Ketika hidup kita melekat pada pikiran dan pendapat-pendapatnya, maka jalan hidup kita terbawa oleh pikiran dan pendapat-pendapat kita tersebut. Kita, kemudian mengira bahwa pendapat-pendapat dari pikiran kita memiliki kebenaran mutlak. Lantas kita tidak sadar, bahwa pendapat-pendapat kita pun tidak mencerminkan kenyataan apa adanya. Kita akan terjebak pada penyakit yang sama, yakni arogansi, yang mendorong kesalahpahaman serta konflik dengan orang lain.
Kemelekatan kita pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Kita diatur oleh pikiran kita sndiri. Ketika senang, kita senang secara berlebihan. Ketika sedih, kita menjadi amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.
Menyadari gerak pikiran dan pendapat yang kita miliki, kita harus memahami bahwa setiap pikiran kita, yang datang dan pergi tersebut, beserta pendapat-pendapatnya itu, kosong. Sudah semestinya, kita mampu mengambil jarak dengan pikiran dan pendapat-pendapat kita sendiri. Kita bisa bebas dari pikiran dan pendapat-pendapatnya. Lalu, kita tidak lagi dijajah oleh pikiran maupun pendapatnya.
Pada akhirnya, kita harus mampu menjaga jarak antara diri sejati/otentik kita, dengan pikiran dan pendapat-pendapatnya. Kemampuan kita menjaga jarak inilah yang menentukan, apakah kita melekat dengan pikiran kita atau justru kita sebagai pengendali utama pikiran kita, beserta pendapat-pendapatnya itu. Ketika kita mampu melampaui pikiran kita, maka inilah kebebasan yang sejati. Inilah kebebasan manusia dewasa. Selama kita masih mengira, bahwa pikiran dan pendapat-pendapat kita itu mencerminkan kebenaran mutlak, selama itu pula, kita akan menjadi manusia arogan yang gemar memicu konflik !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 19 Agustus 2015.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H