Mungkin saja, berbagai musibah dan penderitaan datang pada hidup manusia. Namun, semua itu tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati manusia. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru bisa mendorong manusia menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup manusia justru mendorong manusia untuk menemukan apa yang paling penting dari hidup ini.
Berpijak pada titik ini, ia lalu berpendapat, bahwa Kebahagiaan yang sejati, yang abadi dan tidak dapat direbut oleh siapapun, adalah kebahagiaan yang terikat dengan "Yang Maha Baik" itu sendiri, yakni Tuhan. Tuhan berada di dalam hati manusia, dan hanya manusia yang bisa mencapainya di dalam hatinya. Ketika manusia menemukan Tuhan di dalam hatinya, manaka manusia itu tidak takut akan apapun lagi, termasuk akan penderitaan bahkan kematian sekalipun.
Apabila Tuhan itu sumber dari kebahagiaan sejati manusia, dan Tuhan berada di dalam hati manusia, mengapa lalu manusia bisa bertindak jahat, bahkan terhadap keluarga atau saudaranya sendiri? Mengapa manusia membunuh dan menyiksa manusia lainnya? Mengapa Tuhan tidak mencegahnya sejak awal, sehingga tidak perlu ada penderitaan dan kejahatan di dunia ini?
Jawaban yang diajukan Boethius dari pertanyaan diatas begitu sederhana, karena manusia memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini, manusia memilih, apakah ia ingin bertindak baik, atau jahat. Dengan kebebasan ini, manusia juga memilih, apakah ia akan mengambil keputusan yang tepat, atau tidak. Kebebasan bisa menjadi sumber kebaikan dan kemuliaan manusia itu sendiri, sekaligus bisa juga menjadi sumber kejahatan dan penderitaan yang amat besar buat dirinya maupun orang lain.
Lebih jauh, Boethius memaparkan bahwa kejahatan itu bukanlah sesuatu yang mandiri atau berdiri sendiri. Kebebasan manusia adalah suatu keadaan, dimana kebaikan itu berkurang atau terjadi penurunan atas kebaikan pada diri manusia. Dimana cinta menjadi raja, disana kejahatan tidak menemukan rumahnya. Ketika cinta berkurang, ada ruang hampa yang tersisa. Itulah rumah bagi kejahatan, kata Boethius.
Dari apa yang dipaparkan oleh Boethius, dalam bukunya tersebut. Kita diajak untuk menemukan kebahagiaan di dalam hati kita masing-masing. Kebahagiaan tidak ada di luar diri kita, misalnya pada uang, nama besar, atau kenikmatan lainnya. Ia sudah selalu tertanam di dalam diri kita. Tugas manusia menemukan dan memeluknya.
Boethius juga mengajak kita menyadari, bahwa Tuhan selalu ada di hati kita. Tuhanlah sumber kebahagiaan dan kedamaian yang sejati. Tidak ada orang ataupun keadaan yang akan merusaknya. Kita hanya perlu untuk melihat ke dalam diri kita sendiri, supaya bisa menemukan Tuhan dan kemudian menemukan kebahagiaan itu.
Dengan kebebasan yang kita miliki, kita lalu bisa membantu orang dan melakukan hal-hal baik lainnya, atau justru berbuat jahat dan menciptakan penderitaan. Ketika kebaikan itu berkurang, maka kejahatan dan penderitaan lahir. Tuhan, menurut Boethius, tidak menciptakan kejahatan. Kitalah, manusia, yang melakukan kejahatan, karena kurangnya kebaikan dalam hidup kita.
Pemikiran diatas, mungkin dapat dikorelasikan dengan firman Allah Swt, dalam QS. An Nahl : 97, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik."
Kemudian dalam  QS. Az Zumar ayat 10,  "Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas."
Jadi bahagia itu selalu ada dalam diri kita, ketika kebaikan menyelimuti hidup kita sebagai manusia. Kebaikan akan melahirkan kebahagiaan, dan tak akan ada kebahagiaan yang melahirkan kejahatan ?! Karena itu, temukan bahagia kita melalui kebaikan-kebaikan yang kita perbuat pada diri sendiri maupun orang lain. Wallahu A'lamu Bishshawwab.