Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Sunyi Seorang Monsinyur

29 Mei 2012   08:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:39 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak heran jika Soegija menjadi film termahal dalam sejarah penyutradaraan Garin, menelan biaya hingga 12 miliar. Tapi uang sebesar itu masih tergolong kecil untuk film sekolosal Soegija. “Sang Pencerah itu sampai Rp 14 miliar,” tuturnya mengomentari film dakwah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, besutan sineas Hanung Bramantyo.

Modal sebesar itu dikatakan Garin tidak seluruhnya keluar dari kantong pribadi atau pun produser Soegija, Djaduk Ferianto, tapi dari sumbangan masyarakat melalui Pusat Kateketik (Puskat) di Yogyakarta, gereja, dan sejumlah komunitas di luar Katolik. “Dana berasal dari penjualan kupon yang dilakukan Puskat,” ujarnya.

Skenario yang ditulis Armantono telah berhasil mengolah seabrek cerita dengan alur dan plot yang jadi luar biasa setelah menggali kembali catatan- catatan pribadi Soegija, para sahabatnya, kisah revolusi, buku harian serdadu Jepang dan Belanda. Hingga kisah penduduk kampung di tengah amuk perang.

Oleh karena itu, dakui Garin, film yang melibatkan lebih dari dua ribu pemain ini bisa dinikmati semua kalangan, dari anak sekolah dasar hingga lansia. Ia memastikan Soegija bukan film sejarah pribadi Romo Kanjeng atau pun gereja. “Ini bukan film tentang dakwah atau agama,” ujarnya menanggapi tudingan sejumlah kalangan.

Kendati disajikan dengan keindahan ala Hollywood dan Eropa, film berdurasi 115 menit ini tetap kental bernuansa drama Asia yang “nyentrik” dan membetot pesona. Soegija, berhasil menampilkan Romo Kanjeng sebagai sosok yang relevan dalam kondisi kekinian. Banyaknya politikus yang minus mental politik dan hanya menjadi benalu negara membuatnya gundah. “Masih banyak fatalisme, egoisme, chauvinisme, dan fasisme yang mengganggu kehidupan bermasyarakat,” tulisnya dalam sebuah catatan.

Soegija mengisyaratkan kepemimpinan yang bertumpu pada belas kasih, humanisme transendental yang sonder meledakledak. Sepertinya Garin hendak menunjukkan kepada generasi sekarang bahwa Indonesia pernah punya pemimpin yang mengedepankan kemanusiaan.

Sebagaimana para pejuang di eranya, Romo Kanjeng telah mewakafkan dirinya untuk hidup dan kehidupan, untuk 100 persen kemanusiaan dan untuk 100 persen republik. Generasi masa kini perlu melihat dan belajar kembali pada kepemimpinannya.[] Anom B Prasetyo

Dimuat di Mingguan Prioritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun