Kemudian, Hegel, filsuf Jerman abad 17, juga mengemukakan, bahwa manusia bisa memahami dunia melalui konsep, dan konsep, jelas akan membentuk reputasi. Manusia tidak pernah bisa langsung memahami realitas. Karena ia selalu membutuhkan perantara, yakni bahasa dan konsep itu sendiri.Â
Dan, seperti sudah dijelaskan oleh Reder, bahwa di belakang setiap konsep, ada kekuasaan yang mengendalikannya. Inilah sebabnya, mengapa reputasi tak pernah sama persis dengan kenyataan. Ini pula sebabnya, mengapa orang sulit sekali bersikap kritis pada reputasi ?!
Terkait dengan kasus pengunduran diri saya di sebuah lembaga pendidikan tinggi seperti yang sudah saya ungkap diatas, merupakan akibat dari konsep yang terlanjur diyakini 'benar' oleh atasan, bahwa nilai reputasi bisa menjadi tinggi nilainya, apabila berhasil menekan saya untuk hengkang dari lembaganya, dengan membuat diri saya tidak nyaman bekerja. Sehingga reputasinya di hadapan para owner institusi meningkat !!!
Orang yang sadar dan mampu berpikir jernih tidak akan mudah tertipu oleh silaunya reputasi. Namun, sebaliknya, orang yang menggenggam kebenaran tentang reputasi akan terus tertipu di dalam hidupnya, walaupun seringkali, ia tak merasa tertipu, karena pengaruh kekuasaan yang dimiliki, yang seolah mengaburkan daya nalarnya sendiri.Â
Sudah saatnya, kita melihat reputasi sebagai reputasi, dan bukanlah sebuah realitas, apalagi sebagai kenyataan. Jadi jelas, reputasi itu bukan realitas, tapi mimpi sebuah realitas ?!!Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 September 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H