Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hidupku Dijajah Masyarakat

16 November 2014   17:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jean-Paul Sarte, filsuf Prancis abad 20, menulis satu naskah drama yang menarik. Judulnya adalah Huis Clos. Ceritanya sederhana. Ada orang yang meninggal, dan kemudian masuk neraka. Namun, apa itu neraka?. Neraka bukanlah api menyala-nyala, seperti dalam Kitab Suci. Neraka adalah, ketika kita duduk terikat di kursi, dan berhadapan dengan orang lain. Kita tak punya pilihan, selain memandang orang itu sepanjang waktu. Dari tatapannya, kita tidak pernah merasakan kebebasan, karena kita terus memperoleh penilaian, dan bahkan hukuman, dari mata itu.

Sartre sampai pada kesimpulan, neraka adalah orang lain. aku menyebutnya, neraka adalah masyarakat. Aku tak perlu mati, supaya bisa pergi ke neraka. Sekarang aku sudah ada di neraka. Di dalam masyarakat, yang penuh dengan penilaian dan hukuman ini, aku tak akan pernah menjadi manusia yang asli. aku akan hidup dalam rasa takut terus menerus. Padahal, rasa takut adalah sumber dari segala kejahatan.

Jadi jelas bahwa masyarakat membunuh otentisitas. Masyarakat membuatku menjadi manusia-manusia yang palsu. Masyarakat membuatku menipu diri terus-menerus, supaya bisa sesuai dengan aturan yang dibuatnya. Masyarakat menjadi penjajah yang paling brutal, dan baru bisa berhenti, ketika aku mati, atau masuk rumah sakit jiwa.

Selama aku masih membiarkan aturan dan norma masyarakat mencekikku, aku tidak akan pernah merasakan kebebasan batin. Kebebasanku kemudian adalah kebebasan yang semu, yakni kebebasan untuk belanja, atau untuk hal-hal sepele lainnya. Batinku akan terus tersiksa, dan aku akan terus mencari cara-cara sepele untuk mengobati batinku yang luka, dan tak akan pernah sembuh. Aku akan tua, sakit, dan mati dalam penyesalan.

Ketika aku gagal dalam hal apapun, aku harus siap-siap menutupi kegagalanku dari mata masyarakat. Karena jika tidak, masyarakat akan menghukum dan menilaiku buruk. Dan akan membuatku menderita. Akhirnya, aku dipaksa terus-menerus untuk hidup dalam kepalsuan, kebohongan dan ketakutan. Wallahu A'lam Bishshwawwab.

Bekasi, 16 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun