Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidupku Dijajah Masyarakat

16 November 2014   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_335733" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Hari ini aku tidak masuk kantor seperti kemaren-kemaren, berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang Maghrib. Ketidak hadiranku dikantor hari ini tidak memiliki alasan yang menurut banyak orang tidaklah tepat, karena alasannya lagi males aja. Selesai mengantar anak-anak ke sekolah, beres-beres rumah, kemudian aku dengan kepuasan tidak terbayangkan mengencani laptop sendirian. Sementara istriku, mengantar dan menunggui anak bontotku di Sekolah Dasar Negeri yang gratisan.

Seringkali, aku merindukan saat-saat seperti ini, hanya sekedar untuk mengekspresikan kemalasan kerja. Saat-saat sepi, saat-saat dimana aku mampu bercengkerama dengan sanubari dan diriku sendiri. Mungkin saja ketidakhadiranku ke kantor hari ini merupakan salah satu kesalahpahamanku dalam memaknai kerja.  Ketika, aku memaknai bekerja sebagai upaya untuk mencari uang ato nafkah, maka bekerja hanya sebatas untuk mengumpulkan uang aja. Setelah uang terkumpul ya sudah, selesai bekerja. Tapi mudah-mudahan bukan kesalahpahaman ini yang kualami sekarang.

Saat aku mencoba menganalisis lebih dalam mengapa hari ini aku begitu malas datang ke kantor, setidak-tidaknya aku bisa menjawab dan menemukan alasan yang tepat, selain rasa malas. Toh, ketika tidak masuk kerja, aku cuma berada di rumah tidak melakukan apapun selain pekerjaan-pekerjaan yang ada di rumah.

Saat ini aku menjadi bagian dari masyarakat kota yang relatif kecil, namun ketika hidup dimasyarakat kota yang relatif besarpun, juga memiliki kharakteristik yang tidak jauh berbeda. Masyarakat mengikatku dengan aturan dan hukum. Ada aturan yang berakar pada tradisi, seperti nilai-nilai nenek moyang yang diturunkan antar generasi. Ada aturan yang berakar pada hukum positif. Keduanya mengikat leherku, dan memaksaku untuk hidup sesuai dengan aturannya.

Sekarang, masyarakat juga selalu selalu menilaiku. Mulai dari caraku berpakaian, caraku berbicara, sampai dengan caraku kencing, semua ada di bawah penilaian masyarakat. Ketika aku gagal atau buruk dalam melakukan sesuatu, masyarakat siap memberikan penilaian buruk, yang akhirnya juga merusak cara padangku terhadap diriku sendiri. Akhirnya, aku hidup dalam bayang-bayang jelek yang dibuat oleh masyarakat. Sedihnya, aku justru mempercayai bayang-bayang itu.

Masyarakat juga siap menghukumku, ketika aku berbuat salah. Ketika aku lapar, dan tak punya pilihan, dan terpaksa mencuri secuil roti, aku harus siap dihukum oleh masyarakat. Ketika aku tak bisa menahan diri, karena berbagai sebab, dan melakukan kesalahan, masyarakat juga siap menghukumku. Namun, ketika aku butuh dukungan, yang datang adalah cercaan dan penilaian.

Ternyata, peradaban membuatku menjadi licik dan penuh rasa takut. Peradaban membuatku rakus. Pada akhirnya, peradaban sejatinya bukanlah peradaban, tetapi pembiadaban. Ia mencekik dan menindas kemanusiaanku.

Peter Bieri, filsuf Jerman, pernah menyatakan, bahwa kita harus melihat ke dalam diri kita sendiri, guna melampaui penindasan dari masyarakat. Kita perlu untuk menemukan suara kita sendiri, suara pribadi yang lahir dari kebebasan nurani kita. Dengan begitu, kita bisa menolak semua penindasan dan cekikan yang telah dibuat masyarakat dengan hidup kita.

Sumber keaslian dan kebebasan batin ada di dalam hati kita. Keduanya terletak di hati nurani kita. Kita perlu mencarinya dan kita juga perlu menyuarakannya dalam hidup kita. Dengan cara ini, orang tidak hanya bisa mencegah penindasan dari masyarakat atas dirinya, tetapi juga bisa melampaui penindasan tersebut.

Jean-Paul Sarte, filsuf Prancis abad 20, menulis satu naskah drama yang menarik. Judulnya adalah Huis Clos. Ceritanya sederhana. Ada orang yang meninggal, dan kemudian masuk neraka. Namun, apa itu neraka?. Neraka bukanlah api menyala-nyala, seperti dalam Kitab Suci. Neraka adalah, ketika kita duduk terikat di kursi, dan berhadapan dengan orang lain. Kita tak punya pilihan, selain memandang orang itu sepanjang waktu. Dari tatapannya, kita tidak pernah merasakan kebebasan, karena kita terus memperoleh penilaian, dan bahkan hukuman, dari mata itu.

Sartre sampai pada kesimpulan, neraka adalah orang lain. aku menyebutnya, neraka adalah masyarakat. Aku tak perlu mati, supaya bisa pergi ke neraka. Sekarang aku sudah ada di neraka. Di dalam masyarakat, yang penuh dengan penilaian dan hukuman ini, aku tak akan pernah menjadi manusia yang asli. aku akan hidup dalam rasa takut terus menerus. Padahal, rasa takut adalah sumber dari segala kejahatan.

Jadi jelas bahwa masyarakat membunuh otentisitas. Masyarakat membuatku menjadi manusia-manusia yang palsu. Masyarakat membuatku menipu diri terus-menerus, supaya bisa sesuai dengan aturan yang dibuatnya. Masyarakat menjadi penjajah yang paling brutal, dan baru bisa berhenti, ketika aku mati, atau masuk rumah sakit jiwa.

Selama aku masih membiarkan aturan dan norma masyarakat mencekikku, aku tidak akan pernah merasakan kebebasan batin. Kebebasanku kemudian adalah kebebasan yang semu, yakni kebebasan untuk belanja, atau untuk hal-hal sepele lainnya. Batinku akan terus tersiksa, dan aku akan terus mencari cara-cara sepele untuk mengobati batinku yang luka, dan tak akan pernah sembuh. Aku akan tua, sakit, dan mati dalam penyesalan.

Ketika aku gagal dalam hal apapun, aku harus siap-siap menutupi kegagalanku dari mata masyarakat. Karena jika tidak, masyarakat akan menghukum dan menilaiku buruk. Dan akan membuatku menderita. Akhirnya, aku dipaksa terus-menerus untuk hidup dalam kepalsuan, kebohongan dan ketakutan. Wallahu A'lam Bishshwawwab.

Bekasi, 16 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun