Sangat mengejutkan, ketika kita test, ternyata tidak semua anak-anak muda kita hafal teks Pancasila. Padahal mereka mempelejarinya sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sebegitu jauhkah anak-anak muda kita jauh dari Pancasila? Atau, sudah sedemikian parahkah nilai-nilai luhur bangsa ini diabaikan oleh generasi ini?
Haruskah hafal Pancasila?
Jika kita ditanya dengan pertanyaan apakah kita harus hafal Pancasila, jawabnya tentu beragam. Sebagian mengatakan "harus", mungkin karena romantisme penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di era orde baru. Atau, mungkin para "formalis" yang memiliki pandangan bahwah menghafal Pancasila adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangkaian menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara, sebagian lain ada yang mengatakan tidak harus. Mengapa? Mereka memandang bahwa menghafal Pancasila tidak memiliki kaitan erat dengan menghayati dan mengamalkan Pancasila. Bagi kelompok ini, Pancasila itu adalah nilai-nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan untuk dihafalkan saja dan digunakan sebagai simbol-simbol formal.
Di luar keduanya, kelompok-kelompok lain yang tidak peduli bagaimana falsafah Pancasila dihormati dan dijalankan di negeri ini. Kelompok ini adalah kelompok yang apatis karena selama ini orang-orang yang mengaku Pancasilais pada kenyataannya banyak terlibat masalah di negeri ini.Â
Kelompok ini tidak peduli lagi terhadap Pancasila, lebih peduli pada keyakinan keberagamaan yang mereka anggap "tidak ada kaitannya" dengan nasionalisme, atau kelompok-kelompok liberal yang memang tidak lagi peduli terhadap implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menjadi Pancasilais
Pancasilais adalah orang-orang yang menghayati dan mengamalkan Pancasila secara nyata dalam kehidupannya sehari-hari. Pancasilais tidak saja menjadi Pancasila sebagai bahan bacaan tetapi telah mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila sejati.Â
Seorang Pancasilais adalah seseorang yang religius karena semua gerak dan langkahnya tidak bisa dilepaskan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi, secara filosofis kita ketahui bahwa sila-sila selain sila 1 merupakan mengembangan dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam artian, sila satu adalah pondasi bagi penerapan sila-sial lainnya.
Seorang Pancasilais bisa beragama apa saja. Semua nilai-nilai Pancasila selaras dengan nilai-nilai agama manapun. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi umat beragama untuk tidak menerima Pancasila. Pancasila adalah tata nilai yang paling sesuai dengan kondisi riil bangsa Indonesia yang bhineka.
Bagi seorang Pancasilais muslim misalnya, pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, esensinya adalah meyakini bahwa Tuhan itu tunggal, tidak ada tuhan selain Dia, yaitu Allah Swt. Sehingga, kalimat tauhid yang sering diucapkannya yaitu laa ilaha illallah, tidak bertentangan dengan Pancasila. Meyakini ke-esa-an Allah Swt adalah kewajiban bagi setiap muslim, dan ini sesuai dengan ajaran Islam.Â
Selebihnya, pengamalan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, dilaksanakan berdasarkan keyakinannya bahwa Allah Swt akan memberikan pahala yang besar ketika ia memperlakukan manusia selayaknya manusia. Pengamalan sila kedua Pancasila ini merupakan pengejawantahan dari perintah untuk "mengasihi sesama manusia" dan pelaksanaan perintah besar untuk selalu menjaga hubungan baik sesama manusia (hablumminnannas).Â
Sehingga, semua interaksi kemanusiaan ini tidak hanya berorientasi pada balasan dari manusia yang lain, tetapi dalam rangka mengharapkan ridlo dari Allah Swt. Dalam Surah Al Qasas ayat 77 Allah Swt berfirman:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu kebahagiaan akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan."
Selanjutnya, menerapkan sila ketiga Persatuan Indonesia, juga didasarkan perintah agar selalu menjaga persatuan. Dalam Surat Ali Imron ayat 103, Allah Swt berfirman:
Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.Â
Sementara itu substansi dari sila ke 4 Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan, lekat dengan perintah untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persolan. Dalam Surat Ali Imron ayat 159, Allah Swt berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Sementara itu, penerapan sila ke 5 Pancasila bagi seorang muslim juga merupakan implementasi perintah berbuat adil. Dalam Surah Al Maidah ayat 42 Â Allah Swt berfirman:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.Â
Nilai-Nilai Pancasila
Merumuskan Pancasila adalah upaya menterjemahkan nilai-nilai luhur bangsa. Teks Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kristalisasi nilai yang sebenarnya sudah ada di dalam kehidupan nyata. Nilai-nilai itu telah ada sejak dahulu kala, bahkan sejak sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan.Â
Dengan demikian, pada prinsipnya Pancasila adalah nilai, bukan teks. Nilai-nilai luhur itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari, yang kemudian dirumuskan agar mudah dipelajari.Â
Sebagai sebuah nilai, Pancasila hadir sebagai tindakan, bukan sebagai hafalan. Hafalan teks Pancasila adalah upaya untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah nilai luhur yang diimplementasikan semua komponen bangsa. Adalah merugikan jika semua orang hafal teks Pancasila, tetapi tidak ada nilai Pancasila dalam kehidupan kita. Karena sebuah nilai, maka menguatkan Pancasila tidak cukup dengan membahasnya dalam diskusi.Â
Keteladanan para orang tua, guru, pemimpin masyarakat, dan siapa saja, sangat diperlukan dalam upaya memasyarakatkan Pancasila. Anak membutuhkan keteladanan ayah dan ibunya, murid memerlukan contoh dari guru-gurunya, dan masyarakat membutuhkan uswah hasanah dari para pemimpinnya. Orang tua, guru, dan para pemimpin tidak cukup mendiskusikan Pancasila, tetapi harus ditopang dengan contoh implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Haruskah hafal teks Pancasila? Tidak harus! Tetapi sebaiknya hafal, karena Pancasila sebagai teks adalah adalah bagian penting dari kenegaraan kita. Tetapi yang lebih penting dari itu adalah menerapkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H