Ibu ku mengaku tak melihat lama. Dia hanya melihatnya dalam hitungan detik itu pun saat kilat menyambar langit.  Meski pun telah lama gerombolan kuda itu  mendengar kan ringkikannya namun ibu ku tak melihatnya dari jauh. Tiba tiba saja gerombolan kuda itu terlihat di depan rumah.
Saya pun ikut merasakan sebab mendengar tapak kakinya menghujum bumi. Â Gerombolan kuda tak berkepala itu memiliki warna yang berbeda beda. Â Kebanyakan berwarna putih, merah kecoklatan dan hitam.
Saat melintas di depan rumah suara ringkihannya semakin melolong tinggi seolah telah dicambuk keras oleh pemiliknya. Kakinya semakin merancak ke tanah sehingga gemercik air terlihat menerpa tubuhnya. Semakin lama suaranya ringkikanyya semakin kecil hingga akhirnya menghilang dalam kegelapan.
Kembali hujan deras berlangsung.  Gemericik nya yang menerpa atap rumah kami seperti suara musik yang mengantar kami tertidur hingga pulas. Keesokan harinya, tentu kami berkumpul hendak  mendengarkan cerita horor gerombolan kuda tak berkepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H