Pada prinsipnya, di setiap kota mengalami sebuah histori pertumbuhan dan perkembangan sehingga menjelma menjadi sebuah kota besar. Proses terbentuknya menjadi kota tak bisa dipungkiri tidak bisa terlepas dari segala aktivis dalam berbagai aspek pada manusia itu sendiri. Kota dapat dilihat dalam sisi sebagai gaya hidup, yang memungkinkan para penduduknya bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang asing serta mengalami berbagai perubahan dan perkembangan pesat, termasuk perubahan mobilitas sosial.
Beberapa aspek struktur sosial kota yang dapat diperinci dalam beberapa gejala menurut
Daldjoeni antara lain : Pertama, Heterogenitas sosial. Kepadatan penduduk mendorong
terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang. Manusia kadangkala dalam bertindak memilih-milih hal yang paling menguntungkan baginya, sehingga tercapai spesialisasi.
Dalam upaya keberhasilan kapilaritas sosial (membuat karier), orang mengurangi khususnya jumlah anaknya dalam internal keluarganya. Kota juga menjadi melting pot untuk aneka suku maupun ras. Masing-masing minoritas ada kecenderungan untuk mempertahankan diri dengan memelihara jumlah anak yang banyak untuk tidak hilang terdesak .
Kedua, Mobilitas Sosial. Di sini yang dimaksudkan adalah perubahan status sosial seseorang. Dimana seseorang juga menginginkan kenaikan dalam jenjang kemasarakatan di kehidupannya atau yang kita kenal dengan istilah social climbing.
Dalam aktivitas kehidupan sebuah kota, segalanya menjadi diprofesionalkan, dan melalui profesinya seseorang pun dapat naik jenjang posisinya. Selain usaha dan perjuangan pribadi untuk berhasil, secara kelompok seprofesi juga ada solidaritas klas.
Terjadilah perkumpulan-perkumpulan orang seprofesi, seperti guru, dokter, wartawan, pedagang, tukang becak, dan lainnya. Ketiga lndividualisasi. Ini merupakan akibat dari sejenis atomisasi. Orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain. lni berlatar belakang corak sekunder dari
Sebuah kehidupan kota, dimana sifat sukarelanya ikatan serta banyaknya berbagai kemungkinan yang tersedia.
Pada aspek mental ini, Daldjoeni lebih melihat pada aspek kejiwaan (mental) masyarakat
kota. Adapun kejiwan masyarakat kota dapat diperinci atas beberapa gejala diantaranya :
Pertama, Industri kesenangan dan pengisian waktu luang. Semakin maju suatu kota besar,
semakin bermunculan masalah yang bertalian dengan penggunan waktu luang.
Waktu luang ini diakibatkan oleh proses teknisasi yang pada akhirnya sebagian besar tenaga manusia tergantikan oleh tenaga dari sebuah mesin dan tata kerja manusia dapat dijadwal dengan sangat ketat. Akibatnya, manusia akhirnya bekerja dengan suasana penuh rasa tegang sehingga setelah selesai diperlukan suasana yang cukup santai. Waktu luang akan menjadi masalah penting setelah bersama dengan majunya teknisasi, jumlahnya makin bertambah.
Pada negara berkembang, orang bekerja tujuh hari atau enam hari dalam seminggu, sedangkan di dunia Barat, orang bekerja lima hari kerja. Hal ini meningkatkan mereka untuk menciptakan kegiatan bersama yang produktif semakin berkurang. Karena itu, mereka membutuhkan usaha pengisian waktu luang secara organisasi.
Sehubungan itu diaadakan industri kesenangan. Kedua, Egalisasi dan sensasi. Proses egalisasi mengandung tendensi penyamaan, dimana di dalamnya peran dari materi atau uang begitu penting dalam kehidupan di kota. lni berlatar belakang pada proses tehnisi dan industrialisasi. Dengan memiliki uang, orang akan dapat sejajar dengan orang lain. Dalam arti ia juga dapat membeli banyak keinginan dan kebutuhan yang diinginkannya.
Kehidupan di perkotaan berisi kecendrungan sensasi, karena kepekaan manusisa menjadi semakin luntur seperti disebutkan di atas. Hal-hal yang menimbulkan sensasi, misalnya di bidang olahraga, meskipun ini terasa lebih kuat pada kelompok pemudanya. Melalui kegiatan olahraga orang muda mencari prestasi, dan caranya dengan metode yang sportif.
Sikap sportif ini kemudian mewujudkan suatu sikap yang terpuji, yang diharapkan akan berlaku juga dalam pergaulan secara kemasyarakatan. Apabila kita meninjau peranan kota dalam proses perubahan sosial, maka harus dibedakan antara proses perubahan yang terjadi dalam konteks kota dan yang terjadi dalam konteks yang lebih luas, ba ik regional maupun nasional.
Dalam tulisan-tulisan tentang proses pertumbuhan ` kota banyak diberikan perhatian atas proses perubahan yang terjadi dalam konteks kota. Orang-orang yang pindah darı desa ke kota, dalam beberapa hal mengubah kebiasaan mereka, karena pengaruh konteks yang berlainan di mana mereka harus ħidup. Kita telah melihat apa akibat perubahan kebiasaan itu atas fungsi kelompok kekerabatan.
Akan tetapi kelompok kekerabatan itu hanya sebagian saja dari struktur sosial. Kita juga dapat memikirkan tentang yang disebut organisasi bebas, yaitu yang didirikan guna mencapai tujuan bersama tertentu dan bukan organisasi ekonomi atau politik yang khas.
Organisasi-organisasi bebas ini juga sering mencerminkan perubahan sosial, bahkan demikian rupa, sehingga dapat dibedakan antara organisasi-organisasi yang lebih tradisional dan yang lebih modern. Juga proses intensifikasi dari subkultur tersebut di atas termasuk proses perubahan yang terjadi dalam konteks sebuah kota.
Segi yang penting dalam tinjauan tentang perubahan sosial dalam konteks kota itu ialah faktor waktu. Bagi seorang pendatang proses penyesuaian diri dengan struktur sosial baru (resocialization`) itu tidak terjadi di semua sektor kehidupan kota, di mana ia menceburkan diri.
Demikianlah seorang individu dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya yang baru (pakaian, jam kerja, hirarki jabatan), sedang mengenai pemeliharaan kesehatan, keanggotaan perkumpulan bebas, dan sebagainya, ia lebih berpegang kepada latar belakang pedesaan.
Dalam hubungan ini dikatakan, bahwa pendatang itu di kota tetapi bukan orang kota. John W. Mayer menggunakan kata 'inkapsulasi’ (incapsulation) apabila pendatang itu tinggal di kota, akan tetapi tidak menjadi orang kota, sedang Ray Pahl memberitahukan, bahwa banyak pendatang itu orang kota pada siang hari, dan malamnya orang desa.
Akan tetapi masih menjadi soal, apakah proses perubahan situasi berjalan sepihak, dalam arti, bahwa pendatang baru itu harus selalu menyesuaikan diri dengan organisasi sosial dan cara berfikir orang kota. Terutama untuk kota yang tumbuh dengan cepat karena banyaknya pendatang. juga digunakan kata ruralisasi (pen-desa-an), karena latar belakang sosial-budaya yang dibawa oleh para pendatang itu memegang peranan penting yang sukar dihilangkan.
Akan tetapi dapat disimpulkan, bahwa bagaimanapun juga konteks tata kehidupan kota itu merupakan arena, di mana terjadi proses perubahan-perubahan penting di bawah pengaruh sifat kota yang khas. Kesimpulan ini tanpa mengingat persoalan, apakah sifat yang khas itu harus dipandang dalam hubungan dengan ciri-ciri material ataukah non-material dari tata kehidupan kota. Lain halnya, apabila yang ditinjau itu peranan kota dalam proses perubahan yang terjadi ditingkat regional.
Studi tentang proses urbanisasi seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Utaralah yang terutama berpengaruh, sehingga kota dianggap memegang peranan penting dalam proses perubahan yang terjadi dalam rangka yang lebih luas.
Gleen E. McGee berbicara tentang peranan penting yang dijalankan oleh ’teori-teori dominasi kota’. (staddominante theorieën) dalam studi tentang proses urbanisasi. Apabila ditinjau peranan kota sejak permulaan proses urbanisasi, maka sudah selayaknya untuk berpendapat, bahwa kota itu memegang peranan penting dalam proses-proses perubahan di tingkat regional dan nasional. Sejak jaman dahulu kota itu menjadi pusat perdagangan, industri, administrasi dan politik (baik pada jaman prakolonial, jaman kolonial dan post-kolonial).
Dahulu dan sekarang pun kota itu merupakan tempat terjadinya dan terpeliharanya kontak-kontak internasional, di mana banyak modal ditanam dibandingkan dengan di daerah pedesaan dan di mana bagian penduduk yang termasuk golongan terpelajar dan berbakat berkumpul. Maka tidak mengherankan, apabila sampai sekarang orang menyebut kota sebagai 'sumber pancaran’ perubahan-perubahan sosial, ekonomi dan budaya atau sebagai ‘katalisator’ proses-proses tersebut.
Pendapat ini terutama didasarkan atas peranan kota di barat yang memang sudah mengalami urbanisasi. Orang sering terlalu cepat menganggap, bahwa pandangan semacam itu tentu juga akan dapat diterapkan untuk proses urbanisasi seperti yang terjadi di dunia ketiga. Seorang penting yang mewakili pendapat ini ialah David Reisman. Akan tetapi akhir-akhir ini mengenai pendapat tentang peranan kota dewasa ini, lebih-lebih di negara-negara di dunia ketiga, telah dikemukakan pertanyaan-pertanyaan.
Yang mewakili pendirian yang menyimpang ini pertama-tama ialah mereka, yang berpendapat bahwa tingkat ` yang paling tepat untuk mempelajari proses urbanisasi ialah tingkat masyarakat nasional. Menurut pandangan ini kota itu hanya bentuk yang paling jelas dan paling ekstrem dari gejala-gejala yang terjadi di tingkat masyarakat nasional. Salah satu kesimpulan dari cara pendekatan ini ialah, bahwa kota sebagai subsistem tersendiri sedang dalam proses akan hilang.
Pada umumnya ada baiknya untuk mengetahui, bahwa sering diberikan peranan yang terlalu besar kepada kota dalam perubahan sosial sesuatu negara, karena menggunakan generalisasi-generalisasi yang didasarkan atas perioda perioda tertentu. Sumbangan yang penting untuk studi tata kehidupan kota tahun-tahun belakangan ini berasal dari studi proses urbanisasi di Afrika di sebelah selatan Sahara. J Clyde Mitchell-lah yang berdasarkan banyak material empirik yang bermacam-macam, memberanikan diri untuk: mencoba menyusun suatu kerangka analisa yang lebih baik.
Pertama-tama diadakannya perbedaan analitik antara perubahan mengenai sistem sosial seluruhnya, yang disebutnya perubahan historik’ atau °prosesif dan perubahan mengenai tata kelakuan individual karena keanggotaan dalam bermacam-macam sistem sosial. Perubahan-perubahan ini disebutnya perubahan situasional’. Ia berangkat dari celaan, bahwa banyak studi tentang kota-kota di Afrika terutama berpusat pada perlawanan antara kota dan desa. Ini tidak tepat, karena dalam analisanya tidak mengadakan perbedaan antara perubahan prosesif dan perubahan situasional. Maka disusunnya suatu pendekatań situasional dalam studi masyarakat kota.
Dalam pendekatan situasional ’`the social relationships and the norms and values which buttress these relationships in the town, must be viewed as a part of a social system in their own right ('hubungan-hubungan sosial serta norma dan nilai-nilai yang menjadi sandaran bagi hubungan-hubungan di kota itu, harus dipandang sebagai bagian tersendiri dari sebuah sistem sosial’).
Hubungan-hubungan sosial yang merupakan susunan sistem itu kemudian ditentukan dengan menggunakan 'determinan-determinan ekstern’ yaitu faktor-faktor ekologi, yang berasal dari pemikiran Louis Wirth dan diterima begitu saja tanpa diberi perhatian lebih lanjut. Kemudian Mitchell melengkapi kerangka analisa itu dengan membedakan antara hubungan struktural, hubungan kategorial dan jaringan-jaringan perorangan yang kesemuanya merupakan susunan hubungan sosial. Sekilas pandang, sumbangan Mitchell itu kelihatan menarik.
Dengan menarik garis pemisah yang jelas di antara sistem sosial pedesaan dan kota, banyak muatan yang tak perlu’ (overtollige ballast) dapat dibuang, bersama-sama dengan kemungkinan untuk menarik kesimpulan yang salah yang ditimbulkannya. Kecuali itu kerangka analisa tersebut memberi dasar yang jelas untuk mempelajari sejumlah besar aspek-aspek tata kehidupan kota.
Sebaliknya dapat dikemukakan sejumlah keberatan. Yang pertama-tama menjadi pertanyaan ialah, apakah determinan yang bercorak ekologik itu merupakan faktor-faktor terpenting, yang menentukan corak hubungan sosial dalam konteks tata kehidupan kota.
Pada hemat kami Mitchell terlalu mudah mengabaikan kritik yang terutama dilancarkan dari sudut nonmaterial. Di samping itu Mitchell tidak memberi bukti yang meyakinkan, bahwa ṣistem sosial kota itu secara analitik dapat disendirikan.
Yang tidak begitu sesuai dengan garis pemikiran Mitchell ialah anggapan, bahwa kota itu hanya secara kwantitatif berbeda dengan masyarakat lainnya dan dengan demikian merupakan gejala yang paling jelas dan ekstrem dari proses-proses yang terjadi di seluruh masyarakat.
Daftar Sumber
Jamaluddin, Adon Nasrullah. 2017. Sosiologi Perkotaan Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya. Bandung: pustaka setia.
Schoorl, JW. 1981.Modernisasi “Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang”. Jakarta : Gramedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H