Oleh. Purwalodra
Saya banyak melihat, bahkan menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, atawa membacanya melalui biografi-biografi orang-orang terkenal, ternyata seseorang yang mendirikan suatu organisasi, tak selamanya berkuasa dalam organisasi tersebut. Banyak orang mendirikan organisasi, perusahaan atau lembaga, yang kemudian berkembang menjadi organisasi, perusahaan bahkan lembaga yang maju, lantas terusir dari organisasi yang ia dirikan itu. Hal ini menjadi pelajaran yang berharga bagi saya, yang pernah menyaksikan, sekaligus mengalami hal serupa. Tentu saja sakitnya tuh dimana-mana, bukan disini aja !?
Namun, lain halnya dengan Steve Jobs. Kisahnya diawali dengan dua anak muda yang sedang asik mengutak-atik komputer yang bernama Apple 1. Digarasi rumah keluarga Jobs, pada tahun 1976, dua pemuda yang kebetulan sama-sama bernama Steve, yaitu Jobs dan Wozniak. Dua anak muda ini kemudian mendirikan perusahaan yang memproduksi komputer merek Apple. Singkat cerita, perusahaan ini berkembang dan maju, bahkan pemasarannyapun mampu menembus seluruh dunia. Pada akhirnya, perusahaan ini tumbuh pesat menjadi perusahaan raksasa. Sementara Steve Jobs pun merasa tidak kuasa lagi mengendalikannya. Pada 1983, dia merekrut John Sculley, dari perusahaan Pepsi-Cola, untuk memimpin Apple Computer.
Sculey memang pemimpin brillian dan mampu menandingi kepemimpinan Steve Job. Dalam perjalanan kepemimpinannya, John Sculey kemudian menemukan ketidakcocokan dengan Steve Jobs, yang mudah emosi dan berubah pikiran. Dua tahun kemudian, karena banyak perilaku yang kurang disukai oleh para direksi di perusahaan Apple tersebut. Maka, John Sculey memecat Steve Job dari jabatannya dan mengusirnya dari Apple.
Sungguh tragis, dan tak bisa dibayangkan oleh Steve Job, dimana orang yang mendirikan perusahaan ternyata harus hengkang dari rumahnya sendiri. So pasti, sakitnya tuh dimana-mana ?! Tak hanya menyesal seumur-umur. Namun, Steve Jobs pun mampu mengakui semua kegagalannya selama memimpin di Apple. Apalagi, ketika keinginannya untuk kembali ke perusahaan Apple ditolak oleh para petinggi perusahaan tersebut.
Namun, Steve Jobs tak berlama-lama merenungi kegagalannya. Setelah keluar dari Apple, ia mendirikan sebuah perusahaan komputer lagi, yang ia beri nama NeXT Computer, yang juga tergolong maju dalam hal teknologi. Meski pun canggih, NeXT tidak pernah menjadi terkenal, seperti halnya perusahaan yang memproduksi Apple Computer.
Selanjutnya, pada tahun 1986, Steve Jobs bersama Edwin Catmull mendirikan Pixar, yakni sebuah studio animasi komputer di Emeryville, California. Satu dekade kemudian, Pixar berkembang menjadi terkenal dan berhasil dengan film terobosannya, Toy Story. Sejak saat itu Pixar telah menelurkan film-film yang memenangkan Academy Award, seperti Finding Nemo dan The Incredibles. Dan, pada tahun 1986, perusahaan itu kemudian membeli NeXT seharga US$429 juta. Dan pada tahun yang sama, Apple membawa Steve Jobs kembali ke perusahaan yang ia dirikan pada tahun 1976 itu.
Sekilas kisah Steve Jobs ini menjadi begitu manis, di tengah-tengah perjuangannya dalam membangun pilar-pilar usahanya. Ia merupakan sedikit orang yang gagal dalam pendidikan. Dia tak pernah tamat kuliah, namun berhasil menjadi satu CEO tersukses di dunia.
Kegigihan Steve Jobs, Pendiri Apple, terungkap pada saat ia memberikan pidato di Stanford University, Juni 2005, Steve Jobs mengatakan terus terang perihal kegagalannya di Apple, dia bilang begini, “Saya gagal mengambil kesempatan.” Lebih lanjut, Jobs mengatakan, “Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya memutuskan untuk mulai lagi dari nol.” Dari cerita ini tergambar jelas, Jobs tak malu mengakui kegagalannya. Ia tak mau menyerah begitu saja. Kemudian Jobs memperbaiki dan mengevaluasi kegagalannya untuk kemudian meraih sukses di tahun-tahun berikutnya.
Kegagalan Steve Job, bukan karena kesalahan manajerial, tapi kesalahan dalam menerapkan perilakunya yang temperamen dan kebijakan-kebijakan yang selalu ia langgar sendiri. Perilaku Steve Job, saat itu, tidak lagi mampu menumbuhkan kebebasan yang melahirkan kreativitas, dedikasi dan profesionalitas karyawan, atau para petinggi yang ada di perusahaan Apple. Selain itu, Steve Job, menjadi dominan dalam segala hal, sampai pekerjaan-pekerjaan yang kecil sekalipun. Wewenang tidak dibagi habis, dan kebijakan harus datang datang dari dirinya. Oleh karena itu, ketika Steve Jobs merekrut John Sculey, maka Steve Jobs mendapat perlawanan yang sangat berat, yang pada akhirnya Steve Jobs harus hengkang dari perusahaan yang ia dirikan itu.
Kegagalan Steve Jobs dapat diakuinya dengan legowo, dan iapun mampu membangun usaha baru. Ia menyadari, lantas merubah perilakunya. Dan sejatinya, kegagalan merupakan suatu hal yang manusiawi. Kegagalan bukanlah sesuatu hal yang buruk. Jadi, mengapa harus malu. Masalahnya, apakah kita berani untuk mengakui suatu kegagalan itu ?
Mengakui kegagalan memang bukanlah perkara yang mudah. Orang yang dengan tulus mengakui kegagalannya, sudah tentu memiliki jiwa besar. Karena tidak mudah untuk mengakui suatu kegagalan, maka diperlukan tingkat keberanian tersendiri dan kejujuran yang paling dalam.
Pada akhirnya, mengakui kegagalan, bukanlah ‘gagal’. Mengakui kegagalan bukanlah suatu pemberhentian akhir, melainkan suatu terminal transit menuju perjalanan berikutnya yang lebih baik. Ketika kita mengakui kegagalan, niscaya kita akan melihat seluruh perjalanan yang sudah kita lalui dengan jernih. Dari titik ini, maka langkah untuk memperbaikinya dan mengubahnya menjadi lebih ringan dilakukan. Inilah yang saya sebut sebagai, mengalirkan kehidupan !??. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 17 April 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H