Mohon tunggu...
Anthony Tjio
Anthony Tjio Mohon Tunggu... Administrasi - Retired physician

Penggemar dan penegak ketepatan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebab Kematian Bayi Nyi Ong Tien dan Sunan Gunung Jati dari Pengertian Kedokteran Sekarang

24 September 2016   09:26 Diperbarui: 26 September 2016   05:21 7919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makam Nyi Ong Tien di Astana Gunung Jati. (gambar dari akucintanusantaraku)

Bisa jadi memang pernah jaka Syeik seorang tabib sakti menemui seorang pedagang kaya ataupun orang besar setempat yang mengakibatkan pertemuan dengan sang gadis Ong Tien, dengan atau tanpa legenda pura-pura hamilnya.

Ong Tien Nio semestinya bukan putri sendirinya pembesar tersebut. Ini ditinjau dari beberapa nama marga Ong Tien yang berlainan, Tan atau Lie. Bila namanya sekarang resminya Tan Hong Tien Nio, itu berarti nama kelahirannya dari marga Tan, sedangkan nama lain yang bermarga Lie adalah nama gantian setelah masuk dalam keluarga besar juragan sipembesar tersebut. Artinya Ong Tien bisa jadi anak angkatnya ataupun hanya gadis belian sebagai seorang pembantu rumah tangganya, yang dipanggil keluar pada saat Pak Lie menguji kesaktian Syeik dirumahnya itu.

Foto gadis Tionghoa tingkatan atas dengan kaki balutan ditahun 1901. (gambar Ren Parison)
Foto gadis Tionghoa tingkatan atas dengan kaki balutan ditahun 1901. (gambar Ren Parison)
Sepanjang ribuan tahun, dari zaman Dinasti Song diabad 10 sampai berachirnya Dinasti Qing Tionghoa pada permulaan abad 20 lalu, wanita Tionghoa terbagi 2 golongan status dalam masyarakat yang perbedaannya bagaikan langit dan bumi. Golongan bangsawan dan elite yang kakinya harus dibalut sejak kecil sehingga hanya berukuran separuh dari kaki normal dalam pertumbuhannya. Dari kecilnya kaki-kaki gadis melambangkan kecantikan dan keagungan keluarganya. Golongan rendah dan suku minoritas tidak perlu kakinya dibalut demi keperluan untuk bekerja kasar. Selain itu maksud dengan kaki kecil supaya tidak keluar bepergian, dan tidak sampai menampakkan diri dimuka umum, bila terlanggar tidak bakal ada jaka keluarga baik yang mau menikahinya. Dengan demikian, seorang pembesar seperti juragan Lie tersebut diatas, tidak mungkin mengeluarkan putrinya sendiri untuk permainan menguji Syeik dimuka umum, apa lagi kalau Pak Lie tersebut memang seorang Tionghoa raja setempat. Dengan kaki kecil tidak mungkinlah Ong Tien bisa bepergian sejauh ke Nusantara dijaman itu.

Skenario pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ong Tien diteruskan dengan kerelaan sigadis yang berbudaya, bersantun dan kritis itu diam-diam menitipkan hatinya kepada Syeik, demi merubah nasib hidupnya yang lebih baik daripada sebagai pembantu rumah tangga atau penghibur tamu keluarga besar Pak Lie. Disini latar belakang kelahiran Nyi Ong Tien yang sesungguhnya tidak diketahui, bisa jadi asal dari keluarga Tan yang kekurangan nafkah.

Sewaktu Ong Tien hanya berusia sekitar 20 tahun, dibawa bersama putri “geisha” lainnya dalam rombongan saudagar Tionghoa Tanglang atau Muslim Tionghoa Lie Guan Cang dan Lie Guan Hien dari Champa ke Nanyang yaitu Nusantara. Berlabuhlah kapal niaganya di Muarajati, Cirebon untuk bahan kaju dan hasil bumi disana, ini bisa disebabkan daerah Keratuan Singapura tersebut sudah kedatangan orang Tionghoa Tanglang (asal Hokkian) berdagang, dan kesana juga adanya saudagar besar Dampo Awang Ong Keng Hong dari Simongan yang sampai menikahi Nyai Rara Rudra adik Ki Ageng Tapa disana, atau tentunya atas undangan pribadi Syeik Syarif Hidayatullah yang sudah naik tahta Sultan disamping diangkat ulama tinggi Sunan Gunung Jati disana.

Nyi Ong Tien keturutan hatinya karena dipersembahkan kepada Sunan Gunung Jati kecintaannya, walaupun mungkin dia hanya sebagai upeti imbalan persahabatan dari saudagar Cina Champa, Lie Guan Cang kepada Sultan untuk kelancaran berniaga diwilayah Cirebon.

Begitulah tidak lama setelah pernikahan yang romantis, kedua mempelai dikaruniahi seorang bayi laki-laki yang mungil, dan diberi nama gelar Pangeran Kuningan.

Tahap ketiga: Sebab kematian sang bayi Pangeran Kuningan dan ibunya.

Semestinya bagaikan petir yang menyambar hati Sunan Gunung Jati atas kehilangan kesayangannya, sang bayi Pangeran Kuningan yang hanya sempat 4 bulan terlahir diatas bumi ini dan keburu-buru disusul ibunya 2-3 tahun kemudian.

Kematian bayi dibawah umur setahun masih ada dijaman sekarang, apalagi dizamannya Nyi dan Sunan tentunya ada dan tak terkira lebih banyaknya. Apa kemungkinan penyebabnya kematian bayi bisa diurai diberikut ini.

Dizaman feudal kaisaryah Tiongkok, tidak terhitung banyaknya kematian bayi-bayi keturunan maharaja dikalangan istana selama ribuan tahun itu. Selain dari akibat penyakit menular seperti cacar, tetanus, radang usus, radang paru-paru dan radang selaput otak yang sering melanda bayi-bayi, juga memang belum ada pengobatannya diwaktu itu, tetapi tidak kurang juga kematian putra-putra pangeran itu dari sebab “Non-accidental”. Gampangnya yaitu pembunuhan dengan diracuni, akibat kecemburuan diantara selir-selir yang berkehendakan dikemudian hari anaknya sendiri yang bisa meraih tahta kerajaan. Hal ini bukan tidak mungkin sebagai satu sebab kematian sang bayi Pangeran Kuningan di Cirebon itu. Apa iya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun