Oleh. Purwalodra
Banyak hal di dunia ini terjadi tanpa alasan yang mampu menjelaskan kepada kita secara logis. Meskipun kita tahu bahwa di alam semesta ini tidak ada sesuatupun yang bisa lepas dari jerat hukum sebab-akibat. Upaya manusia untuk menyelaraskan hukum alamiah ini, menjadi rambu-rambu kehidupan sepanjang hidup manusia, yang berusaha agar hidupnya tidak lalai. Hidup dalam jalan yang lurus, hidup dalam koridor sebab-akibat.
Kita seringkali menemukan peristiwa-peristiwa yang menurut logika manusia, berjalan sesuai apa yang kita rencanakan atawa kita kehendaki. Namun, yang terjadi justru apa yang kita rencanakan itu, jauh panggang dari pada api, artinya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam rencana kita. Seperti halnya, pada saat kita hendak menikah, impian dan harapan dari pernikahan tersebut begitu jelas terlihat dalam pikiran kita. Tapi setelah menjalani hidup dalam pernikahan, banyak hal terjadi diluar mimpi dan harapan yang kita bayangkan tersebut. Semuanya bisa jadi hancur berkeping-keping ?!
Pernah, suatu ketika saya menyukai bahkan mencintai seorang perempuan. Setelah melakukan berbagai pendekatan, akhirnya perempuan itupun mampu menyukai saya. Seiring dengan berjalannya waktu, tumbuhlah perasaan cemas, cemburu bahkan takut, kalau-kalau ia meninggalkan saya karena alasan apapun. Namun, tiba-tiba apa yang saya cemaskan dan takutkan itupun hadir dalam hidup saya. Perempuan itupun akhirnya meninggalkan saya tanpa pernah tahu apa alasan yang sebenarnya ?!
Boleh jadi, apa yang kita takutkan, cemaskan dan khawatirkan, menjadi sesuatu yang nyata. Karena apapun yang kita takutkan itu menjadi realitas yang dapat dilihat mata, meski sebelumnya bisa terlihat dalam pikiran kita sendiri.
Peristiwa yang saya alami tersebut, mungkin masih bisa masuk akal atawa logis, dimana pikiran yang negatif akan melahirkan kenyataan yang negatif pula. Namun, mengapa pada saat kita bermimpi, berharap bahkan menerencanakan sesuatu kebahagiaan, justru yang terjadi adalah suatu keadaan yang menderitakan ?! Pengennya sih setelah menikah hidup menjadi bahagia dan mendamaikan, namun yang terjadi justru sebaliknya, seseorang hidup lebih menderita. Mungkinkah ini semua pengaruh dari apa yang kita pikirkan sebelumnya ?! Â Jawabnya, 'ya.' Semua peristiwa di alam semesta ini, berawal dari pikiran dan hati manusia itu sendiri.
Pikiran yang kita bangun sebelum pernikahan diatas, bisa berarti bahwa menikah itu sesuatu yang pasti membuat kita bahagia. Kata 'pasti' inilah yang kemudian menuntut kita 'harus' bahagia. Jika sudah demikian, maka kita takut menderita, takut tidak bahagia, dan takut segala macam. Pada akhirnya, justru yang kita alami adalah kemenderitaan yang nyata ?! Semua ini, selain pikiran kita yang diselimuti rasa takut, cemas dan kuatir, jika hidup kita tidak bahagia, juga perilaku kita yang juga didasari oleh perasaan takut, cemas dan kuatir tersebut. Ini yang biasa kita sebut sebagai paradoks kehidupan.
Mungkin, ada baiknya kita menyadari, bahwa terkadang, manusia berada di atas, dan kita merasa bahagia. Namun, terkadang, kita juga berada di bawah, dan merasakan penderitaan. Karena itu, kita tidak perlu mengeluh atas keadaan ini. Ketika kita menderita, kita sebaiknya mengingat, bahwa roda terus bergerak, dan kita akan segera mengalami kebahagiaan. Sebaliknya juga benar, bahwa ketika kita bahagia, kita mestinya bersiap akan penderitaan yang menanti di depan mata. Itulah roda kebahagiaan dan roda kehidupan bagi setiap manusia.
Untuk bisa menjalani ini semua, sudah semestinya kita bersyukur dan ikhlas, atas apa yang telah kita punya. Kita harus terus belajar melihat ke belakang dan kemudian menyadari, bahwa banyak pula kebahagiaan yang telah kita dapatkan, di samping penderitaan yang kita alami. Jika saja kita mau berpikir lebih dalam, yang rapuh sebenarnya bukanlah kebahagiaan, tetapi apa yang kita kira sebagai pembawa kebahagiaan itu sendiri, yakni harta, kehormatan, kenikmatan, kekuasaan dan lain sebagainya. Semua itu akan berlalu, dan hanya akan membawa kepalsuan bagi hidup kita ?!
Jelas sekali, bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya itu tidak berada di luar diri kita, seperti halnya benda-benda atau uang atau kekuasaan, tetapi justru berada di dalam diri pribadi kita sebagai manusia. Hanya kita yang dapat menemukan dan merengkuhnya. Tidak ada orang lain yang bisa mengambil kebahagiaan tersebut. Tidak ada peristiwa yang bisa menghancurkan kebahagiaan di dalam diri kita, tanpa seizin kita ?!
Bisa jadi, musibah dan penderitaan hadir dalam hidup kita. Namun, itu semua tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati kita. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru mampu mendorong kita menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup kita justru mendorong kita, untuk mencari apa yang paling penting dari hidup ini. Dan, ternyata, di dalam hidup ini, kita tidak bisa menghindari luka dari apapun peristiwanya. Rasa sakit pun tak bisa dihindari. Namun, kita selalu bisa menghindari penderitaan dengan tidak lagi membuat cerita dan nama pada luka yang kita alami.
Perlu kita ketahui pula, bahwa memberi nama adalah awal dari cerita yang kita rangkai atas peristiwa yang terjadi pada diri kita. Membangun cerita adalah awal dari analisis dan spekulasi yang berlebihan. Analisis dan spekulasi ini merupakan awal dari penderitaan batin yang sebenarnya tak perlu terjadi. Penderitaan batin adalah awal dari kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang ataupun mahluk lain.
Akhirnya, setiap peristiwa yang kita alami, baik yang kita ketahui atau tidak kita ketahui alasannya, sebenarnya tak perlu kita beri nama pada pengalaman tersebut. Karena pemberian label atawa nama pada setiap peristiwa yang kita alami, kerap kali diperlukan untuk memahami pengalaman tersebut. Namun, tindakan ini harus terus disertai dengan kesadaran, bahwa penamaan itu bersifat relatif, rapuh dan terus berubah. Pada titik tertentu, kita juga tidak boleh melekat dengan nama dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Memberi nama pada apa yang kita alami adalah sebuah pilihan, dan bukan keniscayaan ?!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 Oktober 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H