"Huuuu....iyaseko Lalo anging"  suara ibuko terdengar dalam kegelapan. Bayangannya hanya beberapa kali  terlihat. Komat kamit mengucapkan kalimat itu jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah "huuu...wahai angin, melintas lah pada bagian atas rumah ini".  Suaranya menyatu bersama deru angin disertai hujan deras yang seolah mamutuk matuk atap rumah kami yang terbuat dari seng. Bunyinya sangat deras.  Dari balik tempat tidur, saya sesekali melihat ibuku. Berjalan dari sudut rumah ke sudut yang lain. Rambut ibu ku masih sangat panjang. Tak ada listrik kala itu, kampung kami belum cukup lama terbentuk sebagai kampung. Dahulunya, hutan lebat, jalan hanya setapak meskipun telah dilalui kendaraan menuju Ujungpandang.
Labawang. Ia dahulu dinamai Desa Saptmarga (Destamar) Labawang, Kabupaten Wajo. Luasnya tak seluas jarak mata memandang.  Hanya dua jembatan yang mengapit, warganya tak ada penduduk pribumi asli kampung itu. Semuanya berasal dari luar, Jawa, Makassar, Enrekang, Bone, Luwu dan  Sidrap. Menyatu dalam kampung itu, sebab ayah ayah kami adalah seorang prajurit yang komandannya sengaja tempatkan di suatu kampung yang  tak berpenghuni kecuali binatang, lahan luas dan hutan.
Jalan depan rumah kami masih lah rintisan. Belum beraspal. Jika anda pernah melihat jalan menuju seko Luwu Utara maka seperti itulah bentuknya. Tanah, masih proses pengerasan. Kubangan masih terlihat sana sini. Tepat depan rumahku, kubangan menganga cukup besar seperti selalu haus menanti hujan deras tiba. Jembatan masih terbuat dari pohon kayu dan pelepah pohon kelapa. Â Perompak, pencuri, binatang buas masih seringkali terlihat. Para perompak atau pencuri tentu tak berani memasuki kampung kami sebab ayah ayah kami masih muda, tampan dan atletis. Tentara. Ia masih menyatu dengan alam yang terbiasa makan apa saja yang ditemui.
Hujan tak henti hentinya. Deras tak terkira.  Gemercik air nya terdengar seolah menujum tajam di tanah seperti linggis. Begitu pula tempiasnya, masuk melalui sela sela dinding rumah ku yang terbuat dari pelepah pohon kayu. Tak ada cahaya masuk kecuali jika sedang kilat disertai guntur yang menggelegar.  Cahaya kilat masuk hingga ke dalam rumah kami. Melisaukan mataku kadang. Tetapi cahaya kilat itu membantu saya melihat ibu ku berlari lari kecil dari sudut rumah. Ia menjaga saya dan saudara saudara ku. Sementara ayahku masih perjalanan dari Ujungpandang ke  Labawang bersama beberapa sejawat tentaranya. Â
Semakin kulihat berkelebat semakin berdegup jantungku.  Model tidur ku berubah, berbentuk pistol oleh karena ketakutan.  Maka tibalah yang kekhawatirkan itu. Yang mana pada setiap malam ada ada saja bentuk seram yang kami dengar, rasakan dan saksikan.  Dari jarak yang cukup jauh, kudengar suara ringkikan kuda. Sekiranya pada tengah malam sekali, pukul 02.00 dinihari.  Semakin lama semakin terdengar. Tapak kaki nya pun semakin menentang tanah hingga saya mendengarnya cukup tajam. Kuambil bantal, menutup telingaku agar tak mendengarnya. "Ihiiiihihhihhiiii.......ihhihhhiiii......" ringkikan kuda semakin terdengar. Sementara hujan semakin deras. Tetapi suara tapak kuda dan ringkikan  justru mengalahkan suara derasnya hujan. Ia hanya hilang sesaat jika kilat menyambar.
Di kampung kami memang banyak cerita horor. Salah satunya gerombolan kuda yang tak berkepala kerap kali melintas pada malam hari. Apalagi jika hujan deras tiba.  Saya tak pernah melihatnya tetapi orang tua kami kerap kali  melihat dan bercerita.
Tentang segerombolan kuda tak memiliki kepala. Â Yang nampak di mata hanya bagian perut hingga kaki. Bahkan ada pula hanya bagian paha hingga tapak kaki nya. Bunyi tapak nya pun ter pelatuk sangat keras. Â Sehingga air tak kuasa berdiam diri jika di pelatuknya. Terbersit cukup kencang.
Platak platak platak platak platak....
Malam itu terdengar sangat banyak. Â Kulihat ibuku mengintip melalui celah dinding rumah. Sesekali ia berkomat-kamit , membacakan beberapa surah Al Qur'an. Juga ber zikir. "Lailaha Ilallah", jika kudengar lafaz ini maka semakin merinding bulu kuduk. Menandakan gerombolan kuda tak berperkala itu semakin mendekat melintas di depan rumahku. Â Namun malam ini terdengar ada yang lain lirih ibuku. Sebab mendengar suara beberapa orang yang memerintahkan kuda agar berlari kencang.
"Huussshhhh....husshhhhh...haee......hoooooooooheeee......huuuhhhhhhh....' kira kira terdengar tiga suara orang yang berbeda. Â "Mana ada orang keluar tengah malam seperti ini" bisik ibuku yang kudengar samar samar. Â Mataku terpejam rapat rapat berusaha agar cepat pagi, terbit matahari. Kututup dua telingaku menggunakan tangan tetapi suara itu semakin mendekat. Â "Subhanallah ...Allahu Akbar...." suara ibu ku semakin meninggi seiring suara gerombolan kuda semakin mendekat. "Engkani....Engkani....Engkani". Artinya, sudah tiba, telah muncul.\
"Astaga, tak satupun orang. Tetapi suara orang lebih kencang" desir ibuku.
"Ohhhh ya Allah.kuda kuda itu  tak satupun memiliki kepala" ibu ku bercerita sendiri, mungkin sambil menguatkan keberaniannya tetapi sangat jelas saya mendengarnya.
Gerombolan kuda itu semakin terdengar ringkihanya.  Tak jelas pula tiba tiba saja nampak terlihat di mata ibuku. Padahal hampir sejam kami menunggu agar kuda itu  melintas. Begitu pula tetangga kami, seisi kampung  menanti nya sebab selama gerombolan kuda itu belum melintas seluruh isi kampung tak ada yang tidur.
Ibu ku mengaku tak melihat lama. Dia hanya melihatnya dalam hitungan detik itu pun saat kilat menyambar langit.  Meski pun telah lama gerombolan kuda itu  mendengar kan ringkikannya namun ibu ku tak melihatnya dari jauh. Tiba tiba saja gerombolan kuda itu terlihat di depan rumah.
Saya pun ikut merasakan sebab mendengar tapak kakinya menghujum bumi. Â Gerombolan kuda tak berkepala itu memiliki warna yang berbeda beda. Â Kebanyakan berwarna putih, merah kecoklatan dan hitam.
Saat melintas di depan rumah suara ringkihannya semakin melolong tinggi seolah telah dicambuk keras oleh pemiliknya. Kakinya semakin merancak ke tanah sehingga gemercik air terlihat menerpa tubuhnya. Semakin lama suaranya ringkikanyya semakin kecil hingga akhirnya menghilang dalam kegelapan.
Kembali hujan deras berlangsung.  Gemericik nya yang menerpa atap rumah kami seperti suara musik yang mengantar kami tertidur hingga pulas. Keesokan harinya, tentu kami berkumpul hendak  mendengarkan cerita horor gerombolan kuda tak berkepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H