Mohon tunggu...
Anriadi
Anriadi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang penjelajah Hikmah, akan kucari dimana ia berada.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Surat Cinta Menuju Pelantikan dan Rakernas PP IMDI

7 Oktober 2022   22:50 Diperbarui: 7 Oktober 2022   23:20 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Anriadi Kaizen (Ex. IMDI UNM/Alumni Ponpes DDI Al-Ihsan Kanang)

Menjelang usianya yang ke 53, Ikatan Mahasiswa Darud Da'wah wal Irsyad (IMDI) sudahlah berada dalam usia yang cukup matang. Salah satu Organisasi Kepemudaan terbesar di Sulawesi Selatan ini berada di bawah Organisasi besar Darud Da'wah wal Irsyad (DDI), juga salah satu Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan terbesar di Indonesia setelah Nadhdatul Ulama dan Muhammadiyah. Ormas ini didirikan salah satunya oleh Anregurutta K.H Abdurrahman Ambo Dalle yang merupakan sosok guru, ulama, keluarga dan sahabat bahkan tokoh politik dan budaya. Masyarakat Sulawesi Selatan menjadikannya sebagai tokoh teladan yang berkarismatik dan penuh ketenangan.

Tetapi penulis tidak ingin berlarut-larut membahas DDI yang penuh sejarah dan dinamika itu dalam perjalannanya melainkan kepada anak kandungnya sendiri yaitu IMDI. Sebagai anak kandung ideologis, IMDI mewarisi spirit yang ditanamkan oleh organisasi DDI secara struktural maupun kultural. Karena IMDI adalah Badan Otonom (berdiri sendiri dengan pemerintahan dan gaya sendiri) dari DDI, maka IMDI mempunya hak dan tanggung jawab penuh mengarahkan dirinya menuju kepada cita-cita yang diinginkan oleh kader IMDI atau DDI secara ideologis.

Kelahiran IMDI tentu sangat penting bagi DDI, sebab DDI membutuhkan generasi segar, berideologis, memiliki semangat pengabdian pada agama, bangsa dan DDI. Kepengurusan DDI dimasa yang akan datang berada ditangan kader IMDI hari ini, maka tidak heran IMDI harus menjadi salah satu prioritas utama bagi DDI jika masih mengharap masa depan DDI yang cerah dan diurus oleh kader-kader murni serta ikhlas. Banyaknya pengurus DDI yang tidak memiliki spirit ideologis terbukti hanya menjadi beban dan benalu bagi DDI dan menjadikannya sebagai batu loncatan dalam mencapai kepentingan politik praktis dan materialis. Alih-alih ingin menghidupi amal pendidikan DDI, oknum itu justru merasa memiliki secara pribadi sekolah, pesantren, kampus serta amal pendidikan dan sosial DDI lain. Faktanya beberapa pengurus sekolah, kampus dan pesantren DDI menolak diganti oleh PB DDI meskipun ia telah menjadi pimpinan tertinggi dan terlama, salah satunya justru kembali membangun kekuatan massa kemudian melawan keputusan PB DDI. Ironis.

Fakta kelam ini sudah lama menjangkiti tubuh DDI adalah akibat dari matinya proses kaderisasi di DDI. Banyak yang mengaku sebagai warga DDI hanya ketika menjabat dalam tubuh sekolah, pesantren atau kampus DDI tetapi justru mereka menggerogoti milik DDI itu dengan alasan bahwa "ini adalah buah kerja keras dan warisan keluarga saya". pesan dan petuah Gurutta Ambo Dalle kini dilupakan, "Anukku Anunna DDI, Anunna DDI tannia Anukku", milikku adalah milik DDI, tetapi milik DDI tannia anukku. Sepertinya itu hanyalah pepatah tua yang sudah ditinggal zaman.

Kehadiran IMDI diharap menyelesaikan problem itu sebagai kader yang murni dan berideologis untuk masuk mengendalikan seluruh sekolah, pesantren dan kampus DDi dan mengarahkan sesuai kaidah dan tujuan organisasi, juga agar tidak diisi oleh orang-orang yang non kader (penyusup).

Menjelang Pelantikan dan Rapat Kerja Nasional PP IMDI, kita punya PR besar menyiapkan kader yang mampu survive tidak hanya di lingkup internal IMDI atau DDI tetapi juga survive dalam ranah kemahasiswaaan, keagamaan, dan kebangsaan.

Kendati demikian, dengan umurnya yang sudah melewati setengah abad itu, IMDI justru mengalami degradasi dan dilematis yang parah. Terlalu banyaknya masalah dan dinamika yang tidak sehat serta menjamurnya paham senioritas dan issu sektarianisme ego asal daerah menjadikan IMDI menjadi sempit dan tertutup (Eksklusif). Beberapa pengurus IMDI meminta untuk diapresiasi atas kerja masa lalunya meski minim prestasi.

Gerakan ekspansi ke provinsi lain di luar sulsel justru tidak bertahan lama. Wawasan intelektual dan kajian kemahasiswaan, keagamaan dan kebangsaan sangat langka didapati di komisariat. kampus DDI yang tersebar hampir di seluruh kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan justru dikuasai organisasi warna lain, lucunya sebagian warna itu menarik kader IMDI dengan kalimat jebakan "IMDI dan ini kan sama ji" menipu kader IMDI agar lebih memprioritaskan warna lain daripada IMDI itu sendiri. Parahnya lagi, beberapa senior pengkhianat dibeberapa daerah justru mengajak dan membesarkan warna lain di kampus DDI. 

Kehadiran Pimpinan Wilayah  IMDI Sulawesi Selatan  yang diharap mampu menekan degrasi ini justru menjadi beban dan membawa masalah baru. Alih-alih ingin mengepakkan sayapnya di daerah lain, PW IMDI Sulsel justru mematikan cabang IMDI yang sudah hidup didalamnya sedari dulu dengan kerja keras. Cabang Pangkep dan Sidrap adalah saksi korban bisu dari kediktatoran Pimpinan Wilayah atas kebijakan organisasi yang tidak bijak membunuh cabang tersebut. Alhasil warna organisasi lain yang sudah haus ingin menguasai mahasiswa di kampus DDI berlomba-lomba memangsa mahasiswa DDI  sedangkan PW hanya sibuk nongkrong dan konsolidasi omong kosong membentuk cabang baru yang sampai hari ini tidak jadi-jadi. Lalu apa prestasinya?  yang dikerja apa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir? bermanfaatkah itu untuk cabang? jika tidak, kehadiran PW IMDI Sulsel perlu dievaluasi secara serius kalau perlu dibubarkan. kehadiran PP IMDI memegang tanggung jawab penuh.

Hery Syahrullah sebagai ketua formatur PP IMDI yang akan dilantik dengan visi misi Literasi, Diskusi dan Aksi memberi gambaran masa depan IMDI yang belum jelas. Menurut hemat penulis, visi misi seperti itu adalah visi misi dengan kualitas setingkat komisariat, atau jenjang pertarungan di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau pemaparan Visi Misi ditingkat kampus, sedangkan yang akan dilantik memegang kendali pada tingkat Nasional, yang punya ranah gerakan seluruh Indonesia. Terminologi Aksi yang menjadi visi misi ketiga sangat buram, Aksi apa yang mau diperbuat? sedangkan kader butuh Aksi dan gerakan yang jelas.

Visi misi ketua PP IMDI semestinya harus sesuai kualitas dan standar jenjang kepemimpinannya seperti membawa nama IMDI ke kancah Nasional, mampu bersaing dalam perebutan politik DPP KNPI, diperhitungkan oleh Negara dan menjalin kolaborasi dengan lembaga negara ditingkat pusat, tercatat dan  diperhitungkan oleh Kesbangpol juga dalam Kemenkumham. Tidak hanya itu, PP IMDI juga harus mulai diperhitungkan oleh organisasi Cipayung Plus dan mampu terlibat didalamnya, mengawal issu-issu kebangsaan dan keagamaan, bermanfaat bagi masyarakat, mampu mempengaruhi kebijakan publik ditingkat Nasional dan masih banyak lagi. Visi misi ini terlalu tinggi, tetapi itulah tingkatan kualitas bagi seorang pemimpin IMDI ditingkat pusat.

Ada begitu banyak tugas PP IMDI kedepan jika melihat realitas dan dinamika IMDI di akar rumput. Kolaborasi serta jago memainkan Political lobbying ditingkat Nasional adalah pintu masuk kedalam masa depan IMDI yang lebih cerah serta berwibawa dan disegani publik. tetapi agaknya pembaca akan merasa ilfill membaca opini penulis karena terlalu melangit. Ada beberapa tugas akar rumput yang mesti diselesaikan dari dulu. ini menjadi batu pondasi kekuatan IMDI membangun gerakan dan kolaborasi kedepan. Tanpa memperhitungkan hal dasar ini, saya sebagai penulis belum bisa keluar dari rasa pesimis akut menerawang masa depan IMDI yang suram.

Merawat Tradisi Intelektual

Sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan dimana pun dan apapun modalnya adalah intelektual. Seorang mahasiswa tidak boleh berkata dan bertindak tanpa disertai pertimbangan dasar ilmiah dan intelektual serta punya dasar argumentasi yang rasional. Inilah yang membedakan IMDI dengan masyarakat lain. Bangunan intelektual yang rapuh menjadi kelemahan kader IMDI secara holistik. Kurangnya kajian intelektual, malas membaca, malas diskusi menjadikan landasan modal intelektual IMDI keropos, alhasil mahasiswa yang tertarik dengan tujuan IMDI yang paripurna dan moderat terhalang dengan realitas kualitas kader yang lemah serta tidak mampu survive dengan kualitas mahasiswa lain. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa banyak kader IMDI yang setelah di Diklat Kader Dasar (DKD) menghilang dan beberapa fakta mereka justru masuk dan aktif di warna lain. Miris.

Tipe kader yang kritis dan menyumbang ide serta gagasan yang konstruktif untuk IMDI justru dijadikan musuh dan dikucilkan. Karakteristik kader yang sering mengkritisi IMDi adalah bentuk kasih sayang dan cinta yang menyamar dalam bentuk kritikan, begitu kata para pujangga. Gelombang kader ini perlu dirawat karena mampu memberi warna dan dinamika sehat di tubuh IMDI. Salah satu kelemahan IMDI adalah terlalu banyak melahirkan kader yang tunduk, patuh serta meng-agung-kan senioritas seperti tuhan. Kader yang kritis dan punya pandangan holistik dari sudut lain memberi corak intelektual.

Selain malas kajian, diskusi dan membaca, Pimpinan IMDI tidak menyediakan sebuah konsep dasar kajian intelektual bagi kader di seluruh Nusantara. Ini membuat para kader bingung mau buat kajian seperti apa? sebab tidak pernah ada konsep kajian yang jelas. Ini tentu dosa besar para pimpinan IMDI yang terlalu nyenyak tidurnya disamping kader yang terombang ambing mau buat apa. Dalam momentum Rakenas ini, penulis berharap ada gagasan serta ide cemerlang yang konstruktif dengan membaca realitas IMDi hari ini dengan kondisi masa depan kader. Tentunya, pola dan doktrin lama yang mengungkung ide-ide segar yang selalu dibangun para senior perlu ditinggalkan. Ruang pertarungan gagasan di Rakernas nanti perlu terbuka dan menerima semua saran dan ide. Tetapi sayangnya, panitia Rakernas justru membatasi jumlah kader sebagai peserta penuh satu orang dan peninjau satu orang tiap tingkatan, sepertinya memang IMDI tertutup dan membatasi dirinya dari corak ide dan gagasan yang cemerlang, padahal banyak kader IMDI siap memberi bantuan gagasan tapi justru dibatasi, fenomenai ini membunuh kualitas asas demokrasi IMDI. Dengan mempersipakan kader yang berpikiran terbuka, melampaui zaman serta konstruktif dalam forum Rakernas dengan membaca peluang masa depan global, penulis tentu akan sangat mengapresiasi.

Para pimpinan yang akan dilantik perlu prihatin para krisis intelektual di IMDI dan mampu menawarkan sesuatu yang memenuhi dahaga intelektual para kader di akar rumput. Aktifitas ritual yang selama ini di idolakan pimpinan IMDI perlu direkonstruksi menjadi gerakan Intelektual spiritual agar kader mampu survive ditengah krisis intelektual dan masa depan bangsa. IMDI perlu merawat Tradisi Intelektual bermula dari akar rumputnya.

Menata Administrasi

Sebagai seorang mantan Sekretaris Umum yang gagal, penulis belum menemukan tipe model administrasi yang benar dan dibenarkan secara organisasi. Betapa tidak, model persuratan ditingkat PP, PW, PC hingga Komisariat dan Rayon berbeda-beda. Jika ternyata ada kesengajaan dalam perbedaan itu seharusnya ada dalam pedoman administrai. Tetapi juga tak ada.

Ini juga yang menjadi kelemahan yang disengaja. Model dan bentuk admnistrasi IMDI yang carut marut sejak dari dulu memberi kesan bahwa solidaritas dan kesamaan ditubuh IMDI tidak begitu erat. Adanya berbagai versi persuratan yang berbeda semakin membuat dilema para pimpinan di akar rumput, maka tidak heran model persuratan di berbagai cabang selalu berbeda-beda dan tak sedikit mengikuti model persuratan dari organisasi lain. Beberapa senior yang minim prestasi haus apresiasi mengatakan itu bukan permasalahan besar. Bagi saya justru disitu kelemahan dan kekuatan sebuah organisasi terlihat dari ketatnya persuaratan.

Belum lagi pada banyaknya pelanggaran PD/PRT dihampir semua tingkatan. Lewatnya masa periodesasi tingkatan harus ditinjau ulang bukan malah dibiarkan berlarut-larut. Sebab itu melanggar aturan. PW IMDI Sulsel misalnya saat ini sudah hampir menginjak tiga tahun. Dalam aturan seharusnya 2 tahun. Belum lagi di cabang dan komisariat. Kita semua melanggar secara berjamaah, sehingga harkat dan martabat organisasi kita injak sendiri dan tidak dipedulikan lagi.

Masalah administrasi lain juga masuk pada bentuk logo IMDI. padahal sebetulnya logo yang benar sepanjang pengetahuan penulis adalah dalam bentuk segi empat, tetapi dalam aplikasinya banyak tingkatan menggunakan logo bundar dan itu lebih populer dibanding logo resmi. Logo bundar ini dipakai pada atribut lain seperti kaos, bendera, gantungan kunci, stiker, souvenir dan lain sebagainya. Lucunya ada juga yang menggunakan logo bundar itu pada persuaratan resmi. Ini tentu sebuah pelanggaran administrasi yang parah. PP IMDi perlu duduk bersama menindak dengan tegas pelanggaran PD\PRT ditingkat manapun sehingga yang menjadi acuan bukan lagi pimpinan atau senior melainkan PD\PRT yang disusun secara bersama dan demokratik.

Konsep Perkaderan

Penulis pernah beberapa kali terlibat dalam perkaderan IMDI di berbagai tingkatan komisariat dan cabang. dari hasil pengamatan tersebut tidak ditemukannya sebuah konsep perkaderan yang seragam. Output yang tidak jelas, serta mekanisme yang dijalankan masih konservatif dan tertinggal dan cenderung mengikuti pola peninggalan kolonialisme Belanda dan Jepang. Perbedaan materi dasar juga berbeda, mekanisme penanganan instruktur juga berbeda, terminologi yang digunakan juga variatif. Lalu dimana esensinya? Perkaderan kita selama ini hanya sekadar formalitas yang tak punya tujuan. Alhasil, banyak sekali keluaran DKD malah minggat, traumatis dengan perlakuan panitia dan instruktur yang terkesan membalaskan dendam. Mereka lari dari IMDI dan mencoba mencari ruang lain yang lebih baik lagi dan mereka tak pernah kembali lagi.

Dasar dan bangunan organisasi adalah kaderisasi. Sebab proses sakral itu menjadi kesan awal bagi calon bibit untuk dijadikan sebagai kader militan dan tentunya dipersiapkan menjadi pemimpin di IMDI. Namun masih sedikit kader dan Pimpinan IMDI yang punya kegelisahan yang sama tentang pentingnya konsep perkaderan yang tersistemanis. Dalam literaturnya, tidak pernah ditemukan sebuah konsep resmi mekasnisme perkaderan yang sebenarnya, apa output nya, prosesnya, pihak yang terlibat, inti materinya, penangananya, penyelesaian masalahnya serta agenda follow up nya dan lain sebagainya. Belum pernah ditemukan naskah tua itu. Hal ini membuat beberapa sistem perkaderan di tingkat cabang justru malah menggunakan pola perkaderan dari organisasi lain yang menjadi saingan IMDI dalam merebut eksistensi kader.

Pihak yang paling bertanggung jawab tentunya adalah PP IMDI sebagai pemegang kuasa tertinggi di IMDI. Rakornas kali ini diharapkan mampu menyelesaiakan problematika perkaderan yang ngambang dan tidak jelas akhirnya melahirkan kader yang tidak jelas pula. Semua pihak tentu memberi harapan pada pengurus PP IMDI yang masih panas-panas ini. Problematika dasar yang dari dulu belum terselesaikan mesti diatasi cepat. IMDI tidak lagi perlu berkutat dan harus keluar dari lingkaran setan pada masalah klasik yang itu-itu saja, sepele dan kekanak-kanakan. Saatnya IMDI berkolaborasi menyatukan kader, ummat dan bangsa menuju Indonesai yang kita dambakan bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun