Setelah aku membuat artikel yang berjudul "mengingat kenangan lama, Arie Hanggara 1984" aku tertarik untuk membahas artikel tentang tindakan kekerasan pada anak. Setelah di Indonesia kali ini aku akan membahas kasus yang jauh lebih menggemparkan yaitu nayoung case 2008 di negeri gingseng alias korea.
Sebelum ke pembahasan ada 1 pertanyaan yg harus kutanyakan ke kalian, Bagaimana perasaan kalian melihat anak perempuan yang masih berumur 8 tahun di perkosa namun pelaku tidak mendapatkan perlakuan hukum yang setimpal ? Perasaan itu semua akan kalian dapatkan saat menonton film hope. Namun alangkah baiknya kalian membaca artikel ini dulu yaa
Film Korea Hope ini terkadang juga disebut Wish diangkat dari kisah nyata kasus Nayoung (2008) di Korea Selatan.
Sinopsis Film Hope
Hope menceritakan kisah seorang anak perempuan berusia 8 tahun bernama Sowon (Lee Re). Ayahnya, Dong Hoon (Sol Kyung Gu) adalah pekerja pabrik. Ibunya, Mi Hee (Uhm Ji Won) membuka toko kecil di rumahnya.
Sowon digambarkan sebagai anak perempuan yang ceria dan pintar. Pada suatu pagi, hujan turun dan Sowon terlambat masuk ke sekolah karena beberapa kendala. Ibunya sibuk membuka toko dan ayahnya bersiap bekerja. Sowon dihampiri ibunya. Mi Hee ingin mengantar putrinya ke sekolah, tapi Sowon menolak dan pergi ditemani hujan.
Dalam perjalanan menuju sekolah, ia bertemu dengan laki-laki yang meminta dipayungi. Sowon lalu dibawa laki-laki itu ke sebuah gedung pembangunan dekat sekolahnya.
Di rumah, Mi Hee menerima panggilan bahwa di luar sekolah banyak sekali polisi, dan seorang perempuan ditemukan sekarat di dekat lokasi pembangunan. Kabar ini membuat Mi Hee khawatir.
Ternyata perempuan yang dimaksud adalah Sowon. Ia ditemukan dalam kondisi luka parah dan langsung dilarikan ke rumah sakit Changwon, Inspektur Polisi Seo yang menangani kasus ini menjumpai kejanggalan. Beberapa bagian tubuh Sowon mengalami goresan dan kerusakan organ dari dubur hingga usus. Sowon harus dioperasi untuk mengangkat usus besar dan usus halusnya.
Akibat dari kejadian itu Sowon harus memakai kantong kolostomi. Sowon mengalami trauma berat yang disebut dengan PTSD atau kondisi trauma setelah mengalami kejadian traumatis. Trauma tersebut membuat Sowon enggan berbicara dengan laki-laki dewasa, termasuk ayahnya sendiri. Namun Ayah Sowon tidak kehabisan akal. Dong Hoon memakai kostum kesukaan anaknya.
Hingga akhir cerita pelaku tertangkap. Namun pelaku berkilah bahwa saat itu ia mengkonsumsi minuman beralkohol. Dia mengaku tidak ingat atas kejadian itu. Karena alasan tersebut pelaku hanya dijatuhi 12 tahun penjara. Padahal 12 tahun kemudian Sowon masih berumur 20 tahun. Bagaimana nasib dia nanti jika bertemu pelaku lagi? Banyak yang menganggap hukuman ini tak setimpal namun apadaya hukum hanya bisa bergerak disitu saja.
Bagaimana keadaan sekarang ?
Pelaku bebas pada bulan Desember 2020
Berita dihebohkan dengan kabar pelaku asli yang bernama Cho Doosoon sudah bebas dari penjara saat ini. Ia sendiri adalah pelaku kekerasan dan pemerkosaan terhadap seorang cewek yang dikenal dengan nama Nayoung (Na-young - bukan nama sebenarnya - selamat. Tapi dia masih menderita luka fisik dan trauma mental akibat serangan tersebut) dan berusia 8 tahun pada saat kejadian. Saat ini korban sudah berumur 20 tahun namun masih memiliki luka dan trauma yang sama atas kejadian itu.
Apakah mabuk menjadi pembenaran dalam pengurangan hukuman ?
Kasus Cho telah menuai kritik besar-besaran terhadap sistem peradilan Korsel, karena bersikap lunak terhadap pelaku kekerasan seksual.
Dia sebenarnya dipenjara 15 tahun. Tapi pengadilan banding memotong masa tahanannya menjadi 12 tahun, dengan dalih dia dalam kondisi mabuk saat memperkosa bocah itu.
Hal itu bisa terjadi, karena di Korea Selatan, hukuman bagi kejahatan yang terjadi karena berada di bawah pengaruh alkohol akan dihukum lebih ringan.
Dalam aturan hukum pidana yang berlaku di negara itu, yaitu pada Pasal 10 ayat (2) yang dikenal sebagai "Sim Sin Mi Yak" menyebutkan, pengadilan dapat mengurangi hukuman kejahatan saat seseorang mengalami masalah mental.
Sementara itu, aturan hukum "Joo Chi Gam Hyung" menyebutkan bahwa "penyalahgunaan zat" dapat mengganggu mental seseorang.
Sejak kasus Cho bergulir, badan legislasi nasional telah mengamandemen undang-undang tersebut untuk mempersulit terdakwa menjadikan alkohol sebagai pembelaan.
Namun, ketentuan tersebut masih ada, meskipun ada seruan untuk mencabut sepenuhnya, dan penilaian mengenai "mabuk" tetap bisa digunakan atas kebijaksanaan pengadilan.
Tanggapan keluarga korban
Kami tidak ingin pergi dari sini, tapi tak ada pilihan. Saya juga ingin mengirim pesan bahwa pemerintah tak berbuat apa-apa, tapi memaksa korban untuk bersembunyi," kata ayah Na-young kepada saya, beberapa hari setelah Cho dibebaskan, setelah menjalani hukuman penjara 12 tahun setelah mendapat pengurangan masa hukuman. Keluarga juga khawatir dengan pindah tempat tinggal, identitas mereka akan terkuak. Tapi mereka merasakan bahwa hanya itulah pilihan mereka.
Tanggapan Publik
Lebih dari 600.000 orang menandatangani sebuah petisi dalam situs kepresidenan Gedung Biru, menyerukan untuk pengadilan ulang dan menolak Cho untuk berbaur lagi dengan masyarakat. Tapi pemerintah menolak seruan tersebut.
Yang membuat publik geram yaitu Cho Doosoon akan kembali ke tempat tinggalnya yang masih berada dalam satu lingkungan (di daerah Ansan) dengan kediaman korban saat ini. Dimana hanya berjarak kurang dari 1km dari kediaman nayoung.
Tidak hanya itu, masyarakat juga geram karena istri Cho Doosoon justru bersikeras membela suaminya dengan alasan lelaki tersebut 'berada di bawah pengaruh alkohol.'
Aksi protes pun bermunculan, termasuk lewat lagu berjudul 'Nayoungee' yang dirilis penyanyi R&B ALi pada 2011 dan film 'Hope' yang dibuat berdasarkan kisah tragedi Nayoung pada 2013.
Banyak warganet yang berharap hukuman Cho Doosoon diperpanjang atau dirinya dijauhkan dari Nayoung.
Tindakan Pemerintahan
Untuk meredam kemarahan publik, kepolisian berjanji untuk mengawasi Cho sepanjang waktu, memasang 35 kamera pengawas, dan mendirikan pos polisi baru di sekitar lingkungan rumah Cho. Selain itu, Cho juga akan dikenakan sebuah perangkat pemantau elektronik selama tujuh tahun.
Kepolisian juga menawarkan keluarga Na-young sebuah jam tangan pintar yang akan mendeteksi dan memberi sinyal ketika pelaku berusaha mendekati mereka. Tapi ayah Na-young mengatakan hal ini akan membuat mereka "merasa lebih cemas", dan keluarga menolak untuk menggunakan perangkat tersebut.
"Kalau jam tangan ini mengirimkan sebuah peringatan kepada anak saya, dia akan ketakutan," katanya, sambil menambahkan dia takut perangkat ini kemungkinan akan membantu orang untuk mengidentifikasi identitas anaknya sebagai korban serangan.
Mengapa tindakan kekerasan seksual tidak pernah terselesaikan ?
Dalam film ini ada beberapa adegan yang kerap kali terjadi dan menimpa korban kekerasan seksual. Seperti media dan pandangan sosial yang sering menempatkan korban seperti seorang pelaku. Hal ini terjadi di awal film menit ke 22, saat Ibu dari Im So Won mengatakan keresahannya apabila kejadian yang menimpa Im So Won diketahui banyak orang. Lalu adapula adegan menit ke 44 saat Im So Won dikejar-kejar para wartawan yang ingin mewancarainya. Diburu wartawan hingga membuatnya harus pindah ruang rawat inap dan membuatnya ketakutan. Hingga So Won bertanya pada sang ayah, “Apakah aku berbuat salah?”. Dalam kasus kekerasan seksual, korban kerap kali menjadi pihak yang juga turut disalahkan.
Pada kenyataannya diskriminasi terhadap korban kekerasan seksual memang sering terjadi, beberapa adegan diatas hanyalah segilintir contoh dari kejamnya masyarakat dan media dalam memposisikan korban kekerasan seksual. Korban yang mestinya mendapat perlindungan justru turut menjadi pihak yang disalahkan. Ada saja celah yang dijadikan alasan bagi masyarakat dalam mengatakan bahwa kekerasan seksual itu terjadi karena korban turut bersalah. Masyarakat banyak mendikte bahwa korban seharusnya tak melakukan hal-hal yang bisa menjadikannya korban kekerasan seksual. Padahal kekerasan seksual bisa disebabkan oleh apa saja dan penyebabnya. Menyalahkan korban hanya menunjukkan betapa korban kekerasan seksual tak punya perlindungan dan ruang aman untuk dirinya.
Kesimpulan dari artikel ini adalah
Pada akhirnya keluarga korban membutuhkan "perhatian yang terus menerus" karena trauma yang tak berkesudahan ini
Kurangnya perlindungan hukum dan dukungan sosial juga membuat korban memilih bungkam, tak sedikit korban menyimpan rapat-rapat Kekerasan Seksual yang menimpanya. Tak terbayangkan, betapa lelahnya korban kekerasan seksual di negeri ini yang harus berhadapan dengan pelaku, sekaligus hukum Negara yang belum berpihak pada korban.
Saran untuk pembaca : mari kita membuka mindset kita untuk memposisikan korban bukan hal yang salah karena mereka butuh dukungan bukan cacian.
Terimakasih readers sudah meluangkan membaca artikel saya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI