Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjaga Martabat atau Menjadi Bodoh?

26 September 2018   00:29 Diperbarui: 26 September 2018   00:57 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memutuskan untuk segera meninggalkan pekerjaan di sebuah lembaga pendidikan tinggi, demi sebuah citra diri dan martabat yang tidak pernah ada harganya di tempat tersebut.

Meninggalkan pengetahuan dan pengalaman bekerja belasan tahun, tidak akan menjadi sia-sia jika motifnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun lain halnya ketika seseorang memiliki motif yang berbeda dengan saya.

Mungkin ia akan sangat kecewa dan banyak meninggalkan luka ketika hanya uang yang ia cari dalam lembaga tersebut.

Semua ini bertumpu pada citra diri dan martabat yang telah tertanam dalam sanubari. Ketika kita tidak lagi memelihara citra diri dan martabat sebagai manusia, yang mengaktualisasikan profesionalitas kita dalam sesuah institusi, maka nilai diri kita sudah lenyap tak berbekas. Kita akan menjadi faktor produksi yang bisa diperjual-belikan, tidak lebih dan tidak kurang !?

Selanjutnya, masih terkait dengan citra diri dan martabat, seorang teman terpaksa mendirikan jejaring keprofesionalan yang baru, ketika citra diri dan martabatnya terusik oleh kebijakan pengurus sebuah organisasi yang beraroma finansial. Teman saya ini adalah instruktur di bidang komunikasi publik, namun karena tidak dihargai secara psikhis dan finansial, maka ia memperluas jejaring keprofesionalannya sampai ke tingkat nasional.   

Dari dua pengalaman diatas, ternyata, citra diri dan martabat tidak akan tumbuh diatas tanah ketidakadilan, hegemoni kekuasaan yang berdasar pada perbedaan pandangan dan primordialisme. Karena sistem politik dan ekonomi yang sekarang berkembang, hanya memuliakan orang-orang yang sejalan dan sepaham dengan pandangan maerialistik dan primordialisme tertentu. Oleh karena itu, paham ini melegalkan agar orang-orang yang berbeda harus disingkirkan dan dilenyapkan.

Kondisi ini menjadi pemandangan sehari-hari dalam masyarakat kita. Dan, dibalik itu semua, ternyata penjajahan belumlah berakhir, dan mungkin tidak akan pernah berakhir. Jika saja penjajahan ini bisa berakhir, maka kapitalisme, sosialisme, dan ideiologi-idiologi besar lainnya pun akan menjadi tidak berarti, alias selesai pula eksistensinya. Karena setiap idiologi memiliki corak dan gaya hegemoninya masing-masing ?!!

Ketika hampir semua idiologi sedang menyatukan diri dengan dinamika budaya, di setiap tempat dimana budaya masyarakatnya berkembang. Maka idiologi tersebut, tidak terkecuali kapitalisme dan sosialisme, sedang mengambil rupa yang begitu halus dalam bentuk hegemoni budaya. Sehingga orang yang terjajah tidak merasa dijajah, melainkan justru menikmatinya. Hegemoni ini melanggengkan ketidakadilan global yang sudah ada, dan berusaha untuk memberi keuntungan berlimpah untuk beberapa pihak yang menjadi otak utama dari hegemoni ini. Ketika hegemoni dan kekuasaan berbicara, martabat manusia pun terinjak, dan cuma menjadi isapan jempol belaka !!!

Kita memahami bahwa citra diri dan martabat manusia adalah sesuatu yang sudah selalu ada dan tertanam di dalam diri setiap manusia. Bahasa Indonesia punya kata yang amat bagus untuk menyatakannya, yakni, Asasi. Dalam Filsafat Yunani Kuno, Plato, menyatakan bahwa martabat setiap manusia terletak pada jiwanya, yakni unsur yang mengatur tubuh setiap orang, dan membimbing orang itu untuk mencapai keutamaan jiwa yang sejati. Dari sinilah, maka pendidikan merupakan cara untuk mengangkat manusia ke tingkat keluhuran jiwanya, dan bukan sekedar sebagai pencari kerja di masyarakat bisnis, yang sudah selalu diwarnai dengan berbagai ketidakadilan.

Pandangan lain menyatakan, bahwa citra diri manusia merupakan cerminan sang Maha Pencipta. Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri. Maka dari itu, manusia itu luhur dan lebih tinggi statusnya sebagai mahluk hidup, dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya. Dan, setiap orang memiliki martabat yang luhur, karena setiap orang merupakan cerminan langsung dari Tuhan itu sendiri.

Kemudian, dalam filsafat Eropa Modern, mempersepsikan manusia sebagai mahluk berakal budi yang mampu memahami, sekaligus menguasai alam dengan kekuatan dirinya. Sementara, ilmu pengetahuan modern merupakan hasil dari pemahaman tentang martabat manusia semacam ini. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi, merupakan produk nyata dari kemampuan akal budi manusia, sehingga mampu menjadikan alam ini tunduk untuk melayani kepentingan-kepentingan manusia.

Selain itu, dalam filsafat Timur, mulai dari Taoisme sampai dengan pandangan manusia nusantara, melihat manusia hanya sebagai satu elemen kecil dari alam yang besar dan agung. Ia tidak punya status khusus, melainkan berdiri sejajar dengan ratusan juta mahluk hidup lainnya di jagad semesta yang juga terbatas ini. Martabat manusia dilihat dari peran setiap orang yang bisa ia ambil untuk merawat dan mengembangkan alam yang ada, baik alam natural maupun alam sosial.

Semua pemahaman tersebut membentuk perspektif manusia tentang dirinya sendiri, atau apa yang bisa kita sebut sebagai citra diri (self-image). Pandangan ini sangat sederhana, namun memiliki dampak yang begitu luas. Ketika kita merasa tidak percaya diri dan melihat diri kita sebagai orang yang bodoh dan rendah, maka kita akan selalu membiarkan diri kita diinjak-injak oleh orang lain. Dan, kita akan diam saja menerima keadaaan, meskipun yang kita alami adalah ketidakadilan dan penindasan.

Sebaliknya, ketika kita memiliki citra diri tinggi, maka kita akan merasa bahwa kita berhak untuk dihargai oleh orang lain. Pada saat ketidakadilan terjadi, kita merasa terdorong untuk melawan dan menuntut, walaupun harus melalui jalan konfrontasi. Kita merasa berhak mendapatkan upah yang layak, dari hasil kerja keras kita. Namun, masih banyak orang dalam masyarakat kita memiliki citra diri rendah dan lemah, sehingga mereka cenderung diam, ketika mengalami ketidakadilan dan penindasan.

Ingat, ketika pikiran kita telah dijajah, maka tubuh dan segala bagian lahiriah kita juga akan ikut terjajah. Kita akan kehilangan martabat sebagai mahluk yang berharga dimuka bumi ini. Dan, ironisnya, kita tidak melihat semua ini sebagai sebuah hegemoni, karena kita begitu menikmatinya. Kita tidak lagi melihat penjajahan sebagai penjajahan, karena otak kita telah dicuci oleh hegemoni dan media, sehingga kita tidak lagi bisa bersikap kritis atas ketidakadilan dan penindasan yang melilit kita, sampai hari ini !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 26 September 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun