Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahagia itu, Tidak Melahirkan Perilaku Jahat?

9 Desember 2018   00:50 Diperbarui: 9 Desember 2018   00:51 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Oleh. Purwalodra

Menelisik diskusi  Matak uliah Sejarah Pemikiran Islam, siang tadi, di kelas M.Pd.I  Sekolah Pascasarjana Unisma Bekasi, mendorong saya untuk menuliskan beberapa catatan tentang 'Konsep Manusia dan Makna Kebahagiaan,' yang menjadi pokok bahasan dalam diskusi tersebut. Saya tidak akan mampu menyuguhkan seluruh dinamika diskusi tersebut dalam tulisan ini. Tulisan ini hanya menambahkan pemikiran tentang makna kebahagiaan bagi kita, manusia.

Berangkat dari hidup kita di era teknologi saat ini. Dimana, komunikasi, transportasi dan hidup sehari-hari menjadi begitu mudah dan murah. Bahkan, manusia kini mulai mencari jalan untuk menciptakan kehidupan baru dengan teknologi yang canggih itu. Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kini manusia menjadi 'tuhan' atas dirinya sendiri dan orang lain diatas bumi.

Tetapi, semua kemajuan itu tidak seiring dan sejalan dengan kemajuan kebahagiaan manusia. Manusia tidak lebih bahagia, walaupun hidup di dunia yang penuh dengan kemudahan. Sebaliknya, berbagai penelitian menunjukkan, tingkat depresi dan bunuh diri justru meningkat di era milenial ini.

Menurut data yang dikumpulkan WHO (World Health Organization),  saat ini ada lebih dari 300 juta orang yang tercatat mengalami depresi di seluruh dunia. Gejala utama depresi adalah suasana hati yang turun naik secara ektrem dalam jangka waktu lebih dari dua bulan, sehingga menganggu perilaku hidup manusia sehari-hari. Dalam bentuknya yang paling fatal, ternyata depresi mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.

Terkait dengan bunuh diri, ternyata juga meningkat secara drastis di awal abad 21 ini. Menurut data WHO , ada kurang lebih satu juta orang yang mati karena bunuh diri setiap tahunnya. Artinya, setiap empat puluh detik, ada 40 orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Selama 45 tahun terakhir, tingkat bunuh diri sudah meningkat 60 persen di seluruh dunia. Bahkan, bunuh diri kini menjadi salah satu dari tiga penyebab utama kematian dari orang-orang yang berumur 15 sampai 44 tahun. Lebih dari 90 persen para pelaku bunuh diri disebabkan oleh depresi berkepanjangan. Yang lebih menyedihkan, banyak orang berusia muda kini melakukan bunuh diri, dan percobaan bunuh diri. Semua ini merupakan bukti bahwa tingkat kebahagiaan pada diri manusia terjadi degradasi yang cukup mengerikan.

Mungkin, tidakada salahnya kita belajar dari Boethius yang hidup pada 480 sampai dengan 526 Masehi. Ia menulis buku berjudul "Hiburan dari Filsafat" pada akhir hidupnya di dalam penjara, menanti hukuman mati yang dijatuhkan padanya, yakni pada tahun 526. Ia hidup pada masa peralihan dari Yunani Kuno menuju Abad Pertengahan.

Boethius memulai bukunya dengan renungannya, bahwa betapa rapuhnya kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh manusia. Kebahagiaan itu, begitu mudah datang dan kemudian pergi meninggalkan manusia. Ternyata, kebahagiaan tidak dapat dipercaya.

Menurut Boethius, terkadang manusia berada di atas, dan dia merasa bahagia. Namun, terkadang, ia berada di bawah, dan merasakan penderitaan. Maka dari itu, manusia tidak perlu untuk mengeluh atas keadaannya. Ketika ia menderita, ia harus ingat, bahwa roda terus bergerak, dan ia akan segera mengalami kebahagiaan. Sebaliknya juga benar, bahwa ketika ia bahagia, ia harusbersiap akan penderitaan yang menanti di depan matanya.

Selanjutnya, Boethius mengatakan bahwa manusia haruslah bersyukur atas apa yang telah ia punya. Ia harus belajar melihat ke belakang dan kemudian menyadari, bahwa banyak pula kebahagiaan yang telah ia dapatkan, di samping penderitaan yang ia alami. Jika kita berpikir lebih dalam, yang rapuh sebenarnya bukanlah kebahagiaan itu sendiri, tetapi apa yang kita kira sebagai pembawa kebahagiaan, yakni harta, kehormatan, kenikmatan dan kekuasaan. Semua itu akan berlalu, dan hanya akan membawa kepalsuan bagi hidup manusia itu sendiri.

Menurutnya, kebahagiaan yang sesungguhnya itu tidak berada di luar manusia, misalnya di benda-benda atau uang atau kekuasaan, tetapi justru berada di dalam diri pribadi kita sebagai manusia. Hanya kita yang dapat menemukan dan merengkuhnya. Tidak ada orang lain yang bisa mengambil kebahagiaan tersebut. Tidak ada peristiwa yang bisa menghancurkan kebahagiaan itu.

Mungkin saja, berbagai musibah dan penderitaan datang pada hidup manusia. Namun, semua itu tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati manusia. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru bisa mendorong manusia menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup manusia justru mendorong manusia untuk menemukan apa yang paling penting dari hidup ini.

Berpijak pada titik ini, ia lalu berpendapat, bahwa Kebahagiaan yang sejati, yang abadi dan tidak dapat direbut oleh siapapun, adalah kebahagiaan yang terikat dengan "Yang Maha Baik" itu sendiri, yakni Tuhan. Tuhan berada di dalam hati manusia, dan hanya manusia yang bisa mencapainya di dalam hatinya. Ketika manusia menemukan Tuhan di dalam hatinya, manaka manusia itu tidak takut akan apapun lagi, termasuk akan penderitaan bahkan kematian sekalipun.

Apabila Tuhan itu sumber dari kebahagiaan sejati manusia, dan Tuhan berada di dalam hati manusia, mengapa lalu manusia bisa bertindak jahat, bahkan terhadap keluarga atau saudaranya sendiri? Mengapa manusia membunuh dan menyiksa manusia lainnya? Mengapa Tuhan tidak mencegahnya sejak awal, sehingga tidak perlu ada penderitaan dan kejahatan di dunia ini?

Jawaban yang diajukan Boethius dari pertanyaan diatas begitu sederhana, karena manusia memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini, manusia memilih, apakah ia ingin bertindak baik, atau jahat. Dengan kebebasan ini, manusia juga memilih, apakah ia akan mengambil keputusan yang tepat, atau tidak. Kebebasan bisa menjadi sumber kebaikan dan kemuliaan manusia itu sendiri, sekaligus bisa juga menjadi sumber kejahatan dan penderitaan yang amat besar buat dirinya maupun orang lain.

Lebih jauh, Boethius memaparkan bahwa kejahatan itu bukanlah sesuatu yang mandiri atau berdiri sendiri. Kebebasan manusia adalah suatu keadaan, dimana kebaikan itu berkurang atau terjadi penurunan atas kebaikan pada diri manusia. Dimana cinta menjadi raja, disana kejahatan tidak menemukan rumahnya. Ketika cinta berkurang, ada ruang hampa yang tersisa. Itulah rumah bagi kejahatan, kata Boethius.

Dari apa yang dipaparkan oleh Boethius, dalam bukunya tersebut. Kita diajak untuk menemukan kebahagiaan di dalam hati kita masing-masing. Kebahagiaan tidak ada di luar diri kita, misalnya pada uang, nama besar, atau kenikmatan lainnya. Ia sudah selalu tertanam di dalam diri kita. Tugas manusia menemukan dan memeluknya.

Boethius juga mengajak kita menyadari, bahwa Tuhan selalu ada di hati kita. Tuhanlah sumber kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Tidak ada orang ataupun keadaan yang akan merusaknya. Kita hanya perlu untuk melihat ke dalam diri kita sendiri, supaya bisa menemukan Tuhan dan kemudian menemukan kebahagiaan itu.

Dengan kebebasan yang kita miliki, kita lalu bisa membantu orang dan melakukan hal-hal baik lainnya, atau justru berbuat jahat dan menciptakan penderitaan. Ketika kebaikan itu berkurang, maka kejahatan dan penderitaan lahir. Tuhan, menurut Boethius, tidak menciptakan kejahatan. Kitalah, manusia, yang melakukan kejahatan, karena kurangnya kebaikan dalam hidup kita.

Pemikiran diatas, mungkin dapat dikorelasikan dengan firman Allah Swt, dalam QS. An Nahl : 97, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."

Kemudian dalam  QS. Az Zumar ayat 10,  "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."

Jadi bahagia itu selalu ada dalam diri kita, ketika kebaikan menyelimuti hidup kita sebagai manusia. Kebaikan akan melahirkan kebahagiaan, dan tak akan ada kebahagiaan yang melahirkan kejahatan ?! Karena itu, temukan bahagia kita melalui kebaikan-kebaikan yang kita perbuat pada diri sendiri maupun orang lain. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 09 Desember 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun