Mayoritas fraksi di dewan menolak usulan pemerintah tentang mekanisme pemilihan kepala daerah tidak dalam satu paket. Perubahan Undang-undang Pemerintah Daerah menjadi tiga undang-undang menyimpan banyak pasal krusial.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi masih keukeuh dengan pendiriannya untuk mengajukan klausul pemilihan gubernur dan bupati tidak dalam satu paket. Ia mengusulkan wakil bupati dan wakil gubernur ditunjuk langsung. Usul tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang Pemilihan kepala Daerah, yang dipaparkannya dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu.
Ia juga tak bergeming dengan protes yang dilontarkan sejumlah fraksi DPR. “Itu satu dua fraksi saja (yang protes), tapi itu masih harus didalami,” ujarnya kepada Prioritas.
Mewakili pandangan pemerintah, ia mengajukan opsi gubernur dan bupati dipilih tidak satu paket dengan wakilnya. Wakil gubernur dan wakil bupati ditunjuk oleh gubernur atau bupati terpilih, bisa juga dari pegawai negeri sipil yang ditunjuk pusat. Opsi lain, gubernur dan bupati dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
RUU Pilkada adalah satu dari tiga RUU hasil perubahan UU No 32 tentang Pemerintah Daerah. Lainnya adalah RUU Pemerintahan Daerah dan RUU Desa, yang tengah memasuki tahap pandangan awal fraksi di DPR. Sejauh ini, muncul belasan isu krusial terkait “pemecahan” UU tersebut menjadi tiga bagian tersendiri. Kendati belum masuk pembahasan pasal-pasal, paparan Gamawan siang itu telah membetot banyak kritik anggota dewan.
Fraksi Demokrat satu suara dengan menteri Gamawan, kendati memberi beberapa catatan soal wakil kepala daerah yang diangkat dari jabatan karir. Fraksi Golongan Karya, sahabat Demokrat di koalisi, berpandangan lain. Selain mempersoalkan gubernur yang dipilih oleh DPRD, beringin juga tak setuju jika wakil gubernur diangkat dari jabatan karier. Tetapi Golkar setuju adanya klausul yang melarang keluarga incumbent maju calon kepala daerah.
Sementara kubu banteng moncong putih berpandangan, tetap ingin kepala daerah dipilih secara langsung dan wakil kepala daerah dipilih sepaket dengan kepala daerah. Suara banteng ini diamini Fraksi Amanat Nasional, Hanura, dan Kebangkitan Bangsa. “Pandangan serupa diberikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD),” tutur sumber Prioritas di DPR.
Penolakan kubu banteng ini beralasan. Mengacu pada UU Pemerintahan Daerah, fraksi banteng menilai RUU tersebut merupakan satu kesatuan dari sistem pemerintahan daerah. Kepala daerah, yang secara teks konstitusi disebut gubernur, bupati, walikota adalah pengertian yang bermakna institusional, bukan personal. “Dua-duanya harus dipilih, bukan ditunjuk,” ujar legislator asal PDIP, Arif Wibowo.
Penunjukan amat mengkhawatirkan karena memiliki kelemahan. Jika terjadi sesuatu di tengah jalan, maka legitimasinya tidak cukup kuat untuk menggantikan. Sementara pemilihan kepala daerah oleh DPRD dinilai akan menutup partisipasi rakyat dalam pemerintahan, karena memilih langsung merupakan satu- satunya akses rakyat dalam pemerintahan. “Kalau dipilih DPRD, di mana rakyat bisa ikut berpartisipasi?”
Persoalan paket dalam sistem pemilihan kepala daerah menjadi problematik karena secara jelas tak diamanatkan di dalam konstitusi. Selain tak menyebut secara eksplisit wakil kepala daerah, sesuai Pasal 18 UUD 1945, yang dipilih secara demokratis hanya kepala daerah. “Justru UU Nomor 32 Tahun 2004 itu yang melanggar, karena payung hukum di atasnya tidak ada amanat tentang itu,” ujar pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, Kamis pekan lalu.
Pemerintahan daerah yang rentan dinilai Zuhro perlu dibuat inline dengan sistem presidensial yang ada. Sehingga bisa dimengerti jika pemerintah, mengusulkan tidak usah dipaketkan. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kepala daerah mendapat pasangan yang cocok, sehingga kinerja selama lima tahun bisa seiring.