Tionghoa di sepanjang masa merupakan pemasyarakatan petani pemuja rembulan. Setelah jerih payah menggarap ladangnya di bawah terik matahari, sewaktu santai beristirahat di waktu malam bulan purnama, sering mengenangkan sanak famili maupun kampung halaman asal mereka yang berada di kejauhan, dengan demikian juga sering menitipkan harapan-harapan mereka kepada rembulan, supaya diberkahi kebahagiaan dalam percintaan, kerukunan serumah tangga, keberuntungan panen yang berlimpah, banyak rejeki, banyak anak dan keturunan. Berdasarkan irama peredaran bulan pun menjadikan kalender Imlik mereka.
Ketimbang matahari yang sudah pasti timbul setiap hari, mereka harus menunggu tibanya waktu bulan purnama. Demikianlah timbul adat persembahan pada langit pada setiap bulan baru tanggal 1 dan bulan purnama tanggal 15 Imlik.
Setelah selama itu tulus bersembahyang pada langit, tak sia-sia diberkahi turun hujan yang cukup menyuburkan pertanian, sehingga menghasilkan panen yang berlimpah, pantas mereka lebih memuja kemurahan hati Dewi Rembulan. Â
Rembulan yang kebetulan juga tampaknya jauh lebih besar dan terang sewaktu panen, sebelum mereka mengerti itu sekedar fenomena alam dimana bulan sedang mendekati bumi di musim rontok, dianggap pertanda bekal kemakmuran, ini menambahkan perasaan sukur dan riang gembira dibawah bulan purnama, sehingga perlu dirayakan secara besar-besaran yang menjadikan tradisi Tiong Ciu, yang sekarang disebut Festival Bulan.
Tiong artinya bertepatan, ciu adalah panen, yang jatuh pada bulan purnama pada tanggal 15 bulan ke-8 Imlik. Karena masa panen di musim rontok, sehingga tiong ciu pada umumnya diartikan "dipertengahan musim rontok" .
Adat rakyat jelata merayakan panen ini kemudian menjadi upacara para raja bersembahyang pada Dewi Rembulan di malam Tiong Ciu. Sejauh 3000 tahun lalu, Maharaja Dinasti Zhou membawa seluruh keluarga dan pejabat tingginya menyuguhi kue basah, semangka dan labu kuning kepada Dewi Rembulan, upacara begini diteruskan dari dinasti ke dinasti.
Setiap festival Tionghoa tidak ketinggalan satu makanan khas yang sudah menjadi ketentuannya. Ada 3 perayaan besar Tionghoa dalam setahun Imlik, pertama-tama makan ronde pada hari raya Cap-go-meh, keduanya makan bacang pada hari raya Peh-cun, dan ketiganya, yang ini Tiong Ciu dirayakan dengan kue bulan.
Demikianlah pada malam ini kita makan saja kue bulan, Tiong Ciu Pia. Sabar, letakkan dahulu kue itu diatas meja, masih ada ceritanya.
Terlalu banyak penafsiran asal muasal Tiong Ciu Pia, sehingga menarik perhatian sejarahwan Tiongkok jaman sekarang untuk meluruskan riwayatnya, sedemikian pun juga bukan satu hal yang mudah memastikan cerita mana yang benar dan mana yang kurang bisa dipercaya. Satu hal yang pasti, kue bulan itu bukan merupakan makanan semula dalam masyarakat petani ribuan tahun lalu, karena kue atau pia itu adalah hasil impor dikemudian hari.
Makan umbi talas atau bentul itulah yang asli dari semulanya, sekitar 3000 tahun lalu, sewaktu petani berpanen gandum juga pada saat itu sedang membuahnya talas dan bentul dirawa-rawa, yang siap untuk diambil begitu saja, selain menjadikan bahan pangan tambahan bagi mereka, juga bisa diolah menjadi berbagai hidangan kue-kue pedesaan di musim itu. Bersama makan buah umbi ini juga, tidak lepas dibumbui kepercayaan dan cerita sejarah yang bersangkutan dengan Tiong Ciu.
Alkisah di permulaan abad pertama Masehi, Tionghoa Han sedang hancur lebur dalam kekuasaan para panglima perang, diantaranya ada gerombolan Wang Mang yang hampir memusnahkan Dinasti Han yang pernah jaya itu. Dari sisa-sisa bangsawan Han yang sedang berlarian, muncul seorang keturunan raja yang berdiri mempertahankannya dan menentang serangan pasukan Wang Mang di utaranya sungai Yellow River di Shandong, namun pasukan Liu Xiu ini tidak mengimbangi kekuatan Wang Mang, dan dikepojokan di suatu kaki gunung. Sudah terkepung dan kehabisan makanan, sekarang menghadapi Wang Mang yang serentak hendak memusnahkan mereka dengan serangan bumi hangus, membakar hutan disekitarnya.
Menggunakan taktik ilmu jiwa, mati-matian menyerbu keluar atau hanya menunggu kebakar mati, Liu Xiu berhasil membangkitkan semangat sisa serdadunya untuk berani mati menerobos keluar kepungan, dan ternyata mereka menang memundurkan pasukan Wang Mang yang ganas itu. Seketika itu juga, dibawah sinar bulan purnama, mereka menemukan buah bentul dan talas yang terbakar dimana-mana, rasanya lezat dimakan dan segera membereskan kelaparan pasukannya.
Bersukurlah Liu Xiu yang kemudian naik tahta mendirikan Kaisaryah Han Timur yang lebih jaya, dari tahun 25 sampai 220 Masehi, dan menjadikan makan bentul/talas kebiasaan dalam perayaan Festival Bulan, karena malam kemenangan perang tadi kebetulan Tiong Ciu.
Sampai sekarang makan talas dan bentul masih merupakan keharusan Tiong Ciu, yang dipercaya bisa menangkis kesialan dan mencegah tidak keberuntungan dalam keluarga Tionghoa.
Pesta apa yang tidak pakai minuman arak? Demikian pula bagi bangsa Tionghoa yang merupakan cabang bangsa asal Mesopotamia, Persia sekarang, nenek moyang yang dari sana juga membawakan kepandaian meragi dan membuat arak.
Pohon seruni di bulan ini juga sedang semarak berbunga yang sedap dan wangi, maka dibuatlah arak aroma seruni yang khas untuk mengiringi pesta dalam Festival Bulan. Mungkin karena itu, timbullah bayangan pohon seruni besar yang tampak dipermukaan rembulan, beserta cerita dongeng Putri Rembulan dan Kelinci Giok.
Sampai disini cukuplah menceritakan asal muasal Tiong Ciu, sekarang terus ke kue pia saja.
Pia dibuat dari butiran adonan tepung dan air yang diisi ramuan pasir kacang hijau dan gula didalamnya, lalu digepengkan dan dipanggang menjadi bentuk kue. Ini bukan dari semula dibuat untuk merayakan Tiong Ciu, itu adalah bahan suguhan buat sembahyang pada Dewa Petir.
Dipercaya kue pia ini merupakan suatu modifikasi dari roti atau nan yang asalnya dari Persia, yang dibawa kembali oleh Zhang Qian, duta besar Tionghoa Han Barat sewaktu diutus ke Sogdiana pada abad 2 Sebelum Masehi. Dia memberi tambahan isi biji wijen, kenari dan manisan kering dari sana yang menjadikan kue pia Barbar, ho-pia, penamaan yang berarti kue asal dari orang Persia yang berkumis lebat.
Seperti biasa pada malam Tiong Ciu tersebut, Maharaja Tang Xuan-zong dan Rani Agung Yang Gui-fei bersama keluarga dan pejabat tinggi beramai-ramai merayakannya di Summer Palace, Hua-qing-gong di Lishan. Di atas mejanya tersedia banyak buah-buahan tradisi untuk Festival Bulan, seperti labu kuning, semangka, buah anggur dan lain-lain, juga dihidangkan berbagai camilan kue-kue dan pia.
Yang Gui-fei sambil menikmati acara tarian yang disukai, sambil mengambil sebiji pia dan hanya dicicipi sedikit, ternyata pia tersebut rasanya sangat enak dan dia menyukainya, terus membisik kepada Maharaja, "Pia apa ini?" "Gak tahu."
Sang raja segera menanyakan pada orang-orang disitu, tidak ada yang mengenalnya juga, hingga kokinya dipanggil menghadap. Kata koki tersebut, ini adalah kue pia Barbar, ho-pia, kue biasa dikalangan rakyat jelata, hanya saja belum pernah masuk ke istana.
Maharaja merasa kue pia yang sampai selir kesayangannya bisa menyukainya tetapi mempunyai nama yang tidak anggun, tidak pantas disebut pia Barbar yang artinya pia orang berkumis. Mengalingkan kepalanya kepada Gui-fei, menanyakan supaya bisa memberi nama sepantasnya.
Sementara itu, Gui-fei mengangkat pia dengan 2 jari mungilnya dan membandingkannya ke terang bulan di langit, lalu keluar dari mulutnya, "Pia, Bulan." Maka sejak saat itu juga resmi kelahirannya Kue Bulan, Tiong Ciu Pia.
Pernah muncul legenda Kue Bulan ini tersangkut dalam revolusi Tionghoa menjatuhkan kekuasaan Tartar Mongol di abad 13.
Pada akhir kekuasaan Tartar Mongol di Tiongkok, rakyat memberontak atas kekerasan pemerintahannya, dimana ada seorang pemberontak yang bernama Zhang Shi-cheng menggunakan adat makan Tiong Ciu Pia, dia menyelipkan kertas tulisan didalam setiap pia yang diedarkan untuk memanggil Tionghoa berontak bersama pada malam purnama itu, dia yakin bisa berhasil propagandanya itu, karena Mongol pantang makan daging babi yang merupakan isi pia pada jaman itu. Dengan demikian Mongol dijatuhkan oleh Tionghoa Ming.
Dari penyidikan sejarahwan Tiongkok sekarang, tidak bisa menemukan ketulenan dasar legenda tersebut diatas, sekian lama cerita yang menarik itu sudah menyebar ternyata hanya salah kaprah, sekarang sudah dinyatakan tidak bisa dipercaya, alias hoax.
Munculnya cerita dongeng Putri Rembulan Chang'e dan Kelinci Giok di jaman Tionghoa Ming (1368-1644), sekarang lebih menambah warna keindahan perayaan Tiong Ciu. (kompasiana.com/anthonytjio/ada kelinci di rembulan)
Satu, Tiong Ciu Pia khas Tanglang dari Hokkian, yang merupakan keturunan asli ho-pia dari Dinasti Tang. Ini yang bentuknya seperti cakram, berkulit tebal putih yang dipermukaan depannya ada cap merek atau tulisan merah. Berisikan coklat, keju, ananas, durian, campuran kenari mede dan apa saja, kecuali yang semestinya isi bentul.
Demi kesehatan umum konsumer, Tiong Ciu Pia jaman sekarang sudah tidak lagi memakai bahan minyak babi, sehingga tidak pantang untuk memakainya dalam merayakan Festival Bulan bersama.
Tiong Ciu jatuh pada malam 4 Oktober 2017 tahun ini.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio.
Monterey Park, CA. 23 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H