Jadi, sadari alarm itu dan tanyakan "apa layak alarm emosi ini dituruti?" Semakin disadari, semakin Anda tidak akan bertindak gegabah. Misalkan, ada seorang pembeli yang datang denga pakaian kumal dan pakai sandal ke showroom mobil. Si pembeli itu mulai nanya-nanya.
Alarm emosi penjual mulai muncul di kepalanya berupa rasa "kesel" karena profilnya yang tidak menunjukkan pembeli yang mampu beli mobil plus sikapnya yang banyak nanya.
Untungnya, si penjual itu cepat meredam "alarm emosi" ini dan mencoba tetap tenang meladeni. Ujung-ujungnya, si pembeli ini adalah juragan nyentrik yang memang lagi butuh mobil.
4. Tunda, jangan langsung merespon saat ada pemicu.
Dalam pelajaran kecerdasan emosi, ada yang namanya jeda 6 detik. Intinya, ketika ada hal yang memicu emosi, jangan langsung bertindak ataupun berkata-kata.
Seringkali, respon otomatis membuat kita menyesal. Saya pernah mempunyai peserta yang cerita pernah menampar anaknya yang baru kelas 1 SD hingga rontok giginya gara-gara menangis di mobil.
Habis itu dia merasa menyesal dengan kejadian itu hinga bertahun-tahun lamanya. Ingatlah, menunda, memberi kesempatan kepada kita buat berpikir respon apa yang terbaik.
5. Gunakan consequential thinking.
Consequential thinking artinya Anda memikirkan apa akibat lebih lanjut dari sikap, perkataan dan perbuatan yang Anda akan berikan. Umumnya kita banyak merespon secara langsung, lantas kita menyesal.
Seperti ada kisah seorang bapak yang memaki anaknya sehingga anaknya kabur dari rumah dengan motornya. Sialnya, saat di tikungan, anaknya mencoba mendahului sebuah mobil dan ada truk di depannya. Anak itupun tertabrak dan nyawanya tak tertolong.
Setelah itu, si ayah inipun begitu menyesalnya. Jadi, berpikir konsekuensial ini berarti kita memikirkan dampak dari ucapan dan perbuatan kita. Jika kita merasa akan menciptakan masalah, lebih baik kita pikirkan alternatif cara yang lain.