Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memunguti Reruntuhan Eksistensi

15 April 2020   21:00 Diperbarui: 15 April 2020   20:57 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, setiap manusia itu unik. Bahkan saudara kembar identik pun memiliki kepribadian yang berbeda. Cobalah kita lihat NIK KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang kita punya. Disana tertulis nomor identitas, tanggal lahir, jenis kelamin, dan sebagainya. Akan tetapi KTP itu tidak mampu menggambarkan kerumitan pribadi kita. Untuk bisa mencapai kebahagiaan, kita juga perlu menyadari kompleksitas kepribadian diri kita sendiri. Dan sekali lagi kompleksitas pribadi itu tidak akan pernah ditemukan pada nomor identitas, agama, ataupun jenis kelamin semata.

Secara kodratullah, tentu kita tidak bisa memilih identitas kita sebagai manusia. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita, suku, tempat, ataupun karakter genetis yang kita miliki. Seorang filsuf Jerman, Martin Heidegger pernah menulis, bahwa manusia itu terlempar ke dunia. Ia tidak bisa memilih. 

Seperti halnya, dengan sidik jari, kita tidak bisa mengganti suku ataupun karakter genetis kita. Namun demikian, kita masih bisa memilih, pada saat kita sudah terlahir di dunia ini secara fisik. Beberapa aspek dari identitas diri kita bisa diubah selaras dengan proses hidup yang kita alami. Pengalaman hidup dapat mengembangkan identitas, sama seperti proses belajar atau pendidikan yang kita jalani saat ini, akan merubah jalan takdir, baik dimasa kini maupun di masa depan.

Jelas, bahwa kita yang sekarang akan sangat berbeda dengan kita yang kemaren, sebelum Covid-19 datang. Namun kita masih memiliki identitas dasar yang sama, sebagai wujud eksistensi kita hari ini. Satu-satunya eksistensi kita yang sungguh nyata hari ini adalah, bahwa kita masih mampu memaknai semua kejadian, peristiwa dan aktivitas yang kita alami hari ini dalam hidup. 

Kita sadar, sesadar-sadarnya, bahwa pengalaman hidup kita dan orang lain, pastilah beragam. Beberapa orang mengalami hal-hal yang baik, namun sebagian lagi mengalami hal-hal yang kurang baik, bahkan sangat buruk. Namun kita bisa memaknai semuanya, sebagai sebuah proses dalam hidup. Di samping itu, kita dapat memilih peran individual maupun sosial macam apa yang akan kita jalani. Kita dapat mengembangkan bakat yang kita miliki, atau membiarkannya begitu saja. Semuanya itu, menjadi bagian dari pilihan-pilihan hidup, untuk merubah segalanya dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 15 April 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun