Setelah sekian tahun kami
belum jua sepakat siapa yang akan
pergi lebih dulu
entah sebab kami membenci perpisahan atau
terlalu malas memulai
percintaan baru
dengan orang yang akan begitu asing
—bahkan bisa terlalu asing untuk sekadar
bertukar kabar dan mengingatkan agar
jangan lupa sarapan dan makan malam.
Kami masih sama-sama
bertahan dalam sebuah ikatan yang tiada
pernah lebih baik dari rasa
sepiring nasi goreng yang kurang garam
atau terlalu banyak dibubuhi acar,
atau aroma
sebuah kebun bunga yang kekurangan
rimbun mawar atau terlalu banyak
ditumbuhi perdu liar.
Kami masih sepakat mengikat
sepasang tangan dan kaki kami
dalam jerat temali yang melarang
kami berlari ke dua arah berlawanan
: diam, jalan searah, atau
jatuh berkelukur di tanah musim kemarau
yang kering dan kesakitan.
*
Cinta, barangkali, terkadang memang
harus demikian
: kami tak harus selalu memuji
pakaian atau gaya rambut baru;
mengirim kecupan
via obrolan dan pesan instan;
merayakan hari kelahiran setiap tahun
dengan kencan di kafe, memberi kado dan kejutan.
Kami hanya harus lebih
menguatkan kekang pada tubuh masing-masing
sambil saling mengingatkan untuk tidak
sekalipun menertawai diri sendiri.
*
Suatu malam dulu, dia pernah bilang kepadaku:
"Suatu saat, Tuhan akan
menjatuhkan satu kakinya di bumi
dan menjelaskan segala alasan
kenapa ia tak jua memisahkan kita."
Aku cuma bisa bertanya-tanya dalam hati:
"Perpisahan itu apa?"
*
Kami tak pernah tahu kenapa
setelah sekian tahun kami
tak jua sepakat siapa yang akan
pergi lebih dulu
dan apakah kami sungguh-sungguh memahami
perpisahan
bahkan diri kami sendiri.
***
(Sungai Buluh, 28 Juni 2017)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI