Mohon tunggu...
Anshar Aminullah
Anshar Aminullah Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat, Peneliti, Akademisi

Membaca dan Minum Kopi sambil memilih menjadi Pendengar yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Globalisasi dan Gerakan Sosial Baru Dalam Lingkungan

7 Februari 2024   09:47 Diperbarui: 30 Juli 2024   07:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           Dalam pendekatan Giddens, bahwa terlalu simplistik melihat globalisasi yang melibatkan penurunan kekuasaan negara untuk digantikan oleh dominasi perusahaan multinasional. Negara-bangsa masih kuat dan penting. 

Olehnya itu Negara tidak boleh kalah oleh kepentingan pengusaha-pengusaha yang bisa merusak SDA.  Menurut Giddens (1994), terdapat empat konteks utama di mana resiko konsekuensi tinggi tersebut muncul. Masing-masing berkaitan dengan dimensi kelembagaan modernitas. Salah satu diantaranya adalah  resiko yang berkaitan dengan dampak pembangunan sosial modern pada ekosistem dunia.

   Hubungan antara manusia dengan lingkungannya telah menjadi problematik dalam beberapa cara. Sumber sumber material yang diperlukan untuk melangsungkan kehidupan manusia, dan khususnya cara hidup bagian-bagian dunia yang telah mengalami industrialisasi, tampak terancam baik dalam jangka menengah maupun dalam jangka panjang.

    Laporan dari Club of Rome telah menunjukkan ancaman terhadap sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Kebakaran hutan yang sangat luas di Indonesia merupakan contoh paling nyata dan mutakhir dari rusak dan hilangnya kekayaan sumberdaya alam tersebut. Kapasitas bumi untuk menampung sampah atau limbah dari berbagai aktivitas industrial juga makin dirisaukan oleh para pembela ekologi. 

Sejumlah bahaya ekologis yang kini dapat diidentifikasi, seperti dampak pemanasan global dari efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, kerusakan hutan tropis, kekeringan, dan peracunan terhadap air dan udara, akan terus menebarkan resiko kepada para penghuni bumi.

  Maka tawaran Solusi dari Giddens adalah humanisasi alam atau ekologi. Dalam perspektif Giddens, upaya ini akan melampaui sekadar berbagai upaya konservasi dan preservasi sumberdaya alam. Menurutnya, isu ekologi inj harus didekati dalam konteks 'detradisionalisasi', karena alam telah "berakhir' dalam cara yang pararel dengan tradisi, sehingga kini banyak orang merasa khawatir apakah alam masih memiliki peran bagi kehidupan mereka.

    Menghadapi masalah humanisasi alam berarti mulai dari keberadaan "plastic nature ', atau alam di dalam era tata post tradisional. Keputusan keputusan tentang apa yang harus dilestarikan atau diperbarui amat jarang dapat diputuskan dengan mengacu pada apa yang ada secara independen dari manusia. 

Pertanyaan perihal penipisan sumberdaya dan kerusakan lingkungan seringkali kali dapat dianalisa dalam pengertian seberapa jauhkah keduanya menyimpang dari siklus regenerasi yang alami.

   Politik kehidupan adalah bukan politik tentang kesempatan hidup, melainkan politik tentang gaya hidup (life style). Politik kehidupan berkaitan dengan perjuangan tentang bagaimana kita (sebagai individu dan humanitas kolektif) akan hidup di dalam dunia di mana apa yang sebelumnya telah jelas (fix) baik karena alam maupun tradisi, kini menjadi subjek dari proses proses pengambilan keputusan manusia. 

Dengan kata lain, politik kehidupan berkaitan dengan persoalan bagaimana manusia seharusnya mengambil keputusan ketika dihadapkan pada lebih banyak pilihan daripada yang mereka miliki sebelumnya. Sebagai sampelnya, isu isu ekologis tidak semata-mata hanya terkait dengan masalah lingkungan. Isu-isu ekologis lebih merupakan tanda dan juga ekspresi dari sentralitas masalah kehidupan politis, lebih dari sekedar persoalan yang ditimbulkan oleh kapitalisme. 

    Isu-isu ekologis hadir dan menuntut jawaban tentang apa yang harus kita hadapi ketika kemajuan (progress) berkembang kearah dua sisi yang berseberangan, yakni ketika kita memiliki tanggung jawab baru terhadap generasi mendatang, dan ketika terdapat dilema etis bahwa mekanisme pertumbuhan ekonomi yang konstan, di satu sisi ukun membawa kita pada kemakmuran, sementara di sisi lain akan menimbulkan represi terhadap manusia dan juga alam.

Relevansi sosialnya bagi masyarakat Indonesia kontemporer sekarang ini khususnya pada sisi realitas sosial dengan realitas ekologis yang masih saling berhubungan, khususnya pada pengaruh dari aspek agama, aspek politik, aspek ekonomi, aspek pendidikan, dan aspek-aspek yang lain, jelas turut terlibat menentukan baik  buruknya lingkungan kita. 

     Kerusakan lingkungan dan tidak adanya konservasi lingkungan secara baik merupakan salah satu dari aspek-aspek tersebut. Beberapa pakar berpendapat bahwa kegagalan pembangunan lingkungan di Indonesia, misalnya, tidak lepas dari persoalan ini. persoalan-persoalan tersebut antara lain :
Aspek agama. 

Pengembangan kajian keberagamaan secara ekologis atau kajian ekologi dari perspektif  seharusnya lagi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan hanya berkutat dengan peribadatan baku seperti: berdoa, puasa, dan lain-lain Akan tetapi, kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan pun harus dimaknai dan dijelaskan dalam bingkai religius. Seperti memasukkan kegiatan tidak menjarah pohon di hutan, tidak membakar hutan, dan lain-lain dalam amalan dosa-pahala. 

   Gagasan besar yang mengajarkan umat-Nya untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan digali secara lebih mendalam. Oleh karena itu, kecintaan atas lingkungan hidup di bumi menjadi syarat utama agar manusia disayangi oleh makhlukmakhluk di langit seperti para malaikat. 

    Sekalipun kajian ekologi agama masih mencari format yang komprehensif, Ini berarti, masih perlu langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan. : 

- Aspek hukum. Membangun ide dan kesadaran tentang penyelamatan lingkungan sebenarnya telah didukung oleh adanya dua undang-undang tentang lingkungan. Baik termaktub dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan maupun dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 

Meskipun dalamnya terdapat hak-hak menggugat negara jika masyatakat dirugikan akibat kerusakan lingkungan, agaknya kita belum biasa menyelesaikan persoalan lingkungan dengan cara konflik seperti itu.  Sementara itu, dalam tingkatan penegakan hukum, perlindungan lingkungan sering kali mendapatkan kendala birokrasi sehingga tidak dilaksanakan secara baik. 

Kerancuan-kerancuan ini ditambah dengan tidak adanya kemauan baik negara dalam menjalankan aturan-aturan yang telah dibuatnya. Oleh karena itu, dalam aspek hukum, pemberdayaan masyarakat agar memanfaatkan hak gugatnya pada negara merupakan persoalan penting yang segera dipikirkan.

-  Aspek politik. Kesalahan kita yakni melihat lingkungan hanya dari sisi teknis atau praktis belaka Tanpa berani untuk menegaskan bahwa persoalan lingkungan juga bagian persoalan politik. Akibatnya, sekalipun masalahmasalah lingkungan banyak disebabkan oleh benturanbenturan relasi politik, jarang sekali ada pihak-pihak yang peduli lingkungan dalam arti memperjuangkannya melalui jalur politik. 

Penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Rencana Wilayah), misalnya, jelas-jelas merupakan produk politik, sebab dilahirkan dari keputusan-keputusan baik eksekutif maupun legislatif. Akibat tarik-menarik kepentingan, tidak sedikit menghasilkan pertukaran yang saling menguntungkan. Implikasinya, lingkungan menjadi korban dari perselingkuhan" politik ini. Walaupun demikian, ada saja pihak-pihak yang tidak menganggap keterkaitan politik dengan persoalan krisis lingkungan yang telah terjadi.

-  Aspek pendidikan. Sekalipun bersifat tidak langsung, produk (out come) pendidikan kita ikut memengaruhi hitam putihnya lingkungan sebab proses pendidikan sangat menentukan watak manusia. Apakah pendidikan telah mengajari kita untuk mengejar kesuksesan material belaka atau mewariskan budi pekerti (etika) lingkungan, Jika kualitas lulusan institusi pendidikan berorientasi pada status sosial dengan mengejar kekayaan material, maka watak merusak lingkungan adalah akibat yang tidak bisa dihindari. 

Dari aspek ini seharusnya kita mulai memikirkan tentang pendidikan yang berbobot budi pekerti lingkungan atau etika lingkungan. Menata fondasi pendidikan kita yang berbasiskan pada kepentingan lingkungan ke depan seharusnya menjadi agenda yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

-  Aspek ekonomi. Rancangan pembangunan ekonomi terlibat dalam rusaknya lingkungan-lingkungan di sekitar kita sebab target keberhasilan pembangunan demi mendapatkan income yang sangat besar jelas mengorbankan lingkungan. Hampir sulit membayangkan keberhasilan pembangunan tanpa diukur dengan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi. 

Kota/kabupaten di Indonesia, misalnya, maju tidaknya dinilai dengan melihat seberapa jauh perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan kalimat Jain, seberapa daerah-daerah tersebut mengeruk SDA, kemudian diwujudkan dalam bentuk kekayaan materiil.

    Meskipun ada Dampak positif pelaksanaan reklamasi yakni dapat membantu negara/kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan (pemekaran kota), penataan daerah pesisir , pengembangan wisata dan usaha masyarakat sekitar khususnya nelayan. Namun dampak negatif akibat kegiatan reklamasi diantaranya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. 

Perubahan ekosistem seperti perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi pesisir berpotensi meningkatkan bahaya banjir, dan berpotensi gangguan lingkungan di daerah lain (seperti pengeprasan bukit atau pengeprasan pulau untuk material timbunan) (Modul Terapan Perncanaan Tata Ruang Wilayah Reklamasi Pesisir , 2017, hlm. 11) .

    Reklamasi akan merusak fungsi serta nilai konservasi pertanahan dna juga perairan Teluk Benoa, dan kerusakan fungsi serta nilai konservasi di Teluk Benoa adalah ancaman kerusakan keanekaragaman hayati khususnya di Kawasan pesisir lainnya. Maka tak salah jika kita mengacu dari pendapat Giddens, bahwa "Konservasi harus memecahkan masalah bagaimana mengakomodasi dan memaknai masa lalu dengan menghargai masa depan".


Daftar Pustaka

Departemen Pekerjaan Umum.2008. Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai. (https://www.slideshare.net/infosanitasi/pedoman- perencanaan-tata-ruang-kawasanreklamasi-pesisir -10462360)/ Diakses pada 16 November 2020 Pukul 21.00

Gangga Santi Dewi, IGA. 2019. Penolakan Masyarakat Terhadap Reklamasi Teluk Benoa Provinsi Bali. Jurnal Diponegoro Private Law Review Vol. 4 No. 1. Semarang: Undip.

Giddens, Anthony and Turner Jonathan. 2008. Social Theory Today. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Habibi, Muhtar. 2011. Memahami ACFTA dari Perspektif 'Masyarakat Jaringan'. Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 2, No. 1,Hal. 99-149. Jakarta : LIPI

K Dwi Susilo, Rahmat. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Ritzer, Goerge and Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern Edisi 6. Jakarta : Kencana Prenada Medias Group

Rodrik, D. 2007. One Economics Many Recipes : Globalization, Institutions and Economic Growth. New Jersey : Princeton University Press

Shanty Novriaty. 2006. Pemetaan Pemikiran Dalam Sosiologi. Vol XIII : Hal 7

Sahide, Ahmad. Dkk.2015 The Arab Spring: Membaca Kronologi dan Faktor Penyebabnya. Yogyakarta :UMY.diambil dari www.journal.umy,ac.id .(2016, 25 November). Diakses pada 16 November 2020, dari (https://journal.umy.ac.id/index.php/jhi/article/view/2237 Pukul 17.00

Sunu, Pramudia. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta : Gramedia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun