Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada yang Penting, Tanpamu !?

28 Juni 2015   11:35 Diperbarui: 28 Juni 2015   11:35 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Dalam sebuah percakapan dengan teman perempuan saya, yang telah meninggalkan suaminya hampir tiga tahun ini, melalui putusan pengadilan :

“Bagaimana hubunganmu dengan mantan suamimu ?!” Saya selalu mengawali percakapan itu, seperti ini.

“Tidak ada lagi, bahkan SMS-ku pun tak pernah dia jawab.”

“Lalu, bagaimana kamu mengetahui kabar anak-anakmu di sana !”

“Mudah-mudahan mereka sehat-sehat aja dengan ibu tirinya.”

“Apakah, kamu tidak ingin agar anak-anakmu tinggal bersamamu ?”

“Iya sih, tapi biar aja, toh nanti kalau anak-anak sudah besar, mereka bisa memilih mau ikut aku atau ayahnya.”

Setiap selesai percakapan persoalan rumah-tangganya itu, dia tak sadar selalu meneteskan air mata, seakan ada rasa yang berkecamuk dalam dirinya. Dia tak mampu menahan air matanya yang tiba-tiba mengucur deras dari kelopak matanya. Lantas, dia pun biasanya pergi begitu saja meninggalkan saya sendiri. Besok-besoknya pasti dengan tidak sengaja, saya mengulangi percakapan itu dan dia kadang-kadang marah jika saya mengulangi percakapan seperti itu-itu lagi.

Di dalam hidup yang begitu pendek ini, banyak dari kita sebagai manusia, hidup menderita, entah menderita secara fisik, atau batin. Banyak orang harus berjuang keras, sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Di sisi lain, banyak orang mengalami kehampaan hidup yang akut, sehingga mereka mengalami masalah kejiwaan yang dalam. Persoalan rumah tangga yang berawal dari ketiadaan cinta-kasih telah banyak membunuh manusia dalam hidupnya.

Semua ini terjadi, karena banyak orang menghabiskan hidupnya untuk hal-hal yang tidak esensial, atau tidak “penting”. Mereka menjalani hidup yang palsu, karena dipaksa oleh pihak-pihak luar, entah oleh keluarga dan tradisi. Mereka terjebak pada budaya massa, sehingga seringkali terbawa arus jaman, tanpa bisa melawan. Mereka juga seringkali hidup untuk menumpuk harta, dan lupa mencintai, atau bahkan sekedar tertawa.

Dalam kasus diatas, saya mencoba menebak-nebak, bahwa tidak ada seorang istri yang mau dan mampu untuk menggugat cerai suaminya tanpa dorongan atau provokasi pihak ketiga. Sepedih-pedihnya seorang istri yang diselingkuhi oleh suaminya, selalu bisa bertahan, jika tidak ada yang memprovokasi dirinya, baik dari pihak keluarganya sendiri atau pihak lainnya. Karena, cinta seorang istri/ibu kepada anak-anaknya, adalah cinta yang bersifat fisik alias materi, sementara cinta suami/ayah kepada anak-anaknya adalah cinta psikhis atau kejiwaan.

Meskipun, kasih sayang itu bersumber dari cinta keibuan, yang paling asli dan yang terdapat pada diri seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Namun, cinta ibu terhadap anak-anaknya yang terjalin akan membentuk ikatan-ikatan fisiologis. Seorang ibu akan memelihara anaknya dengan hati-hati penuh dengan kasih sayang dan naluri alami seorang ibu. Sedangkan, menurut para ahli ilmu jiwa bahwa dorongan cinta seorang ayah bukan karena fisologis, melainkan dorongan psikis alias kejiawaan.

Mengingat bahwa antara seorang ayah dengan anak-anaknya tidak terjalin oleh ikatan-ikatan fisiologis seperti yang menghubungkan si ibu dan anaknya, maka para ahli ilmu jiwa modern berpendapat bahwa dorongan kebapakan bukanlah dorongan fisiologis seperti halnya dorongan keibuan, melainkan dorongan psikis. Dorongan seperti ini nampak jelas dalam cinta seorang ayah kepada anak-anaknya, karena anak-anak bagi seorang ayah adalah sumber kesenangan,  kegembiraan, kekuatan, kebanggaan , dan merupakan faktor penting bagi kelangsungan peran seorang ayah dalam kehidupan dan tetap akan terkenang setelah dia meninggal dunia.

Cinta seorang ayah dalam Al-Qur’an diisyaratkan dalam kisah Nabi Nuh as. Betapa cintanya ia kepada anaknya, tampak jelas ketika ia memanggilnya dengan penuh rasa cinta, kasih sayang, dan belas kasihan, untuk naik perahu agar tidak tenggelam ditelan ombak :

“… Dan Nuh memanggil anaknya – sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil : Hai ... anakku naiklah (kekapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama-sama orang-orang yang kafir.” (QS, Yusuf, 12:84)

Jelas, bahwa cinta kejiwaan bagi seorang ayah nampak dalam perhatiannya kepada anak-anaknya dengan pola pengasuhan, nasehat, dan pengarahan yang diberikannya kepada anak-anaknya, demi kebaikan dan kepentingan mereka sendiri.

Jadi, meski percakapan saya dengan teman perempuan saya di awal tulisan ini, tidak pernah tuntas. Sebenarnya saya ingin mengatakan, bahwa ketika sebuah keluarga berpisah antara suami dan istri, melalui proses pengadilan, sebaiknya anak-anak berada dalam pengasuhan ibunya. Kenapa begitu ?. Karena mantan suami tidak akan bisa melepas secara kejiwaan, antara dirinya dan anak-anaknya. Sehingga, perpecahan rumah-tangga bisa sedikit diminimalisir, melalui anak-anak dan bisa menjadi mediator atau penghubung antara kedua orang tuanya. Sementara, bagi seorang suami dan seorang ayah dari anak-anaknya, ia mempunyai anggapan bahwa di dunia ini hanya ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak.

Kemudian, jika saja perceraian tidak bisa dihindari lagi, dan anak-anak ada ditangan suami, maka si mantan suami ini bisa hidup lebih lama lagi, karena cintanya kepada anak-anak merupakan kekuatan hidupnya dan cintanya adalah cinta kejiwaan, bukan fisiologis/fisik. Sementara, jika anak-anak di pelihara oleh ibunya sendiri, maka si mantan suami biasanya berumur pendek, lebih-lebih jika anak-anaknya tidak mengakuinya sebagai ayahnya lagi !?. Kematian akan segera menjemputnya, dengan berbagai penyakit psikhis.      

Pada akhirnya, cinta sejati bagi seorang ayah kepada anak-anaknya tercermin dalam Al Qur’an di Surat Luqman. (Luqman berkata) : “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman : 16). Oleh karena itu, pantas jika saya akan mengatakan kepada anak-anak saya bahwa, “tak ada yang penting dalam hidup ini, tanpamu !?.” Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 28 Juni 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun