Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjaga Martabat atau Menjadi Bodoh?

26 September 2018   00:29 Diperbarui: 26 September 2018   00:57 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, dalam filsafat Timur, mulai dari Taoisme sampai dengan pandangan manusia nusantara, melihat manusia hanya sebagai satu elemen kecil dari alam yang besar dan agung. Ia tidak punya status khusus, melainkan berdiri sejajar dengan ratusan juta mahluk hidup lainnya di jagad semesta yang juga terbatas ini. Martabat manusia dilihat dari peran setiap orang yang bisa ia ambil untuk merawat dan mengembangkan alam yang ada, baik alam natural maupun alam sosial.

Semua pemahaman tersebut membentuk perspektif manusia tentang dirinya sendiri, atau apa yang bisa kita sebut sebagai citra diri (self-image). Pandangan ini sangat sederhana, namun memiliki dampak yang begitu luas. Ketika kita merasa tidak percaya diri dan melihat diri kita sebagai orang yang bodoh dan rendah, maka kita akan selalu membiarkan diri kita diinjak-injak oleh orang lain. Dan, kita akan diam saja menerima keadaaan, meskipun yang kita alami adalah ketidakadilan dan penindasan.

Sebaliknya, ketika kita memiliki citra diri tinggi, maka kita akan merasa bahwa kita berhak untuk dihargai oleh orang lain. Pada saat ketidakadilan terjadi, kita merasa terdorong untuk melawan dan menuntut, walaupun harus melalui jalan konfrontasi. Kita merasa berhak mendapatkan upah yang layak, dari hasil kerja keras kita. Namun, masih banyak orang dalam masyarakat kita memiliki citra diri rendah dan lemah, sehingga mereka cenderung diam, ketika mengalami ketidakadilan dan penindasan.

Ingat, ketika pikiran kita telah dijajah, maka tubuh dan segala bagian lahiriah kita juga akan ikut terjajah. Kita akan kehilangan martabat sebagai mahluk yang berharga dimuka bumi ini. Dan, ironisnya, kita tidak melihat semua ini sebagai sebuah hegemoni, karena kita begitu menikmatinya. Kita tidak lagi melihat penjajahan sebagai penjajahan, karena otak kita telah dicuci oleh hegemoni dan media, sehingga kita tidak lagi bisa bersikap kritis atas ketidakadilan dan penindasan yang melilit kita, sampai hari ini !!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 26 September 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun