Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyadari Kehilangan Akal Sehat Kita?

11 April 2016   11:27 Diperbarui: 30 April 2016   13:15 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra.

Beberapa waktu lalu, ketika saya menulis status di FB, “ternyata, sebagai bagian dari orang-orang modern, kita melakukan aktivitas hidup bukan karena aktivitas itu bermakna, tetapi karena dipaksa oleh sistem yang ada di luarnya, karena kewajiban, atau karena “terpaksa” bertahan hidup. Kata “makna” sendiri pun semakin asing di pikiran orang-orang modern yang sudah terpesona dengan yang praktis, instan, aplikatif, dan teknis ?!” Lantas, seorang teman menanggapi status saya tersebut, “gimana kalo semua itu dijadikan sebagai pengabdian ?” Jawaban saya berikutnya, “Orang yang bekerja dengan motif pengabdian, maaf, itu tidak lebih dan tidak kurang adalah perbudakan !?” Ternyata, jawaban saya ini kurang mendapatkan respon, dan mungkin teman saya itu menganggap ‘pengabdian’ adalah solusi dari semua keterpaksaan yang kita jalani sekarang ini.

Mungkin diantara kita sudah begitu familiar dengan kata ‘pengabdian’ namun tahukah kita dengan arti kata tersebut? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengabdian adalah proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan : ia memperlihatkan ~ nya kepada tanah air dan agamanya. Namun pahamkah kita tentang hakikat pengabdian itu sendiri ?!

Pada dasarkan pengabdian adalah memberikan segenap kemampuan yang kita miliki demi kepentingan bersama. Kepentingan bersama ini bisa kita asumsikan kepentingan masyarakat sekitar, kepentingan orang banyak, atawa kepentingan yang bukan kepentingan kita sendiri.

Tapi, ketika kita mengabdi dengan perasaan yang tidak menyenangkan, atawa mengabdi dengan perasaan mengeluh, apa jadinya kita ?!. Pengabdian dengan perasaan seperti ini, tentu hanya akan melahirkan ketersiksaan berkelanjutan. 

Selain itu, jika pikiran kita masih dilumuri oleh berbagai kepentingan diri dan nafsu kotor, maka sebaiknya jangan melakukan seuatu yang bersifat “pengabdian.” Jika pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan untung-rugi, maka jangan coba-coba melakukan pekerjaan yang justru menimbulkan paradoks dari sesuatu yang kita lakukan. “Pengabdian” yang didasari oleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan dan penderitaan yang lebih besar ?!

“Pengabdian” tanpa memperhitungkan kondisi pikiran dan hati kita, jelas-jelas akan menghilangkan akal sehat. Ketakutan, kecemasan dan kegelisahan akan selalu menghantui kita, jika “pengabdian” ini masih dipengaruhi oleh berbagi kepentingan dan pikiran yang tidak jernih. Kita akan kehilangan akal sehat dan semua aktivitas kita tidak lagi memiliki makna yang mendamaikan dan mengindahkan hidup kita.

Terkait dengan akal sehat ini, setidaknya kita dapat melihat empat hal yang merusak akal sehat kita : Pertama, pendapat umum. Seringkali, pendapat umum itu mengaburkan kita dari kenyataan, dan memasung kemampuan kita untuk berpikir mandiri. Pendapat umum itu seringkali tertuang dalam kata berikut : “katanya?”, “kata orang..”, atau “banyak orang bilang…”. Ketika kita tak mampu mengambil jarak dari pendapat umum ini, maka kita akan terjebak pada “apa kata orang”, dan kehilangan kemampuan untuk menggunakan akal sehatnya secara kritis dan mandiri.

Kemudian, hal kedua yang merusak akal sehat kita adalah peristiwa masa lalu yang menciptakan traumatik. Sehingga, masa lalu kita terus datang dan menerkam kesadaran kita. Akibatnya, kita akan selalu hidup dalam rasa cemas dan takut terhadap masa depan yang belum datang. Pengalaman masa lalu inilah yang akan membuat kita takut untuk mencoba sesuatu yang baru di masa kini dan masa datang, karena kita dihantui kegagalan yang pernah terjadi di masa lalu.

Ketiga, adalah tradisi, yang seringkali menjadi perampas akal sehat kita sebagai manusia. Tradisi mengungkung cara berpikir kita, sehingga kita tak mampu berpikir di luar tradisi. Tradisi berkembang dalam pengandaian, bahwa dunia ini tetap, maka ada cara-cara universal yang bisa digunakan untuk menata dunia. Namun, pengandaian ini jelas salah, karena dunia terus berubah, dan tradisi tak selamanya benar. Pemujaan mutlak pada tradisi merampas akal sehat kita, dan menggiring kita pada beragam krisis yang lahir dari kesempitan berpikir.

Terakhir, yang mampu merusak akal sehat kita adalah prasangka, terutama prasangka terhadap sesorang. Prasangka ini merampas akal sehat kita di dalam hubungan dengan orang lain. Keempat musuh akal sehat ini akan menggiring kita pada setidaknya tiga hal jelek. Yang pertama, kita akan terus hidup dalam kecemasan serta ketakutan, dan tak mampu melangkah untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan berani dalam hidup kita. Kita akan diterkam dan dijajah oleh tradisi, pengalaman masa lalu, apa kata orang, dan prasangka yang tak pernah kita kaji lebih jauh. Ketika orang terus diterkam kecemasan dan ketakutan, maka ia hidup dalam penderitaan ?!

Karena itulah, kita perlu menyadari keberadaan para perusak akal sehat ini di dalam pikiran kita masing-masing. Ketika kita menyadarinya, maka kita bisa mengambil jarak dan memutuskan, apakah akan terus mengikuti mereka, atau justru bertindak sebaliknya. Kemampuan kita dalam mengambil jarak dan keputusan ini merupakan indikator, bahwa kita mampu menggunakan akal sehat di dalam hidup kita  sehari-hari. Dengan begitu, kita akan berani dan mampu mempertanyakan kembali pendapat umum, tradisi, pengalaman masa lalu kita pribadi, serta prasangka yang berkecamuk di dalam pikiran kita?!.  Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 11 April 2016.

Ilustrasi: Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun