Mohon tunggu...
Anshar Aminullah
Anshar Aminullah Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat, Peneliti, Akademisi

Membaca dan Minum Kopi sambil memilih menjadi Pendengar yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran JW Schoorl tentang Modernisasi, Kota, dan Perubahan Sosial

15 Maret 2024   13:17 Diperbarui: 30 Juli 2024   07:27 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Gleen E. McGee berbicara tentang peranan penting yang dijalankan oleh ’teori-teori dominasi kota’. (staddominante theorieën) dalam studi tentang proses urbanisasi. Apabila ditinjau peranan kota sejak permulaan proses urbanisasi, maka sudah selayaknya untuk berpendapat, bahwa kota itu memegang peranan penting dalam proses-proses perubahan di tingkat regional dan nasional. Sejak jaman dahulu kota itu menjadi pusat perdagangan, industri, administrasi dan politik (baik pada jaman prakolonial, jaman kolonial dan post-kolonial).

      Dahulu dan sekarang pun kota itu merupakan tempat terjadinya dan terpeliharanya kontak-kontak internasional, di mana banyak modal ditanam dibandingkan dengan di daerah pedesaan dan di mana bagian penduduk yang termasuk golongan terpelajar dan berbakat berkumpul. Maka tidak mengherankan, apabila sampai sekarang orang menyebut kota sebagai 'sumber pancaran’ perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya atau sebagai ‘katalisator’ proses-proses tersebut. 

Pendapat ini terutama didasarkan atas peranan kota di barat yang memang sudah mengalami urbanisasi. Orang sering terlalu cepat menganggap, bahwa pandangan semacam itu tentu juga akan dapat diterapkan untuk proses urbanisasi seperti yang terjadi di dunia ketiga. Seorang penting yang mewakili pendapat ini ialah David Reisman. Akan tetapi akhir-akhir ini mengenai pendapat tentang peranan kota dewasa ini, lebih-lebih di negara-negara di dunia ketiga, telah dikemukakan pertanyaan-pertanyaan. 

Yang mewakili pendirian yang menyimpang ini pertama-tama ialah mereka, yang berpendapat bahwa tingkat ` yang paling tepat untuk mempelajari proses urbanisasi ialah tingkat masyarakat nasional. Menurut pandangan ini kota itu hanya bentuk yang paling jelas dan paling ekstrem dari gejala-gejala yang terjadi di tingkat masyarakat nasional. Salah satu kesimpulan dari cara pendekatan ini ialah, bahwa kota sebagai subsistem tersendiri sedang dalam proses akan hilang. 

     Pada umumnya ada baiknya untuk mengetahui, bahwa sering diberikan peranan yang terlalu besar kepada kota dalam perubahan sosial sesuatu negara, karena menggunakan generalisasi-generalisasi yang didasarkan atas perioda perioda tertentu. Sumbangan yang penting untuk studi tata kehidupan kota tahun-tahun belakangan ini berasal dari studi proses urbanisasi di Afrika di sebelah selatan Sahara. J Clyde Mitchell-lah yang berdasarkan banyak material empirik yang bermacam-macam, memberanikan diri untuk: mencoba menyusun suatu kerangka analisa yang lebih baik. 

Pertama-tama diadakannya perbedaan analitik antara perubahan mengenai sistem sosial seluruhnya, yang disebutnya perubahan historik’ atau °prosesif dan perubahan mengenai tata kelakuan individual karena keanggotaan dalam bermacam-macam sistem sosial. Perubahan-perubahan ini disebutnya perubahan situasional’. Ia berangkat dari celaan, bahwa banyak studi tentang kota-kota di Afrika terutama berpusat pada perlawanan antara kota dan desa. Ini tidak tepat, karena dalam analisanya tidak mengadakan perbedaan antara perubahan prosesif dan perubahan situasional. Maka disusunnya suatu pendekatań situasional dalam studi masyarakat kota. 

      Dalam pendekatan situasional  ’`the social relationships and the norms and values which buttress these relationships in the town, must be viewed as a part of a social system in their own right ('hubungan-hubungan sosial serta norma dan nilai-nilai yang menjadi sandaran bagi hubungan-hubungan di kota itu, harus dipandang sebagai bagian tersendiri dari sebuah sistem sosial’). 

Hubungan-hubungan sosial yang merupakan susunan sistem itu kemudian ditentukan dengan menggunakan 'determinan-determinan ekstern’ yaitu faktor-faktor ekologi, yang berasal dari pemikiran Louis Wirth dan diterima begitu saja tanpa diberi perhatian lebih lanjut. Kemudian Mitchell melengkapi kerangka analisa itu dengan membedakan antara hubungan struktural, hubungan kategorial dan jaringan-jaringan perorangan yang kesemuanya merupakan susunan hubungan sosial. Sekilas pandang, sumbangan Mitchell itu kelihatan menarik. 

Dengan menarik garis pemisah yang jelas di antara sistem sosial pedesaan dan kota, banyak muatan yang tak perlu’ (overtollige ballast) dapat dibuang, bersama-sama dengan kemungkinan untuk menarik kesimpulan yang salah yang ditimbulkannya. Kecuali itu kerangka analisa tersebut memberi dasar yang jelas untuk mempelajari sejumlah besar aspek-aspek tata kehidupan kota. 

Sebaliknya dapat dikemukakan sejumlah keberatan. Yang pertama-tama menjadi pertanyaan ialah, apakah determinan yang bercorak ekologik itu merupakan faktor-faktor terpenting, yang menentukan corak hubungan sosial dalam konteks tata kehidupan kota. 

     Pada hemat kami Mitchell terlalu mudah mengabaikan kritik yang terutama dilancarkan dari sudut nonmaterial. Di samping itu Mitchell tidak memberi bukti yang meyakinkan, bahwa ṣistem sosial kota itu secara analitik dapat disendirikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun