Elin, dapat atasan yang nggak percayaan. Ketika Omanya meninggal. Atasannya curiga. Bahkan, Elin harus membuat foto dengan wajah Omanya yang sudah meninggal, agar atasannya percaya.
Ada juga, Cindy yang kerja dibagian contact center yang harus meladeni persoalan kliennya. Mereka punya perusahaan kontak center yang membantu kliennya. Jadi kliennya yang kacau, tapi merekalah yang kadang harus meminta maaf dan dimaki-maki. Pernah Cindy dimaki sampai menangis.
Lain lagi ceritanya Pandu. Waktu masih manager awal di perusahaan barunya, ia pernah memberikan laporan soal penggunaan uang di suatu divisi ke direktur, tanpa sepengetahuan kepala divisinya. Rupanya, kepala divisi ini paling sengit orangnya dan tak ada yang berani berurusan dengannya. Pandu pun sempat disemprot habis-habisan.
Begitulah, setiap hari di kantor. Kadang ada saja, hal-hal yang memicu emosi kita. Entah yang datang dari pekerjaan itu sendiri. Entah dari pihak-pihak yang berurusan dengan kita di kantor. Bisa dari atasan, dari rekan, dari bawahan. Atau, bisa juga pihak luar, terutama customer yang merasa sudah membayar, sehingga bisa seenaknya. Kadang, itu sunggug merusak hari-hari kita dan membuat emosian!
Bayangkan saja. Sudah capek bekerja dengan berbagai tugas kerja selama 8 jam sehari. Ditambah harus "mengangkat beban emosi" juga. Maka, tak heran, banyak yang tiba di rumah dalam kondisi yang sangat exhausted, alias keletihan fisik, mental dan emosional.
Itulah sebabnya, menghadapi berbagai tantangan dan problem di tempat kerja, kita mesti bisa menjadi semacam "emotional shock absorber". Apakah emotional shock absorber ini? Kata "shock absorber" adalah kata yang banyak kita jumpai dalam otomotif. Itu adalah peredam kejut yang bisa menahan guncangan sehingga kita merasa nyaman.
Nah, di tempat kerja pun kita mesti mampu menjadi emotional shock absorber ini! Dengan demikian, berbagai kesulitan dan masalah, tidak membuat kita makin kehabisan energi, tapi masih tetap tenang dan stabil. Dan untuk itu, tentunya dibutuhkan KECERDASAN EMOSIONAL atau EQ.
Dalam buku Emotional Quality Management (EQM) yang saya tulis, EQ dimaknai sebagai "kemampuan seseorang untuk memahami emosi pada dirinya dan orang lain, serta mampu menggunakan pemahaman itu untuk sesuatu yang konstruktif".
Artinya apa? Orang-orang yang cerdas emosi, tetap saja mengalami situasi yang tidak nyaman. Tapi, dia bisa belajar, bahkan menggunakan pengalaman itu untuk belajar sesuatu yang positif dari situasi itu.
Boss yang perfeksionis, bagi orang cerdas emosi jadi melatihnya untuk lebih teliti. Sales yang menghadapi customer yang rewel tahu bahwa jika diladeni dengan baik ada kemungkinan customer itu menjadi loyal. Every cloud has a silver lining. Jadi, ia selalu berusaha mencari sisi baik dan berusaha belajar dan survive!