Mohon tunggu...
Anselmus Puasa
Anselmus Puasa Mohon Tunggu... Dosen - nama panggilan Amos

Amos si penggemar film Kung Fu China

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Budaya Pop dan Pendidikan

28 Oktober 2021   12:39 Diperbarui: 29 Oktober 2021   13:00 1430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia."

Pendahuluan

Mc Luhan, pernah berujar bahwa kita sekarang hidup dan tinggal di sebuah '"desa global" (the global village). Mengapa? 

Oleh karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghantar kita pada suatu keadaan dimana, seolah-olah batas-batas negara dan wilayah telah hilang (the borderless). Itulah era yang kita kenal dengan sebutan era globalisasi.

Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi, telah menghadirkan pelbagai kemudahan bagi manusia modern. Sehingga siapa saja dapat mengakses informasi, kapan saja dan di mana saja. 

Dalam waktu yang singkat,   kita  yang tadinya tinggal di pelosok dapat dengan mudah dan cepat dalam memperoleh berbagai informasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Lewat Televisi (antena parabola), smartphone, gadget, dll. Kita dapat mengetahui pelbagai berita dan perkembangan di negara-negara luar.  

Tidak hanya kita yang menonton orang-orang luar; akan tetapi dengan medsos, kita dapat berbagi cerita dan berita tentang kita, untuk orang lain. Medsos dapat menjadi sarana bagi setiap orang untuk dapat tukar informasi satu sama lain.

Budaya Pop

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

E.B Taylor (antropolog Inggris) mendefinisikan budaya sebagai sesuatu kompleks yang mencakup pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 

Antropolog Amerika di abad 20an, Ralph Linton (The Cultural Background of Personality): Budaya adalah susunan perilaku yang dipelajari dan hasil perilaku yang elemen komponennya dibagi dan ditularkan oleh anggota masyarakat tertentu.

Koentjaraningrat: budaya sebagai sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia yang di dalam kehidupannya yang bermasyarakat.

Budaya Popular adalah budaya yang secara sengaja dihasilkan oleh media massa (TV, koran, gadget. dll), yang kemudian media massa menyampaikan segala sesuatu terkait dengan kemunculan budaya untuk disesusaikan dengan kondisi dan situasi, sehingga kemudian dapat dikonsumsi oleh masyarakat. 

Williams Raymond (Keyword, London, 1983) budaya: proses perkembangan spiritual dan intelektual, pandangan hidup dari masyarakat dan karya serta praktik intelektual. Sedangkan kata "pop" diambil dari kata "populer".

Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri; 

Jadi berbicara mengenai budaya populer, sangat terkait dengan pandangan hidup dari masyarakat yang kemudian diaplikasikan dalam praktik intelektual kehidupan sehari-hari. 

Budaya Pop bersifat kontemporer, dimana budaya ini bisa berubah sewaktu- waktu dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, mengikuti perkembangan zaman, serta eksistensinya sedang berkembang baik di masyarakat.

Karakteristik Budaya Pop:

Budaya Seragam: tidak hanya soal fashion, life style, tapi juga dalam aspek wacana (imitasi/copas ?); Menurut Arpinus Salam (Biarkan Dia Mati, 2001:54) identitas dan orisinalitas manusia modern ternoda oleh penyamaan-penyamaan (keseragaman).

Budaya Instant: munculnya Fast Food (Mc Donalds. KFC, dll), telah mengubah banyak peradaban di dunia. Fast Food merefleksikan hancurnya unit sosial-tradisional yang bernama keluarga inti. 

Secara tradisional, meja makan adalah sebuah simbol dari integrasi keluarga. Makan bersama di meja manak, tidak sekedar berkumpul bersama, tetapi semua orang (ortu-anak) terlibat dalam pusat ritual kehidupan keluarga (proses pendidikan, proses pemulihan relasi, dll) Fast food mengubah semuanya itu; untuk makan, orang tidak butuh meja dan kursi, boleh makan sambil jalan. 

Jadi, fast food adalah tempat terciptanya disintegrasi masyarakat dan sebagai tempat kesepian dan terburu-buru (mengejar waktu) (Himat Budiman, Lubang Hitam Kebudyaan, 2002:38).

Life style: Gaya hidup yang bersifat pragmatis-materialism. Pragmatisme berasal dari kata bahasa yunani yaitu pragma yang berarti tindakan, perbuatan. Suatu tindakan itu dapat dikatakn baik bila ia mendatangkan manfaat dan kegunaan bagi kehidupan nyata. 

Gaya hidup modern (budaya pop), sesuatu yang berguna itu adalah sesuatu yang menguntungkan kehidupan kita secara material. Life Style yang menekankan kecepatan, kebebasan, kemudahan, kesenangan, kelezatan.

Budaya kerja, multitasking:  pada waktu yang bersamaan, seseorang dapat megerjakan beberapa tugas sekaligus. Misalnya, makan sambil membaca dan nonton yutube.

Pendidikan 

Secara Etimologi atau asal-usul, kata pendidikan dalam bahasa inggris disebut dengan education, dalam bahasa latin pendidikan disebut dengan educatum yang tersusun dari dua kata yaitu 'E' dan 'duco' dimana kata  'E' berarti sebuah perkembangan dari dalam ke luar atau dari sedikit banyak, sedangkan 'duco' berarti perkembangan atau sedang berkembang. 

Jadi, Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu. 

Jhon Dewey (2003: 69) menjelaskan bahwa "Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia." 

Sedangkan Fuad Hasan: Pendidikan adalah "Usaha manusia untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani, agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat dan kebudayaan".

Paolo Freire (The Politic of Education, 2002): pendidikan harus menjadi kekuatan penggugah (subversive forces) ke arah perubahan dan pembaruan. Pendidikan untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi); pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan,bukan penjinakan sosio-budaya. 

Singkatnya, pendidikan harus menciptakan manusia bebas, bukan manusia bermental parasite. Pendidikan yang memberlenggu adalah pendidikan "Gaya Bank" (Banking concept of education).

Anak didik adalah objek investasi dan sumber deposito; anak didik ibarat 'bejana kosong' yang diisi dengan tabungan untuk masa depan. Inilah pendidikan di era kapitalis, yakni pendidikan harus menjawab kebutuhan pasar. Sehingga yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan.

Menurut Arpinus Salam, pendidikan yang proaktif dan progresif, tidak semata-mata soal out put yang siap pakai di pasar kerja, tetapi pendidikan semstinya menghasilkan manusia yang inspiratif, mandiri, berpikir alternative dan berkepribadian. 

Pendidikan yang gagal menciptakan manusia yang berkepribadian, hanya akan menciptakan pribadi yang mudah disetir,diatur, dihasut, dan diombang-ambingkan dengan keadaan.

Menjawab Persoalan

Membendung lajunya arus budaya pop (negative) maka manusia terdidik,harus mampu menciptakan budaya tandingan/budaya lokal. Terutama, membangkitkan rasa percaya diri dan kecintaan pada jati diri sebagai manusia Indonesia/manusia Halmahera.

Pendidikan harus membentuk karakter manusia yang menghargai proses, tidak hanya mengejar hasil (out put). Kuliah Instant, ijazah instant, makalah instant hasil COPAS; hanya akan menciptakan manusia parasit atau menghasilkan orang-orang yang berpendirian: "biar omong kosong, dari pada kosong."

Menurut John Medina (buku:Brain Rules),multitasking is a myth. Otak manusia bekerja secara sekuensial (berurutan) dan tidak pernah bisa dipaksa bekerja secara parallel (bersamaan dalam satu waktu). Studinya, menunjukan bahwa melakukan multitasking hanya akan menurunkan produktivitas kita.

Apapun model pendidikan yang kita selenggarakan, namun tujuan pendidikan, tidak lain adalah untuk membudayakan dan mengadabkan manusia, agar tidak menjadi manusia yang berbuaya dan biadab.

Menurut Alber Bandura (Psikolog dari Kanada, 1986) dalam Teori Belajar Sosial, orang belajar dari orang lain melalui observasi, peniruan, dan pemodelan. Sebab manusia adalah mahluk peniru nomor satu, karena itu, tirulah yang baik bukan yang buruk.

Penutup

Salah satu budaya yang berkembang di era globalisasi adala "Budaya Pop." Kehadiran "Budaya Pop" ibarat pedang bermata dua. Ada sisi-sisi positif, tetapi juga ada sisi negative yang harus dicermati. 

Tugas dunia pendidikan adalah  membentuk karakter manusia  agar  kita tidak kehilangan identitas dan orisinalitas sebagai manusia Indonesia/Halmahera.

Manusia Indonesia/Halmahera bukan manusia biadab dan berbuaya, melainkan  manusia yang berbudaya dan beradab dan yang berhati dan berwawasan terbuka, tapi tidak hanyut dan hancur oleh budaya luar; akan tetapi bangga dengan nilai-nilai budaya lokal dan malahan dapat berbagi dan memberi pengaruh positif bagi orang lain (the others).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun