Mohon tunggu...
I Bagus Deinspiro
I Bagus Deinspiro Mohon Tunggu... profesional -

Lets share and inspire :-) Prefer to be simple

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saya Murni Pak

29 Oktober 2011   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jingga merona. Memendar bentangan luas tak bertepi. Ia sadar tak bisa lama-lama menikmati ini. Dipetiknya setangkai senja. Menyimpan rapat dalam jiwa merindu purnama. Terus bergegas menyusuri lobi berpagar Samudera Hindia. Dua minggu sudah berada di ranah barat Sumatera.

Hasil audit kali ini sangat melegakan. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Jarang-jarang, bahkan bias dihitung dengan jari. Yang ada biasanya mereka disuguhi aneka tawaran, menikmati jajanan, wisata lokal, dan buah tangan tak kurang dua jinjingan. Agar lunak sedikit. Begitu motifnya. Tak berupa, tak berona. Cari aman!

Boarding time.

Tak dihiraukannya senja yang kian tenggelam.Surya telah menyerahkan tugasnya pada purnama malam.

“Kamu bawaan siapa?” Ia terkesiap. Rekannya membuyarkan narasi singkat senja itu.
“Eh, eng…..bawaan ibu dan bapak saya Pak. Tapi lebih berat ibu sih. Mata, hidung, dan gaya bicara saya sangat mirip ibu.”

“Lho lho, bukan itu maksud saya.”
“Oh, maksudnya bagaimana Pak?”
“Kamu masuk sini bawaan siapa?”
“Saya murni Pak.”

“Wah, becanda kamu, iya saya tau kamu Murni. Murni Bening Ramadhani. Itu nama lengkap kamu kan.” Suara bariton paruh bayanya meninggi.

“Iya Pak, terus Pak?”
“Ya, kamu diterima di sini atas bawaan siapa? Orang tua, pak de, bibi, atau siapa begitu?”
“Iya Pak, saya murni, tidak dibawa siapa pun. Bahkan kerabat dan teman saya saja tidak ada yang bekerja di kementerian ini Pak.”

“Wah, ndak percaya saya. Apalagi kamu ditempatkan di direktorat ‘basah’ yang jadi incaran orang-orang di sini. Kamu tau si Bandu, Rancu, dan Sosri? Mereka itu anak-anak eselon satu dan dua di kementerian ini. Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa diterima dan ditempatkan di sini.”

Murni hanya mengulum senyum. Pekat melekat saat ia menatap bundaran bening di kanannya. Ini bukan yang pertama. Bahkan sudah tak terhitung. Selalu saja ada yang mengkonfirmasi, kalau tak boleh dibilang berburuk sangka kalau ia bukan ‘titipan’.

***

Murni mengemasi barang-barangnya. Memilih menaiki Damri, menuju kosan di pusat ibu kota. Ia bersyukur. Biar baur asal tak lebur. Senyumnya mengembang meningkahi malam yang kian larut.

*Inspired by, curcol sahabat yang sering dikira “titipan.”

Tak ada guna kemapanan tanpa keberkahan.

Kalikan kenikmatan jika ia berkumpul dalam satu kesucian sehingga kebahagiaan akan meresap.

Senantiasa. Dari jengkal ke depa, dari depa ke hasta, hingga tutup usia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun