Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mewaspadai Semua Pikiran Kita?

19 Agustus 2015   09:54 Diperbarui: 19 Agustus 2015   10:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Setiap kali saya menulis, setiap itu pula saya merasa bahwa ‘ruh’ dari apa yang saya tulis itu menjadi sebuah kenyataan hidup sehari-hari. Seolah-olah tulisan saya mampu membimbing jalan hidup yang harus saya jalani sehari-hari. Setiap lahir tulisan baru, pada saat itulah perilaku dan hal-hal yang saya temui sehari-hari mengikuti alur tulisan saya. Dengan kalimat lain, dengan tema tulisan yang berbeda, saya menemukan peristiwa hidup yang berbeda pula. Dari titik ini, ternyata saya belum mampu memisahkan kemelekatan, antara apa yang saya tulis dengan pikiran dan pendapat yang mengikutinya. Inilah yang saya sebut sebagai kemelekatan antara pikiran, pendapat dan konsekuensi perbuatan yang menjadi nyata.

Seperti halnya seorang aktor atau aktris, ia selalu melekat dengan apa yang diperankannya dalam sebuah film. Kehidupan sehari-harinya, kadang tidak bisa dipisahkan antara dirinya sebagai seorang aktor/aktris, dengan dirinya yang sebenarnya. Sering pula kita temui banyak penyanyi yang kemudian mendapatkan jalan hidup sama dengan lagu yang sedang ‘hit’ dinyanyikannya. Demikian pula seorang aktor/aktris, yang tak mampu melepas kemelekatannya dengan apa yang diperankan dalam sebuah film. Jika ia memerankan sebagai seorang yang sedang patah hati, ternyata jalan hidupnya sehari-hari menjadi demikian sama dengan apa yang sedang diperankannya dalam film tersebut. Seorang aktris, Almarhumah Suzana misalnya, karena beliau sering memerankan film horor, sebagai seorang mengerikan dan misterius, ternyata dalam kehidupan sehari-harinya pun sama persis perilakunya, yakni kehidupan yang diliputi suasana horor dan misterius.

Selanjutnya, seorang teman bernama Imam Ratrioso,  yang saat ini bukunya sedang ‘meledak,’ berjudul ‘Rakyat Nggak Jelas : Potret Manusia Indonesia Pasca-Reformasi,’ yang diterbitkan oleh Renebook, ternyata ‘ruh’ buku yang ditulisnya itu membawanya kepada suasana dimana ia dipenuhi dengan berbagai pertemuan dan diskusi dengan para tokoh reformasi terdahulu. Entah disengaja atau tidak, teman saya ini sekarang begitu sibuk berdiskusi dengan para tokoh reformasi Indonesia, sekaligus membedah isi bukunya tersebut.

Jadi, siapapun mereka, baik ia seorang Penulis, Penyanyi, Aktor, Aktris bahkan ia seorang karyawan, olah-ragawan dan sebagainya, nyaris seluruh kepribadiannya melekat dengan pikiran dan pendapat-pendapat tentang pekerjaannya, atau karya-karyanya itu. Sehingga bisa dipastikan bahwa sebagian besar kita, belum mampu memisahkan dirinya sendiri secara nyata, dengan pikiran dan pendapat-pendapatnya. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melepas kemelekatan ini ?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu kita perlu memahami hakekat dari pikiran kita sendiri. Apa itu pikiran? Pikiran adalah aktivitas mental manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran kita berbeda dengan kesadaran kita. Aktivitas mental ini terjadi, karena hubungan dengan dunia di luar diri kita.

Memang, sampai sekarang, belum ada definisi yang cukup diterima secara umum tentang apa itu kesadaran ?. Namun, di dalam tradisi filsafat Timur, kesadaran manusia sama dengan kesadaran semesta, dan kesadaran segala yang ada. Segala hal terhubung dalam jaringan kesadaran raksasa seluas semesta itu sendiri.

Namun, di dalam diri kita sebagai manusia, kesadaran selalu melahirkan pikiran. Pikiran berguna bagi manusia untuk memempertahankan eksistensi dan hidupnya. Untuk itulah ilmu pengetahuan dan teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran menciptakan segalanya yang diketahui manusia.

Betapapun hebatnya, pikiran kita juga memiliki kelemahan. Pikiran kita, sejatinya bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran kita tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental subyektif saja. Pikiran bisa datang dan pergi, bagaikan angin dingin di tengah musim panas.

Sebagian besar hidup kita, banyak disibukkan oleh pikiran kita sendiri. Kita mengira, bahwa pikiran kita itu nyata. Kita juga mengira, bahwa pikiran kita adalah kebenaran. Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konflik antar manusia, yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.

Lantas, kitapun mengalami kemelekatan pada pikiran kita sendiri. Kita tidak sadar, bahwa pikiran kita itu kosong, sementara dan tidak pasti. Karena kemelakatan ini, kita menganggap diri kita benar. Kita juga menjadi orang yang sombong. Sikap semacam ini mengundang banyak kesalahpahaman dan konflik.

Ketika hidup kita melekat pada pikiran dan pendapat-pendapatnya, maka jalan hidup kita terbawa oleh pikiran dan pendapat-pendapat kita tersebut. Kita, kemudian mengira bahwa pendapat-pendapat dari pikiran kita memiliki kebenaran mutlak. Lantas kita tidak sadar, bahwa pendapat-pendapat kita pun tidak mencerminkan kenyataan apa adanya. Kita akan terjebak pada penyakit yang sama, yakni arogansi, yang mendorong kesalahpahaman serta konflik dengan orang lain.

Kemelekatan kita pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Kita diatur oleh pikiran kita sndiri. Ketika senang, kita senang secara berlebihan. Ketika sedih, kita menjadi amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.

Menyadari gerak pikiran dan pendapat yang kita miliki, kita harus memahami bahwa setiap pikiran kita, yang datang dan pergi tersebut, beserta pendapat-pendapatnya itu, kosong. Sudah semestinya, kita mampu mengambil jarak dengan pikiran dan pendapat-pendapat kita sendiri. Kita bisa bebas dari pikiran dan pendapat-pendapatnya. Lalu, kita tidak lagi dijajah oleh pikiran maupun pendapatnya.

Pada akhirnya, kita harus mampu menjaga jarak antara diri sejati/otentik kita, dengan pikiran dan pendapat-pendapatnya. Kemampuan kita menjaga jarak inilah yang menentukan, apakah kita melekat dengan pikiran kita atau justru kita sebagai pengendali utama pikiran kita, beserta pendapat-pendapatnya itu. Ketika kita mampu melampaui pikiran kita, maka inilah kebebasan yang sejati. Inilah kebebasan manusia dewasa. Selama kita masih mengira, bahwa pikiran dan pendapat-pendapat kita itu mencerminkan kebenaran mutlak, selama itu pula, kita akan menjadi manusia arogan yang gemar memicu konflik !?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 19 Agustus 2015.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun