Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Dibelakang Ikatan Dasi

14 Juni 2017   01:49 Diperbarui: 14 Juni 2017   11:18 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu pagi hari Sabtu 60 tahun lalu, kami sudah bersih mandi dan berpakaian rapih siap untuk Sabat di Sekolah Menengah Adventist Cisarua, Bandung. Buat saya yang beberapa hari saja baru masuk di SMP kelas 1 sekolahan Amerika itu, adalah pertama kali untuk mengikuti jamaah dengan keharusan seragam hem putih lengan panjang dan memakai dasi.

Semua murid se-asrama kampus sudah siap, kecuali saya sendirian yang merasa bodoh dan terdiam dimuka mereka. Meskipun memang pernah melihat orang yang mengenakan dasi, tetapi belum pernah untuk diri sendiri, lagi pula saya memang tidak punya persediaannya.

Teman sekelas yang semua berasalkan Batak dan Tapanuli, seketika itu satu persatu mendekati saya dengan dasi ditangannya, untuk meminjamkan dasinya masing-masing kepada saya. Salah satu mereka malah menggantungkan saja dasinya dileher saya.

Saat ini kedatangan Mr. Thomas, wakil kepala sekolah asal dari California, yang menengok kami apa sudah siap untuk menuju ke chapel. Dia terhenti setelah kelihatan saya yang masih memegang ujung-ujung dasi diatas leher, dan dia mengerti apa masalahnya.

Terasa ada seorang Amerika sungguh-sunguh yang bukan dilayar bioskop berdiri dimuka saya untuk pertama kalinya dalam hidup ini. Tinggi, putih, rambut merah berombak dan berkaca mata keren, dengan senyuman yang ramah menatap mata saya dan berkata dengan suara yang menenangkan kecemasan, “Here we go” (beginilah), dan menuntun tangan saya untuk mengenakan dasi itu serapih mungkin. Pelajaran mengikat dasi sekali itu yang terus merekat dalam ingatan sampai hari ini.

Melilitkan dasi di leher pria merupakan kebiasaan orang Barat sehari-hari, dan secara keharusan didalam fungsi sosial tertentu, kita sewaktu-waktu juga mengikuti ragam hias ini. Dari mana asal usulnya? Dibawah ini ceritanya.

(gambar peta diambil dari Travel for Two)
(gambar peta diambil dari Travel for Two)
(gambar peta diambil dari Travel for Two)

Resminya dasi itu namanya Cravat, karena, terlahir di Croatia pada abad 17 Masehi, tepatnya di daerah Dalmatia, ditepi Laut Adriatika seberang Italia, dibagian timur Eropah. Disana juga ada hari raya kelahirannya pada tanggal 18 Oktober. Sempat menelusuri asal usulnya disana pada bulan lalu.

Bila bangsa kita diapit serdadu Dalmatian di Dubrovnik, Croatia. (foto dari Peter Hanadi)
Bila bangsa kita diapit serdadu Dalmatian di Dubrovnik, Croatia. (foto dari Peter Hanadi)
Bila bangsa kita diapit serdadu Dalmatian di Dubrovnik, Croatia. (foto dari Peter Hanadi)

Diatas bumi ini memang ada 3 bangsa jenis raksasa, yaitu orang-orang Viking, Belanda dan Dalmatian, mereka terlahir pejuang. Berabad-abad Dalmatian menggigih mempertahankan tanah airnya dari serangan Roman, Mongol dan Ottoman, seterusnya bila dimasa damai dinegerinya, mereka menjadi tentara bayaran dimana saja dibutuhkan.

Konon ada perang saudara di Perancis pada jaman Louis XIII dalam tahun 1630an, didatangkan tentara bayaran Dalmatian dari Croatia untuk membantu sang raja melawan pemberontakan tentara ibundanya sendiri, Ratu Marie de’Medici. Serdadu Dalmatian itu pada mengenakan syal merah yang diikatkan dilehernya.

Ikatan dasi tradisional serdadu di Zagreb, ibukota Croatia. (foto:dokumen pribadi AH Tjio)
Ikatan dasi tradisional serdadu di Zagreb, ibukota Croatia. (foto:dokumen pribadi AH Tjio)
Ikatan dasi tradisional serdadu di Zagreb, ibukota Croatia. (foto:dokumen pribadi AH Tjio)

Itu bukan ikatan sembarang syal, tetapi diatasnya ada kata-kata pesanan, supaya jangan lupa pulang dengan selamat, yang ditulis dan diikatkan oleh sang istri maupun kekasih masing-masing sebelum keberangkatan mereka. 

Kegagahan pasukan Dalmatian yang mengenakan syal flamboyan dileher mereka menarik perhatian masyarakat Perancis disana. Segera ditiru dan menjadikan mode hiasan pria Paris, dan disebutlah itu “cravate” dari kata aslinya “Hrvat”, yaitu Croatia sekarang.

Demikian juga cravate dijadikan perlengkapan seragam militer Prancis waktu itu, sampai ada peperangan lagi di Steenkerque dimasa Raja Louis XIV sekitar tahun 1692, sekarang syal itu menjadi bentuk pita yang dililitkan di leher dengan ikatan semrawut dan diselipkan dibelakang hem sewaktu pasukan keburu-buru masuk dalam aksi serangan. Gaya itu disebutlah “Steinkirk” dari Perang Steenkerque dan inilah yang menjelma menjadi dasi sekarang.

Kravata di Zagreb, Croatia. (foto: dokumen pribadi AH Tjio)
Kravata di Zagreb, Croatia. (foto: dokumen pribadi AH Tjio)
Kravata di Zagreb, ibukota Croatia. (foto: dokumen pribadi AH Tjio)

Ikatan steinkirk perlahan-lahan diperindah sesuai menandakan kejantanan, setelah Peperangan di Waterloo pada tahun 1815, cravat itu pada umumnya sudah disebut “tie” singkatan dari “necktie”, dan dari istilah Belanda-nya “stropdas” menjadi itu dasi.

(foto: dokumen pribadi AH Tjio)
(foto: dokumen pribadi AH Tjio)
(foto: dokumen pribadi AH Tjio)

Sewaktu memburu aurora borealis di Islandia pada permulaan tahun ini, ketemu satu gambar dinding yang mengajarkan cara mengikat dasi, ditepi satu lorong kota Reykjavik. Pada barisan pertama yang ada digambar itu, persis yang diajarkan oleh Mr. Thomas yang mengesankan dalam hidup saya ini.

Tulisan dan sebagian foto oleh: Anthony Hocktong Tjio.

Monterey Park, CA. 13 Juni 2017.

Silahkan juga membaca cerita Memburu Aurora Nan Mempesona di Islandia

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/anthonytjio/memburu-aurora-nan-mempesona-di-islandia_58a87836ce9273c73d947a40

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun