan ratapan
Terkadang semu dalam senyuman
Sesekali senyuman terbalut semu