Oleh. Purwalodra
Momen ketika kita mulai takut pada pendapat orang lain
dan ragu untuk mengatakan kebenaran yang ada di dalam diri kita,
dan ketika kita lebih memilih diam alih-alih mengatakan motif
dari sikap kita, sungai cahaya dan kehidupan Illahi tidak akan
mengaliri jiwa kita lagi. (E. Cady Stanton)
Pernyataan E. Cady Stanton diatas merupakan tamparan untuk kita yang selalu dihantui perasaan ‘ragu’ dan ‘takut’ dalam mengutarakan kebenaran yang ada dalam diri kita kepada orang lain. Padahal, apapun kebenaran yang ada dalam diri kita yang mestinya diungkapkan, namun tidak diungapkan, justru akan merusak diri otentik kita sendiri. Dan, kita akan menjadi manusia yang selalu tidak memiliki petunjuk intuitif dari dalam diri kita sendiri. Sikap inilah yang mampu melemahkan kemampuan-kemampun kita, dan yang lebih tragis lagi, kita akan kehilangan kemampuan untuk mengatakan kebenaran secara jujur, terbuka dan bebas.
Selain itu, ketika kita takut dan selalu ragu terhadap kebenaran yang kita genggam untuk bisa tersampaikan kepada orang lain, karena kita ingin selamat atau agar orang lain tidak tersinggung dengan kebenaran yang seharusnya kita ungkapkan, maka dari titik inilah, peryataan E. Cady Stanton juga bermakna, bahwa kita tidak mampu mengatakan kebenaran kepada diri kita sendiri. Kondisi semacam ini merupakan kedaan yang selalu kita pelajari dari waktu ke waktu, dari saat ke saat, dari hari ke hari, bahwa kita meletakkan kebenaran kita pada tempat terakhir. Ini berarti juga, kita senantiasa memberikan kepada orang lain apa yang mereka inginkan, atau apa yang kita pikir mereka inginkan dari diri kita.
Kondisi mental ditas merupakan ciri khas bagi kita yang memiliki kelemahan terhadap realitas yang berpusat-ke-luar. Dengan demikian, kita akan selalu menganggap apa yang kita yakini itu salah, dan orang lain selalu benar. Dari sinilah, kita melupakan kemampuan-kemampuan kita dan meninggalkan diri otentik kita. Yang pada akhirnya, kita akan selalu dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup kita, bukannya kemudahan-kemudahan yang akan kita peroleh.
Meninggalkan diri otentik kita, berarti meninggalkan apapun keyakinan kebenaran yang ada dalam diri kita. Sama halnya dengan meninggalkan diri kita sendirian ?!. Kita selalu dihantui rasa takut dan penuh keraguan untuk berkata benar, jujur, terbuka dan bebas kepada orang lain. Kondisi seperti ini disebabkan karena 3 (tiga) sumber, antara lain :
- Kita percaya bahwa mengatakan kebenaran akan membuat kita kelihatan, seperti seorang diktator dan kaku.
- Kita mencampuradukkan antara ‘mengatakan kebenaranmu’ dengan ‘mengatakan seluruh kebenaranmu’
- Ada semacam keyakinan umum bahwa kita sejatinya melayani orang lain dengan mendahulukan keinginan mereka .
Dari sumber pertama tersebut, kita sudah semestinya menyadari bahwa di dalam kehidupan manusia tidak ada kebenaran dengan huruf ‘K’ besar; yang ada adalah kebenaran ‘saya’, kebenaran ‘anda’, atau kebenaran ‘mereka’. Bahkan jika kita berani berasumsi bahwa ada sesuatu seperti ‘kebenaran’, sungguhlah tidak mungkin bagi setiap kita untuk bisa memastikan, entah bagi diri sendiri maupun orang lain, unsur perasaan, keyakinan, dan perkataan kita yang mana yang menyusun ‘kebenaran’ dan apa yang mempresentasikan kebenaran-kebenaran sejati. Dari titik inilah, kita memahami bahwa setiap orang diantara kita, mampu mengatakan kebenaran ‘hanya sebagaimana kita melihatnya.’  Oleh karena itu, ketika kita menjelaskan kebenaran kita kepada orang lain, jangan menganggap kebenaran dari diri kita adalah yang paling benar, atau tidak dapat di debat.
Selanjutnya, dari sumber kedua diatas, bahwa seluruh kebenaran tidak harus terus kita katakan sepanjang waktu. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak perlu, sebagai contoh saja, bahwa model rambut baru teman kita yang begitu ia banggakan tidak pantas dan jelek. Atau, mengatakan kepada teman kita, bahwa baju pilihannya itu terlalu ‘norak’. ‘Mengatakan seluruh kebenaran’ seringkali membuat kita hidup tidak nyaman dan orang lain merasa dihakimi secara tidak adil dan keji. Seperti halnya, saya (pribadi) selalu kesal dan protes, ketika kekasih saya selalu lebih banyak memperhatikan orang lain, dari pada diri saya.
Oleh karena itu, apapun yang ingin kita katakan pada orang lain, pastikan itu merupakan sebuah kebenaran bagi diri kita. Namun, pada saat yang sama, pastikan pula bahwa apa yang kita katakan itu tidak menimbulkan salah tafsir, karena kita mungkin akan menghilangkan beberapa bagian yang penting diri orang lain.
Kemudian, sumber ketiga dari rasa takut dan ragu untuk menyatakan kebenaran pada orang lain diatas, apabila kita terlanjur mengira bahwa tidak satupun orang lain setuju dengan apa yang kita katakan, sebaiknya kita tetap menyampaikan kebenaran itu dengan cara-cara yang mungkin bisa diterima oleh orang lain. Hal ini penting dilakukan, karena kita terlalu sering mencoba mengarahkan orang lain supaya menerima agenda tersembunyi kita tanpa mau mengatakan dengan jelas apa yang kita inginkan. Akibatnya, orang lain akan merasa tertipu oleh keputusan-keputusan kita.
Terkadang juga, kita sengaja menyembunyikan kebenaran karena mengetahui bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang ingin didengar oleh orang lain yang kita maksud. Kebanyakan dari kita tentu pernah mengalami situasi dimana atasan kita dengan penuh semangat membeberkan rencananya kepada kita. Ketika kita melihat ada sesuatu yang tidak logis dari rencananya itu, dan secara intuitif kita merasa bahwa apa yang telah dipaparkannya itu ada sesuatu yang perlu diperbaiki atau salah. Tapi, bersamaan dengan itu, kita juga tahu bahwa atasan kita tidak suka diprotes atau diberitahu bawahannya. Jadi, kita tidak mengatakan apa-apa karena mengatakan kebenaran itu sangat berbahaya bagi kita.
Pada akhirnya, ketika kita tidak mampu atau seringkali tidak mengatakan apa yang kita pikir suatu kebenaran diri kita kepada orang lain, maka satu momentum dari diri otentik kita akan hilang. Apabila kita terbiasa ‘diam’ untuk tidak mengatakan apapun kepada orang lain dengan alasan mau cari ‘aman’ atau pengen ‘selamat’ dari situasi yang ada, maka selain nurani kita akan mati, kita juga tidak akan mungkin ‘selamat’ dan ‘aman’ dalam lingkungan kerja seperti itu. Paling tidak, ketika kebenaran itu tidak mampu terucap dari mulut kita, kita bisa bersikap apatis atau apalah gituuuu ... ?!. Atau minimal juga, kita bisa melakukan melalui konfrontasi bathin !?. Nah, lain halnya kalau saya jadi atasan ?!. Saya akan selalu bilang, ‘katakan kebenaranmu padaku, sekarang ?!’ Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 29 Juli 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H