Mohon tunggu...
Anthonius Iwan Adhi Praja
Anthonius Iwan Adhi Praja Mohon Tunggu... -

pekerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Kekuatan Saya adalah Doa”

20 Februari 2010   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:49 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Max Etel Sumampou (53) masih tampak tegar meskipun di sebelahnya, Kifli Sumampow (18), putra sulungnya, terbaring tak berdaya dengan perban melingkar di ke dua kaki dan tangannya di ruang Instalasi Rawat Darurat (IGD) RS Kandou. Baru saja Max Etel selesai mengurus resep obat untuk anaknya. Dua juta rupiah sudah dia keluarkan untuk biaya obat dan rumah sakit.

Yohanes Sumampow , kakak Max Etel, juga ada di situ. Mereka berdua berbincang serius mengenai kondisi Kifli. Keduanya kemudian sepakat meminta suntik bius agar Kifli tidak terlalu kesakitan menahan luka-lukanya.

Kifli belum bisa diajak berbicara. Kondisinya tampak memprihatinkan. Matanya terpejam. Banyak bekas luka terlihat di wajahnya. Kayu penopang diletakkan di kedua kaki dan tangannya. "Ke dua kaki dan tangannya patah," kata Yohanes.

Malam sebelumnya, Kamis (20/11/2009), Kifli mengalami kecelakaan di Jalan Trans Sulawesi, di depan Kantor DPR Minahasa Selatan, Amurang Barat. Menurut cerita yang didengar keluarga dari saksi mata, kejadiannya bermula dari mobil yang melaju kencang hendak mendahului motor di depannya. Mobil itu menyalip dari sisi kanan melewati garis putih di tengah jalan. Dari arah berbeda, motor yang dinaiki Kifli sedang melaju. Karena laju mobil sangat cepat, keduanya kesulitan untuk mengelak. Tabrakan tak terhindarkan. "Kejadiannya pukul tujuh malam. Mobil menabraknya dari arah berlawanan," tutur ayahnya dengan sedih.

Ketegaran Max Etel mulai goyah ketika dia mendampingi anaknya menuju Ruang Foto Rontgen. Dia tidak tahan lagi melihat kondisi anaknya.

Kifli tidak bisa menahan sakit. Dia terus menerus meracau sepanjang lorong ke Ruang Foto Rontgen.

Max Etel tak kuasa lagi menahan ketegarannya. Di sepanjang lorong itu air matanya menetes. Dia menangisi anaknya yang terus menerus mengeluh kesakitan.

Kifli tidak mau dibawa pergi dari kamarnya. Dia setengah berteriak, minta supaya ayahnya tidak memindahkannya. Getaran tempat tidur membuat dia kesakitan.

"Bapak kurang apa lagi. Bapak mengusahakan yang baik buat kamu. Bapak masak, menyiapkan makanan. Kamu pulang makanan sudah siap. Kamu mengerti sedikitlah. Ini Bapak mengusahakan," kata Max Etel di sela-sela tangisnya, berusaha membujuk anaknya. Ayah dan anak itu sama-sama larut dalam tangis.

Keluarga Sumampow

Max Etel Sumampou punya tiga anak, Kifli Sumampow, Melani Sumampow, kelas enam SD, dan Misela Sumampow, baru berumur dua tahun. Keluarga ini tinggal di Kapitu, Kecamatan Amurang Barat.

Semenjak istrinya meninggal beberapa bulan lalu, Max Etel punya tugas baru di dapur. Setiap pagi dia bangun pukul enam, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Siangnya, Max Etel berangkat ke kebun jagung.

Biasanya, Kifli kebagian menimba air setiap pagi, sedangkan adiknya, Melani bertugas mencuci piring. Setelah selesai dengan tugasnya, Kifli berangkat kerja ke PT. TMC, perusahaan pembuat tepung kelapa. Dalam perjalanan pulang dari kerja itulah Kifli mengalami kecelakaan.

Menurut cerita Max Etel, melani dan Misela sangat sedih kakaknya mengalami kecelakaan. Keduanya menangis ketika melihat kondisi kakaknya.

Mungkin masih segar dalam ingatan Melani dan Misela, peristiwa beberapa bulan yang lalu. Tepatnya tanggal 12 Februari, ayah, ibu dan tantenya bersama-sama menaiki gerobak yang ditarik sapi, di Jalan Trans Sulawesi, di depan Kantor DPR Minahasa Selatan, tidak jauh dari tempat Kifli kecelakaan.

Mereka semua sedang dalam perjalanan pulang dari kebun, ketika sebuah mobil melaju dengan cepat dan menabrak gerobak itu.

Menurut Yohanes yang tau persis peristiwa itu, situasi jalan memang gelap sehingga menyulitkan pandangan pengendara. Jalan yang lurus dan rata merangsang pengemudi memacu kendaraan dengan cepat.

"Jalan ini juga sering digunakan anak-anak muda untuk kebut-kebutan," cerita seorang penduduk yang tinggal tidak jauh dari Jalan Trans Sulawesi. Akibat tabrakan itu, bukan hanya gerobaknya yang hancur, sapi penarik gerobak juga mati tertabrak.

Walaupun luka-luka, semua orang di dalam gerobak itu selamat. Sayangnya, istri Max Etel, Apresi Towonusa, keadaannya tidak kunjung membaik. Dia meninggal beberapa hari kemudian.

Yohanes sangat menyesalkan peristiwa ini. "Jalan Trans memang lebar, rata dan lurus. Oto selalu melaju kencang. Sangat membahayakan. Pemerintah seharusnya memperhatikan kondisi ini," tutur kakak Max Etel ini.

Dia berharap Jalan Trans Sulawesi diberi penerangan yang lebih baik. "Sudah banyak korban di jalan ini," tambahnya.

Setelah selesai mengantar anaknya kembali ke kamar, Max Etel tampak lebih tenang. Hampir saja dia kehilangan lagi orang yang dicintainya. Matanya masih berkaca-kaca, tetapi dia sudah kembali tegar.  "Kekuatan saya adalah doa," tuturnya setengah berbisik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun