Dalam kasus diatas, saya mencoba menebak-nebak, bahwa tidak ada seorang istri yang mau dan mampu untuk menggugat cerai suaminya tanpa dorongan atau provokasi pihak ketiga. Sepedih-pedihnya seorang istri yang diselingkuhi oleh suaminya, selalu bisa bertahan, jika tidak ada yang memprovokasi dirinya, baik dari pihak keluarganya sendiri atau pihak lainnya. Karena, cinta seorang istri/ibu kepada anak-anaknya, adalah cinta yang bersifat fisik alias materi, sementara cinta suami/ayah kepada anak-anaknya adalah cinta psikhis atau kejiwaan.
Meskipun, kasih sayang itu bersumber dari cinta keibuan, yang paling asli dan yang terdapat pada diri seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Namun, cinta ibu terhadap anak-anaknya yang terjalin akan membentuk ikatan-ikatan fisiologis. Seorang ibu akan memelihara anaknya dengan hati-hati penuh dengan kasih sayang dan naluri alami seorang ibu. Sedangkan, menurut para ahli ilmu jiwa bahwa dorongan cinta seorang ayah bukan karena fisologis, melainkan dorongan psikis alias kejiawaan.
Mengingat bahwa antara seorang ayah dengan anak-anaknya tidak terjalin oleh ikatan-ikatan fisiologis seperti yang menghubungkan si ibu dan anaknya, maka para ahli ilmu jiwa modern berpendapat bahwa dorongan kebapakan bukanlah dorongan fisiologis seperti halnya dorongan keibuan, melainkan dorongan psikis. Dorongan seperti ini nampak jelas dalam cinta seorang ayah kepada anak-anaknya, karena anak-anak bagi seorang ayah adalah sumber kesenangan, kegembiraan, kekuatan, kebanggaan , dan merupakan faktor penting bagi kelangsungan peran seorang ayah dalam kehidupan dan tetap akan terkenang setelah dia meninggal dunia.
Cinta seorang ayah dalam Al-Qur’an diisyaratkan dalam kisah Nabi Nuh as. Betapa cintanya ia kepada anaknya, tampak jelas ketika ia memanggilnya dengan penuh rasa cinta, kasih sayang, dan belas kasihan, untuk naik perahu agar tidak tenggelam ditelan ombak :
“… Dan Nuh memanggil anaknya – sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil : Hai ... anakku naiklah (kekapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama-sama orang-orang yang kafir.” (QS, Yusuf, 12:84)
Jelas, bahwa cinta kejiwaan bagi seorang ayah nampak dalam perhatiannya kepada anak-anaknya dengan pola pengasuhan, nasehat, dan pengarahan yang diberikannya kepada anak-anaknya, demi kebaikan dan kepentingan mereka sendiri.
Jadi, meski percakapan saya dengan teman perempuan saya di awal tulisan ini, tidak pernah tuntas. Sebenarnya saya ingin mengatakan, bahwa ketika sebuah keluarga berpisah antara suami dan istri, melalui proses pengadilan, sebaiknya anak-anak berada dalam pengasuhan ibunya. Kenapa begitu ?. Karena mantan suami tidak akan bisa melepas secara kejiwaan, antara dirinya dan anak-anaknya. Sehingga, perpecahan rumah-tangga bisa sedikit diminimalisir, melalui anak-anak dan bisa menjadi mediator atau penghubung antara kedua orang tuanya. Sementara, bagi seorang suami dan seorang ayah dari anak-anaknya, ia mempunyai anggapan bahwa di dunia ini hanya ada mantan istri, tapi tidak ada mantan anak.
Kemudian, jika saja perceraian tidak bisa dihindari lagi, dan anak-anak ada ditangan suami, maka si mantan suami ini bisa hidup lebih lama lagi, karena cintanya kepada anak-anak merupakan kekuatan hidupnya dan cintanya adalah cinta kejiwaan, bukan fisiologis/fisik. Sementara, jika anak-anak di pelihara oleh ibunya sendiri, maka si mantan suami biasanya berumur pendek, lebih-lebih jika anak-anaknya tidak mengakuinya sebagai ayahnya lagi !?. Kematian akan segera menjemputnya, dengan berbagai penyakit psikhis.
Pada akhirnya, cinta sejati bagi seorang ayah kepada anak-anaknya tercermin dalam Al Qur’an di Surat Luqman. (Luqman berkata) : “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. Luqman : 16). Oleh karena itu, pantas jika saya akan mengatakan kepada anak-anak saya bahwa, “tak ada yang penting dalam hidup ini, tanpamu !?.” Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 28 Juni 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H