Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karma Para Diktator

8 Juli 2023   00:25 Diperbarui: 8 Juli 2023   00:43 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Dalam sejarah, kita sering melihat kehadiran tokoh-tokoh diktator yang memegang kekuasaan secara absolut. Orang-orang seperti Adolf Hitler, Joseph Stalin, dan Kim Jong-un, memerintah dengan tangan besi dan menindas rakyat mereka. Namun, sedikit orang yang menyadari bahwa di balik segala kekejaman yang mereka lakukan, para diktator ini juga mengalami dampak psikologis yang signifikan. Tulisan ini mencoba menelisik lebih dalam tentang dampak psikologis yang dialami secara individual dari orang-orang yang berperilaku diktator.

Salah satu karakteristik utama dari para diktator adalah perasaan superioritas mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai pemimpin yang tak tergantikan dan memiliki hak istimewa untuk memerintah. 

Kepercayaan diri yang berlebihan ini menyebabkan mereka meremehkan orang lain, merasa bahwa mereka berada di atas segalanya. Namun, di balik sikap yang sombong ini, sebenarnya terdapat rasa ketidakamanan yang dalam. Rasa takut kehilangan kekuasaan dapat mempengaruhi psikologis para diktator, mendorong mereka untuk mengambil langkah-langkah radikal demi mempertahankan kekuasaan mereka.

Para diktator seringkali memiliki ego yang terus meningkat. Mereka beranggapan bahwa mereka adalah sosok yang tak tertandingi, memiliki kecerdasan dan kemampuan di luar batas manusia biasa. 

Hal ini tercermin dari perilaku kepemimpinan yang dipertontonkan oleh beberapa diktator, seperti: memasang gambar mereka di setiap tempat umum (publik) dan merombak sejarah, demi memperbesar keberhasilan mereka. Akan tetapi, dibalik ego yang terus meningkat ini, sebenarnya terdapat rasa ketidakpuasan dan kelemahan yang dalam, yang dialami secara psikologis. Diktator sering kali takut pada pesaing mereka dan melakukan segala cara untuk menekan dan menghilangkan mereka.

Dampak psikologis lain yang dialami oleh para diktator, antara lain: ketidakempatian dan kecenderungannya dalam melakukan kekerasan. Mereka seringkali tidak peduli dengan kesejahteraan rakyatnya sendiri, dan menggunakan kekerasan untuk menindas, dan mengontrol mereka secara ketat. 

Hal ini dapat dipicu oleh rasa inferioritas yang mereka rasakan, dibalik wajah superioritas mereka. Perasaan marah yang dalam, frustrasi, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi hidup mereka, sehingga kondisi ini akan melahirkan bentuk-bentuk kekerasan yang ekstrem.

Meskipun diktator seringkali ditemani oleh pengikut setia dan pejabat yang mendukung, namun kehidupan mereka sebenarnya sangat rapuh dan kesepian. Mereka sering merasa terisolasi, terpenjara oleh dirinya sendiri, dan tidak bisa mempercayai siapapun. 

Mereka hidup dalam ketakutan dan menaruh curiga yang sangat besar pada siapapun. Hal ini disebabkan, karena para diktator ini selalu menghadapi ancaman terhadap kekuasaannya dan hidup mereka sendiri. Akibatnya, mereka akan selalu sulit memiliki hubungan emosional yang sehat dalam menjalin ikatan interpersonal yang penuh kepercayaan dan emphati.

Selain rasa takut dan tekanan yang tinggi, diktator juga seringkali mengalami kesedihan yang dalam. Para diktator sering merasa terbebani oleh tanggung jawab yang begitu besar, terutama saat tindakan mereka dipertanyakan orang lain dan keberhasilan mereka terancam. 

Dalam banyak kasus, para diktator bahkan seringkali mengalami kegagalan yang menghancurkan reputasinya. Ketika ini terjadi, beberapa diktator dapat mengalami keadaan psikologis yang sangat buruk, seperti depresi dan keputusasaan.

Selanjutnya, berkaitan dengan konsepsi hukum sebab-akibat (hukum alam) atau karma dalam berbagai kepercayaan spiritual, adalah keyakinan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang tidak dapat dihindari, baik dalam kehidupan ini, maupun dalam kehidupan setelahnya. Dalam konteks orang-orang yang berperilaku diktator, konsep karma ini juga dapat kita terapkan.

Para diktator seringkali menekan rakyat mereka, secara brutal, mengabaikan hak asasi manusia, dan mengekang kebebasan individu. Konsekuensi dari tindakan ini adalah pengaruh negatif pada keberlanjutan sistem yang mereka bangun. Yang lebih menarik adalah konsekuensi psikologis dari penindasan tersebut justru tak terelakkan. 

Para diktator ini akan mengalami kembali penderitaan, yang mereka timbulkan kepada orang lain, dalam bentuk isolasi sosial, ketidakpercayaan, dan pemisahan diri dari manusia lain.

Orang-orang yang berperilaku diktator sering kali menggunakan kekerasan dan represi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Namun, perbuatan brutal ini akan menyebabkan siklus kekerasan yang tak terelakkan, secara kontinyu. Karena karma mengajarkan, bahwa energi negatif yang dipancarkan oleh tindakan kekerasan akan kembali kepada pelakunya sendiri. 

Dalam banyak kasus, konsekuensi dari tindakan ini adalah pemaksaan agar para diktator segera meletakkan kekuasaannya, dan yang lebih mengerikan lagi adalah berdampak pada kehidupanmya sendiri dan orang-orang terdekat mereka.

Dalam proses mengejar kekuasaan dan mempertahankannya, para diktator seringkali melakukan kebohongan, manipulasi, dan pengkhianatan terhadap rakyat mereka sendiri. Namun, menurut hukum karma, kebohongan dan pengkhianatan ini akan berdampak pada dirinya sendiri, yakni: ia akan kehilangan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya. Karena itu, secara psikologis, kehidupan yang dijalani oleh seorang diktator menjadi hampa, tidak ada makna hidup, hidup dalam isolasi bathin yang menakutkan, dan selalu ditikam oleh rasa kekosongan, serta tidak pernah merasakan hubungan secara sehat secara manusiawi.

Para diktator, dengan kekuasaan absolut mereka, sering kali mereka mengalami 'Tuna Rasa', dari tindakan mereka. Sementara, hukum karma akan bekerja tanpa ampun, membalas mereka dengan beban emosional yang sangat berat. 

Mereka akan menghadapi konsekuensi dalam bentuk kecemasan yang kronis, rasa bersalah yang mendalam, dan gejolak moralitas yang terus menerus menghantui hidup mereka. 

Terlepas dari sejauh mana mereka mencoba untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk melarikan diri dari ketidakpuasan pribadi, dan karma selalu akan memberikan pelajaran, dan tidak ada seorangpun yang mampu menghindarinya.

Selain konsekuensi psikologis dan emosional yang dialami oleh diktator, mereka juga akan menghadapi reputasi yang buruk dalam sejarah manusia. Tindakan kejam, penindasan, dan ketidakadilan yang mereka lakukan akan mengakibatkan penilaian yang tidak menguntungkan di mata orang-orang di kemudian hari, sampai ke anak-cucunya. 

Kisah-kisah kekejaman para diktator akan diabadikan dalam sejarah, yang akan terus menjadi momok yang menakutkan dan akan meninggalkan warisan yang negatif bagi generasi mendatang.

Pada akhirnya, hukum alam (karma) dan tekanan psikologis akan memainkan peran penting dalam memberikan konsekuensi yang tak bisa terhindarkan dari tindakan para diktator. 

Penindasan, siklus kekerasan, kehilangan kepercayaan, dampak emosional dan psikologis, serta reputasi yang buruk adalah sebagian dari konsekuensi yang harus mereka terima. Hukum karma juga mengajarkan bagi para diktator, bahwa tidak ada tindakan yang dilakukan dengan bebas tanpa konsekuensi, dan para diktator bukanlah pengecualian. 

Pemahaman mengenai dampak psikologis yang dialami oleh para diktator juga penting, agar kita dapat menghindari berulangnya sejarah kelam, yang penuh dengan penderitaan dan kehancuran. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 8 Juli 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun