Ratusan ilustrasi dan tembang dolanan anak-anak dipamerkan. Gambaran sejarah manusia dan dunianya yang terserak dalam dolanan anak-anak.
Di bawah pendar cahaya bulan purnama, mengenakan baju warna-warni, sepuluhan anak gadis riang bermain. Selain menyanyi dan menari, beragam dolanan mereka mainkan di halaman rumah yang jembar. Sesekali membentuk kelompok kecil secara bergantian, dengan suka cita tembang Ilir-ilir, Sluku-sluku batok, dan tembang tradisional lainnya mereka nyanyikan.
Tak ada perintah yang menyuruh mereka berkumpul. Tapi daya tarik terang bulan purnama, membawa mereka larut dalam arena bermain bersama tetangga dan saudara. Ini menjadi tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun bagi kalangan bocah di desa-desa. Tak ada yang sedemikian menyenangkan selain bermain di bawah taburan bintang-bintang. Setiap kali lantunan tembang tiba di akhir bait, bersama-sama mereka teriak lantang: sorak hore!
Dunia kanak-kanak yang riang gembira itu serasa hadir kembali di halaman Bentara Budaya Jakarta, Selasa pekan lalu, menandai dibukanya Pameran Ilustrasi Dolanan Anak yang dipamerkan hingga 3 Juni mendatang. Digelar sebagai upaya melestarikan karya para pujangga tradisional yang kian tergerus zaman, kali ini pameran kedua setelah sebelumnya digelar di Yogyakarta sebulan silam.
Tembang dan dolanan anakanak ini, kini tak hanya sepi dari perhatian publik, tapi juga cenderung diabaikan oleh negara. Padahal, dalam tembang dolanan tak hanya termuat rekaman penting sejarah dan sosiokultural masyarakat pada zamannya. “Ini sebuah usaha untuk memihak pada kesenian yang terpinggirkan,” kata pengelola Bentara Budaya, Hariadi Saptono.
Ada ribuan tembang dolanan di sejumlah pelosok nusantara yang begitu kuat menyimpan kekhasan tradisi dan budaya, keunikan sosiohistoris, hingga pesona arkais yang melegenda. Dari dolanan anak-anak dapat terbaca ciri khas sebuah kultur yang dibawanya.
Dokumentasi dolanan anak-anak diakui budayawan Sindhunata, kurator pameran ini, dapat mengantar kita pada perenungan kembali, bahwa permainan tak sekadar data dari kultur, tapi sebaliknya, kulturlah yang melahirkan permainan. Permainan melekat pada manusia dan kehidupannya, karena itu permainan bagi dia menjadi muasal dari kultur.
Memerlukan waktu sekira dua bulan untuk mengumpulkan tembang, berikut beragam jenis permainan anak dari berbagai pelosok nusantara. Termasuk di dalamnya beragam ilustrasi, teks, berikut notasi tembang dolanan yang di dalamnya menyimpan kisah teladan dengan latar sosiologis. Ilustrasi dolanan yang berukuran kecil membuat Hermanu, pelukis dan kurator seni rupa, harus menggelar ratusan kanvas untuk melukisnya ulang dalam ukuran besar.
Hermanu merekonstruksi dan mencoba menghidupkan kembali ilustrasi dan tembang dolanan, menggambar ulang dengan pewarnaan dan suasana baru, serta mendatangi sejumlah kampiun tembang dolanan yang masih tersisa. Ia juga merujuk pada buku yang tersimpan di Museum Fatahilah karangan H. Overbeck, ditulis tahun 1930-an, yang memuat 690 tembang dolanan. “Dari penelitian kami sebetulnya ada lebih dari 2 ribu tembang dolanan,” ujarnya.
Melengkapi pameran, buku bertajuk Ilir-ilir: Ilustrasi Tembang Dolanan, berisi kompilasi 150-an tembang dolanan anak, 41 ilustrasi serta 30-an permainan diterbitkan sebagai hasil rekonstruksi atas berbagai sumber. Dokumentasi tak dimaksudkan menghadirkan kembali memori dolanan tradisional agar mengkilap atau pun melunasi hasrat memutar romantisme sebagai klangenan (kegemaran—red) belaka.
Tembang yang populer sejak kurun abad 15 itu sengaja dipilih menjadi halaman depan pameran. Selain unik, mudah dinyanyikan, dan populer, syair gubahan pujangga Islam nusantara tersebut diyakini menyimpan makna spiritual yang dalam. Tak hanya populer dalam keseharian dolanan bocah, Ilir-ilir berisi nasihat agar tak menyia-nyiakan kesempatan guna berbuat kebajikan.