Pada titik inilah, pembisik akan sukses meruntuhkan kemandirian dan keyakinan si pengambil keputusan atau pimpinan, bahkan kecerdasan pimpinan akan lumpuh. Disinilah seseorang pimpinan mengalami Disonansi Kognitif dan jiwa kemandiriannya terbelah.
Seorang ahli psikologi, Leon Festinger di dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitive Dissonace pada 1957, mengemukakan bahwa disonansi kognitif adalah konflik di dalam diri seseorang, ketika perilaku seseorang berbeda dengan pandangan dunia yang ia pegang. Kondisi ini juga menjelaskan keadaan batin, dimana seseorang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain.
Dalam keterbelahan jiwa tersebut, maka seseorang kemudian mencari pembenaran demi pembenaran. Beberapa pandangannya lalu dirumuskan ulang. Walaupun, ia seringkali bertentangan dengan akal sehat.Â
Kondisi ini banyak terjadi pada orang yang tetap konservatif dan berpikiran sempit di dalam perilaku keseharian, namun mampu menjadi pimpinan dalam sebuah organisasi publik.
Orang-orang yang menjadi korban para pembisik dan jatuh dalam lembah Disonansi Kognitif ini, adalah orang yang perilakunya selalu dipaksakan. Hal ini terjadi karena tekanan organisasi atau sosial yang sangat kuat.Â
Seseorang dipaksa untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial, tanpa ada pilihan lain. Seseorang bisa saja memiliki pandangan luas, bisa memiliki keterbukaan pada perbedaan, namun, jika organisasi menuntutnya tampil secara tegas dan kaku, maka ia akan dipaksa untuk mengikutinya. Ia lalu memaksakan perilakunya sesuai yang diinginkan oleh dunia sosialnya.
Kemudian, orang yang dihadapkan pada tekanan untuk membuat keputusan sulit. Kondisi ini terjadi, ketika seseorang harus membuat keputusan sulit yang bertentangan dengan prinsip hidupnya. Maka ia harus menjalani keadaan yang tak sungguh sejalan dengan pandangan hidupnya. Ini pun mencakup banyak hal, mulai dari soal politik organisasi sampai dengan perilaku spiritualitasnya sehari-hari.
Selanjutnya, orang yang terus-menerus mempertimbangkan upaya yang telah dilakukan. Hal ini terjadi, ketika seseorang tetap berperilaku tak sesuai dengan pandangan hidupnya, karena ia telah merasa berkorban terlalu banyak. Orang enggan berhenti menjadi pembisik, karena sangat terobsesi menguasai organisasi bisnis dimana ia bekerja di dalamnya. Pertentangan antara pandangan dan perilakunya lebih dari sekedar kemunafikan. Kerap kali, hal-hal tersebut diluar kemampuan seseorang, sehingga menimbulkan kerusakan sistemik yang melandasi disonansi kognitif seseorang, maupun organisasi.
Pada akhirnya, kita tidaklah mungkin menyalahkan salah satu pihak, baik si pembisik atawa orang yang dibisikinya, saya hanya bisa salut kepada orang-orang yang berani menjadi pembisik profesional, yang mampu menyembunyikan motif dan kepentingannya dihadapan orang-orang yang menjadi korban atas bisikan manisnya. Semoga, para pembisik menyadari, bahwa profesinya sangatlah sementara, dan buah yang dihasilkan sungguh sangat menyesakkan dada !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 15 Maret 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H