Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Sunyi Seorang Monsinyur

29 Mei 2012   08:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Garin Nugroho mengangkat kisah nyata uskup pribumi pertama, Mgr. Albertus Soegijapranata, ke layar perak. Menjadi kritik bagi pemimpin masa kini.

Pria berkacamata minus itu duduk tenang di antara relawan pejuang yang tengah menyiapkan nasi bungkus untuk desa sekitar Yogyakarta di awal masa gerilya. Ia berpesan agar penduduk dan pejuang lebih dulu merasa kenyang ketimbang para imam gereja. “Para imam sebaiknya lebih dulu merasa lapar ketimbang umatnya,” tutur Monsinyur Albertus Soegijapranata kepada Lantip, pimpinan pemuda pejuang gerilya di Yogyakarta.

Pada adegan berikutnya, kepada Lantip yang datang tergopoh- gopoh melihat kenyataan pahit datangnya agresi Belanda II, dengan tegas ia berpesan agar ikut mengobarkan perang gerilya yang dimaklumatkan Jenderal Soedirman.” Ini saatnya kita terpanggil mempertahankan hak Allah dan hak bangsa kita. Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya. Semua merupakan satu keluarga besar kemanusiaan.”

Penggalan menyentuh itu menjadi bagian dari Soegija, film besutan sineas kenamaan Garin Nugroho yang dijadwalkan hadir di layar lebar mulai 7 Juni mendatang. Soegija bercerita tentang perjuangan Monsinyur (Uskup) Albertus Soegijapranata melawan penjajah Jepang dan Belanda saat republik dibekap Perang Pasifik pada 1940-1949.

Jika Proklamator Soekarno- Hatta bergerak di wilayah politik praktis dalam pentas politik masa itu, Romo Kanjeng, panggilan yang diberikan warga kepadanya, bergerak di jalan sunyi dengan menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia melalui jalur diplomasi gerejani. Melalui artikel yang ia kirimkan ke media asing, serta surat-menyurat antara dirinya dengan tokoh semacam Sjahrir dan Soekarno, ia berjuang secara silent diplomacy. Ditemani Koster (pembantu uskup) Toegimin, diperankan Butet Kertaradjasa, ia berkeliling Semarang untuk datang ke desa-desa dan mendengar keluhan penduduk di sana.

Di tengah amuk Perang Pasifik yang ikut mengoyak republik, sekuat tenaga ia memandu religiusitas warga dalam perspektif nasionalisme yang humanis. Jejaknya tak pernah dilupakan sebagai motor perundingan damai antara pihak republik dan sekutu, termasuk Belanda dan Jepang di tengah perang lima hari yang mengoyak Semarang. Dengan begitu memikat, Garin berhasil menampilkan sosok Soegija, diperankan sastrawan Nirwan Dewanto, yang mendukung pengorganisasian gerakan pemuda dan pelayanan sosial untuk mendukung kemerdekaan.

Soegija bahkan memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai dukungannya atas pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejarah mencatat jasa besar pria kelahiran Solo, 25 November 1896, ini saat republik yang baru lahir agar segera mendapat pengakuan dunia internasional. Diplomasi yang ia tempuh membuahkan hasil berupa pengakuan Tahta Suci Vatikan atas Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Garin memang sutradara yang kenyang pengalaman. Dia telah menyutradarai banyak film bagus dan serius, di antaranya Daun di Atas Bantal, Mata Tertutup, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Kisah Sebening Kasih. Kini, untuk pertama kalinya, publik sinema Indonesia bisa menikmati karya sineas kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1961, ini yang paling ngepop dan renyah. Pendekatan sejarah populer, dengan bahasa hari ini, sengaja ia pilih dengan menggabungkan kisah nyata Mgr. Soegijapranata dengan tafsiran kisah-kisah di tengah revolusi yang diambil dari berbagai sumber.

Film yang dibuat dengan latar belakang Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, antara lain Semarang, Ambarawa, Magelang dan Klaten ini juga didukung pemain asing, dari Belanda dan Jepang. Pelibatan banyak aktor dan aktris asing diakui Garin merupakan usaha menghadirkan situasi multikultur dalam karyanya.

Penggunaan beragam bahasa, Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang, dan Latin membawa Soegija pada penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) belum lama ini. “Dalam Soegija, Garin berkisah tentang multikulturalisme,” kata antropolog Moeslim Abdurrahman saat press screening di 21 Setiabudi, Kamis pekan lalu.

Menghidupkan peristiwa di masa revolusi bukanlah perkara mudah. Digagas sejak lima tahun silam, dengan diawali berbagai riset yang panjang dan melelahkan, akhirnya dapat diwujudkan tahun ini. Lamanya proses karena didahului riset mendalam terhadap foto-foto, lokasi, saksisaksi, dan juga sejarah kehidupan masyarakat di masa itu.

Tak heran jika Soegija menjadi film termahal dalam sejarah penyutradaraan Garin, menelan biaya hingga 12 miliar. Tapi uang sebesar itu masih tergolong kecil untuk film sekolosal Soegija. “Sang Pencerah itu sampai Rp 14 miliar,” tuturnya mengomentari film dakwah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, besutan sineas Hanung Bramantyo.

Modal sebesar itu dikatakan Garin tidak seluruhnya keluar dari kantong pribadi atau pun produser Soegija, Djaduk Ferianto, tapi dari sumbangan masyarakat melalui Pusat Kateketik (Puskat) di Yogyakarta, gereja, dan sejumlah komunitas di luar Katolik. “Dana berasal dari penjualan kupon yang dilakukan Puskat,” ujarnya.

Skenario yang ditulis Armantono telah berhasil mengolah seabrek cerita dengan alur dan plot yang jadi luar biasa setelah menggali kembali catatan- catatan pribadi Soegija, para sahabatnya, kisah revolusi, buku harian serdadu Jepang dan Belanda. Hingga kisah penduduk kampung di tengah amuk perang.

Oleh karena itu, dakui Garin, film yang melibatkan lebih dari dua ribu pemain ini bisa dinikmati semua kalangan, dari anak sekolah dasar hingga lansia. Ia memastikan Soegija bukan film sejarah pribadi Romo Kanjeng atau pun gereja. “Ini bukan film tentang dakwah atau agama,” ujarnya menanggapi tudingan sejumlah kalangan.

Kendati disajikan dengan keindahan ala Hollywood dan Eropa, film berdurasi 115 menit ini tetap kental bernuansa drama Asia yang “nyentrik” dan membetot pesona. Soegija, berhasil menampilkan Romo Kanjeng sebagai sosok yang relevan dalam kondisi kekinian. Banyaknya politikus yang minus mental politik dan hanya menjadi benalu negara membuatnya gundah. “Masih banyak fatalisme, egoisme, chauvinisme, dan fasisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat,” tulisnya dalam sebuah catatan.

Soegija mengisyaratkan kepemimpinan yang bertumpu pada belas kasih, humanisme transendental yang sonder meledakledak. Sepertinya Garin hendak menunjukkan kepada generasi sekarang bahwa Indonesia pernah punya pemimpin yang mengedepankan kemanusiaan.

Sebagaimana para pejuang di eranya, Romo Kanjeng telah mewakafkan dirinya untuk hidup dan kehidupan, untuk 100 persen kemanusiaan dan untuk 100 persen republik. Generasi masa kini perlu melihat dan belajar kembali pada kepemimpinannya.[] Anom B Prasetyo

Dimuat di Mingguan Prioritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun