Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memunguti Reruntuhan Eksistensi

15 April 2020   21:00 Diperbarui: 15 April 2020   20:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Tak terasa sudah setahun lebih jari-jemariku tidak lagi menari-nari diatas tombol-tombol laptop. Dan entah sudah berapa semester saya tidak lagi bertatap muka langsung dengan para mahasiswa, jauh sebelum Covid-19 menjadi trending topic di seluruh dunia. Rindu menulis dan rindu mengajar, sebenarnya sudah menjadi pakaian hidup saya sehari-hari. 

Meskipun, Allah sudah mengganti kedua kesibukan tersebut dengan berbagai kesibukan lainnya, terkait aktivitas akademis tersebut. Namun masa-masa romantisme itu membuncah seperti erupsi merapi kemaren. Tentu ada hikmah dan pelajaran berharga, ketika saya mencoba menyadari bahwa semua ini atas skenario-Nya yang Agung.

Menurut saya, tak ada hubungannya antara menulis dengan mengajar. Mungkin saja, menulis ada hubungan dekat dengan membaca, dan yang saya tahu bahwa mendengar ada hubungan intim dengan berbicara, atawa mengajar. Namun, apapun aktivitas kita yang bersumber dari semua pengetahuan, jika kita sematkan makna di dalamnya, maka seluruh aktivitas hidup dan kehidupan kita akan bermakna. 

Dan kita akan tetap bergairah menjalaninya, meskpun terlihat tidak menyenangkan. Misalnya, Kehidupan sulit hari ini, terkait dengan pekerjaan dan eksistensi lainnya, akan selalu bermakna dalam hidup kita, jika kita mampu menarik hikmah/filosofinya. Namun jika kita tidak mampu memaknainya, semua itu hanyalah segumpal penderitaan yang tak berujung dan tak pernah berakhir.

Semua hikmah dan tujuan manusia dalam hidup ini, senantiasa dimuarakan pada kebahagiaan. Karena tidak ada hal lain, selain kebahagiaan. Orang yang sudah bahagia tak mungkin menginginkan hal lainnya, meskipun hanya 'sesuatu'. Jika kita masih menginginkan hal lain, maka kita belum menemukan apa itu kebahagiaan.  

Untuk bisa bahagia, tentunya kita perlu menciptakan kebiasaan-kebiasaan untuk bisa hidup bahagia (happiness habit). Caranya adalah dengan berusaha untuk hidup di sekitar orang-orang yang mengembangkan potensi kita, bertindak sesuai dengan apa yang dapat mengembangkan potensi kita, mengetahui dan bertindak sesuai dengan potensi unik yang kita miliki, dan hidup selaras dengan nilai-nilai yang kita yakini. 

Dari semua itu, hal pertama yang penting kita bangun adalah identitas diri. Sadari pula, bahwa memahami dan menerima diri kita apa adanya adalah kunci utama untuk menjadi bahagia. Kemudian, kita yang bahagia harus bisa mencintai dan menghargai diri sendiri, walaupun mungkin saja kita sangat berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial disekeliling kita.

Mengenali, memahami dan menerima identitas diri kita apa adanya, dimaksudkan untuk memberikan 'polesan' makna dari apa yang kita kerjakan di dalam hidup ini, diantaranya adalah profesi kita, hobi dan kesenangan kita. Orang lain belum tentu mampu membedakan hal ini. Misalnya, kita adalah sekaligus seorang suami, ayah, dosen, dan seorang penulis. 

Dan, mungkin selama ini tidak ada masalah dengan beragam identitas tersebut. Tiba-tiba, ketidakbahagiaan muncul ketika salah satu dari identitas tersebut memperoleh perhatian lebih dibandingkan yang lainnya, pasti ada satu bentuk identitas yang berkurang porsi perhatiannya. 

Ketika identitas sebagai seorang dosen lebih penting dari sebagai seorang ayah, maka keluarga akan merasa dipinggirkan. Dan ketika identitas seorang ayah lebih penting daripada seorang dosen, maka pekerjaan sehari-hari akan terganggu. Setiap orang perlu untuk menjaga keseimbangan identitasnya. Memang tidak mungkin keseimbangan itu dicapai sepenuhnya. Akan tetapi usaha untuk meraih keseimbangan itu perlu diupayakan terus-menerus.

Oleh karena itu, setiap manusia itu unik. Bahkan saudara kembar identik pun memiliki kepribadian yang berbeda. Cobalah kita lihat NIK KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang kita punya. Disana tertulis nomor identitas, tanggal lahir, jenis kelamin, dan sebagainya. Akan tetapi KTP itu tidak mampu menggambarkan kerumitan pribadi kita. Untuk bisa mencapai kebahagiaan, kita juga perlu menyadari kompleksitas kepribadian diri kita sendiri. Dan sekali lagi kompleksitas pribadi itu tidak akan pernah ditemukan pada nomor identitas, agama, ataupun jenis kelamin semata.

Secara kodratullah, tentu kita tidak bisa memilih identitas kita sebagai manusia. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita, suku, tempat, ataupun karakter genetis yang kita miliki. Seorang filsuf Jerman, Martin Heidegger pernah menulis, bahwa manusia itu terlempar ke dunia. Ia tidak bisa memilih. 

Seperti halnya, dengan sidik jari, kita tidak bisa mengganti suku ataupun karakter genetis kita. Namun demikian, kita masih bisa memilih, pada saat kita sudah terlahir di dunia ini secara fisik. Beberapa aspek dari identitas diri kita bisa diubah selaras dengan proses hidup yang kita alami. Pengalaman hidup dapat mengembangkan identitas, sama seperti proses belajar atau pendidikan yang kita jalani saat ini, akan merubah jalan takdir, baik dimasa kini maupun di masa depan.

Jelas, bahwa kita yang sekarang akan sangat berbeda dengan kita yang kemaren, sebelum Covid-19 datang. Namun kita masih memiliki identitas dasar yang sama, sebagai wujud eksistensi kita hari ini. Satu-satunya eksistensi kita yang sungguh nyata hari ini adalah, bahwa kita masih mampu memaknai semua kejadian, peristiwa dan aktivitas yang kita alami hari ini dalam hidup. 

Kita sadar, sesadar-sadarnya, bahwa pengalaman hidup kita dan orang lain, pastilah beragam. Beberapa orang mengalami hal-hal yang baik, namun sebagian lagi mengalami hal-hal yang kurang baik, bahkan sangat buruk. Namun kita bisa memaknai semuanya, sebagai sebuah proses dalam hidup. Di samping itu, kita dapat memilih peran individual maupun sosial macam apa yang akan kita jalani. Kita dapat mengembangkan bakat yang kita miliki, atau membiarkannya begitu saja. Semuanya itu, menjadi bagian dari pilihan-pilihan hidup, untuk merubah segalanya dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 15 April 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun