Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memaafkan yang Tak Termaafkan

9 April 2015   14:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14285649352041794726

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_359929" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Setiap peristiwa hidup sehari-hari yang kita jalani,kadang berdampak pada putusnya tali silaturrahim. Pergaulan kita dengan teman, sahabat, keluarga dan saudara kita juga akan berimplikasi positip, namun kadang menimpulkan persoalan yang berujung kepada putusnya pertemanan, putusnya persahabatan, bahkan putusnya tali persaudaraan. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari sebuah komunikasi-interaktif yang tidak dipahami keberbedaannya.

Dalam koridor agama, kekecewaan karena konflik yang terjadi dengan teman, sahabat dan keluarga, tidak boleh lebih dari tiga hari. Namun, ini sulit terjadi, karena kekecewaan yang terus terpelihara dengan baik, akan bermuara pada kebencian yang dalam, jika salah satu pihak menyadarinya. Pertanyaannya, mungkinkan kebencian yang dalam ini bisa termaafkan ?. Lalu, bagaimana memaafkan perilaku seseorang yang sebenarnya tidak termaafkan ?.

Dalam ajaran agama, Tuhan akan memaafkan siapapun kecuali dosa mempersekutukan-Nya. Berarti Tuhan memiliki sifat untuk tidak memafkan siapapun yang mempersekutukan-Nya. Namun, para Ustadz dan rohaniawan menyanggahnya dengan mengatakan, 'khan ada ayat lain yang berbunyi .... !???. Saya tidak akan berpolemik dalam porsi agama, lebih bagus jika saya mengemukakan hal-hal yang terkait secara filosofis, karena agama sulit dikritisi, sementara filsafat adalah ranah yang paling moderat untuk kritik, bahkan disalahkan.

Tindakan meminta maaf memang mengandung paradoks yang mendalam di baliknya. Di balik tindak memaafkan, ada motivasi mulia yang bergandengan dengan kesulitan kata-kata. Tindak memaafkan sekaligus sederhana dan sekaligus rumit, hampir pada saat yang bersamaan. Situasi paradoksal ini tidak hanya ada di dalam hakekat tindak memaafkan itu sendiri, tetapi di dalam diri orang yang hendak meminta maaf. Ia bisa sekaligus memaafkan, dan tetap membenci di dalam hatinya. Dua hal yang kontradiktif ini bisa dialami, baik oleh pelaku maupun oleh korban, atau yang tersakiti.

Memang, tindakan memaafkan dan meminta maaf ini merupakan 'rahasia hati yang tak terbahasakan' (Jacques Derrida). Pengalaman memaafkan dan meminta maaf adalah pengalaman personal yang tidak terukur oleh kriteria apapun. Oleh karenanya, ini membuat sikap memaafkan dan tindak meminta maaf tidak pernah bisa direduksikan ke dalam bentuk kekuatan hukum ataupun politik semata. Di dalam hukum dan politik, kekuatan maaf menjadi bersyarat, teratur, dan terbatas, sehingga kehilangan kemurniannya. Di dalam hukum, tindak memaafkan menjadi tereduksi.

Perlu disadari, bahwa memaafkan dan tindakan meminta maaf tidak dapat tergambarkan secara rasional semata, perlu keikhlasan masing-masing yang terlibat, sementara makna 'ikhlas' sulit sekali menampilkan fakta-fakta yang bisa kita indrai. Bahkan para pihak, baik yang meminta maaf maupun yang memaafkan, haruslah mempertimbangkan dan menghargai 'rahasia hati yang tak terbahasakan' itu.

Derrida berpendapat bahwa kebutuhan akan pertimbangan 'rahasia hati' ini adalah sebuah kewajiban, terutama untuk menghindari kesalahpahaman yang seringkali muncul akibat campur tangan pihak ketiga. Namun, rumitnya, siapa yang tahu rahasia hati masing-masing orang ?. Itulah sebabnya, mengapa Derrida sangat menekankan bahwa tindak memaafkan haruslah didasarkan pada ketakterbatasan, ketakterukuran, dan tanpa syarat.

Tindak memaafkan berakar pada pengandaian bahwa ada orang yang berbuat salah. Jadi, memaafkan ada, karena ada orang yang bersalah. Tanpa keberadaan orang yang bersalah, tindak memaafkan menjadi tidak masuk akal. Lebih dari itu, tindak memaafkan baru dapat menjadi sungguh bermakna justru karena adanya "yang tak termaafkan". Tindak memaafkan yang sejati adalah tindak memaafkan 'yang tak termaafkan'.

Di dalam karakter mustahil dari tindakan inilah tindak memaafkan yang murni justru menjadi nyata. Inilah yang disebut sisi paradoks dari tindak memaafkan. "Jika seseorang hanya siap memaafkan apa yang kelihatan termaafkan", demikian Derrida, "...maka ide asli dari tindak memaafkan akan sirna... Tindak memaafkan harus mengumandangkan dirinya sendiri sebagai kemustahilan itu sendiri. Ia hanya bisa menjadi niscaya ketika melakukan sesuatu yang mustahil."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun