Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gelar Akademik Kehormatan untuk Orang-orang Terhormat?!

9 Oktober 2024   23:54 Diperbarui: 10 Oktober 2024   04:21 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra

Menyaksikan diskusi di Metro TV dalam acara HotRoom yang dipandu oleh Pengacara kondang Hotman Paris, malam ini, dengan tema: Hati-hati Kampus Tak Berizin. 

Hadir dalam acara tersebut Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si, Rektor Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung, yang mewakili LLDIKTI Wilayah IV Jawa Barat, sempat memberi pernyataan bahwa pemberian gelar kehormatan dari luar negeri, harus merujuk Hukum Pendidikan Tinggi yang berlaku di Indonesia, jika tidak, maka gelar akademik kehormatan tersebut tidak sah !?  

Sudah menjadi konsumsi publik, bahwa beberapa tahun terakhir, fenomena pemberian gelar akademik kehormatan oleh institusi luar negeri kepada tokoh-tokoh publik Indonesia telah menjadi sorotan. 

Fenomena ini mengundang pertanyaan serius mengenai legitimasi dan dampaknya terhadap sistem pendidikan tinggi kita. Salah satu kasus yang mencuat adalah penerimaan gelar doktor honoris causa oleh artis terkenal Raffi Ahmad dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) yang berbasis di Thailand.

Pemberian gelar doktor kehormatan bukanlah hal baru. Gelar ini biasanya diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi atau capaian luar biasa seseorang di bidang tertentu. 

Namun, masalah timbul ketika gelar tersebut diberikan oleh institusi yang kredibilitasnya dipertanyakan. Dalam konteks ini, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia memberikan pedoman yang jelas mengenai lembaga yang memiliki otoritas untuk menganugerahkan gelar akademik.

Undang-Undang tersebut menegaskan, bahwa lembaga pendidikan tinggi yang berhak memberikan gelar akademik harus terakreditasi dan diakui oleh otoritas di negaranya. 

Hal ini penting untuk menjaga kualitas dan integritas pendidikan tinggi. Di Indonesia, akreditasi ini dilakukan oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi). Untuk itu, gelar akademik dari luar negeri diperlukan penyetaraan agar diakui secara resmi.

Universal Institute of Professional Management (UIPM) sebagai pemberi gelar ini perlu diperiksa keabsahannya. Apakah UIPM terakreditasi di negaranya, dan lebih penting lagi, apakah lembaga ini terdaftar di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia? Jika tidak, maka pengakuan gelarnya di Indonesia menjadi sangat meragukan.

Proses penyetaraan sangat penting untuk memastikan, bahwa gelar kehormatan yang diterima dari luar negeri memenuhi standar pendidikan tinggi yang berlaku. 

Hal ini juga merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari klaim-klaim akademik yang menyesatkan, yang bisa berdampak pada proses rekrutmen kerja, kredibilitas profesional, dan lebih luas lagi, pada integritas pendidikan secara keseluruhan.

Pemberian gelar kehormatan oleh lembaga yang tidak diakui dapat dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap sistem pendidikan kita. Hal ini menjadi ancaman nyata ketika gelar-gelar yang diberikan sembarangan digunakan untuk mendongkrak status sosial atau politik tanpa sumbangsih nyata pada disiplin ilmu terkait. 

Dalam banyak kasus, ini merendahkan upaya ribuan sarjana dan akademisi yang bekerja keras mendapatkan gelar mereka melalui jalan panjang pendidikan yang formal dan diakui.

Jika praktik seperti ini dibiarkan, bisa jadi akan muncul motivasi tidak sehat di kalangan generasi muda. Mereka mungkin berpikir bahwa pencapaian akademis bisa dibeli atau didapatkan dengan mudah, tidak lagi menghargai pentingnya proses pembelajaran dan penelitian yang sesungguhnya. Dalam jangka panjang, ini bisa merusak fondasi pendidikan yang sudah susah payah dibangun!?

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, masyarakat harus lebih kritis dalam menerima informasi terkait gelar akademik, terutama yang berasal dari luar negeri. 

Media massa juga berperan penting dalam memberikan informasi yang jelas dan edukatif terkait isu-isu semacam ini. Kedua, pemerintah perlu memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap pemberian gelar akademik, terutama dari institusi asing. 

Pengawasan ini harus meliputi validasi akreditasi lembaga asing, serta proses penyetaraan dan pengakuan gelar tersebut di tanah air.

Pihak akademisi juga perlu terlibat lebih aktif dalam sosialisasi dan pengecekan fakta terkait institusi atau organisasi pemberi gelar kehormatan. Menjalin kerja sama internasional yang sehat dan teruji dengan lembaga akademik luar negeri yang terpercaya juga bisa menjadi salah satu langkah strategis.

Pada akhirnya, integritas pendidikan tinggi di Indonesia sangat bergantung pada komitmen seluruh pihak untuk menjaga standar dan kualitas. Kita perlu memastikan bahwa gelar akademik yang diterima oleh warga negara Indonesia dari institusi manapun tetap memiliki makna, kehormatan, dan pengakuan yang seharusnya.

Tanpa langkah korektif yang konkret, praktek pemberian gelar kehormatan oleh lembaga yang meragukan akan terus menjadi noda hitam dalam sejarah pendidikan kita. Bukan hanya sebagai bentuk penghujatan individual tetapi juga sistemik, yang mengancam moral akademik dan profesional kita.

Kita harus bergerak secepat mungkin untuk menghentikan potensi kehormatan akademik menjadi sebuah komoditi. Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, harus tetap menjadi mercusuar kebijakan rasa keadilan dan pencapaian yang sah. 

Pada akhirnya, tugas semua pihak untuk menjaga martabat pendidikan dan masa depan intelektual bangsa.

Jadi, pada akhirnya kita harus bisa memastikan bahwa setiap gelar dan penghargaan yang diberikan memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Tanpa itu, kita berisiko menghadapi krisis kepercayaan pada nilai pendidikan tinggi di negeri ini. Berangkat dari kasus ini, mari kita bangun sikap yang lebih kritis dan tanggap terhadap segala isu yang dapat merusak sendi-sendi pendidikan kita ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 9 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun