Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang Hukum Syariat di Brunei

16 Mei 2014   17:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika pemerintah hendak menerapkan hudud kepada ahlul kitab, muncul masalah baru. Siapa yang berhak memutuskan sebuah agama dianggap ahlul kitab. Apakah pengadilan harus menggunakan keyakinan terdakwa sebagai standar, atau standar pengadilan sendiri. Persoalan ini diakui An-Naim sangat problematik dan tak pernah bisa diselesaikan oleh peradilan Sudan (Dekonstruksi Syariah II, 1996; 46).

Serupa dengan kasus-kasus yang terjadi di Arab Saudi dan Afghanistan. Syariat Islam dilaksanakan sangat simbolistik, sehingga kerap melecehkan akal sehat. Dalam kasus-kasus nonpidana, penerapan syariat berdampak sangat mengkhawatirkan. Di Arab Saudi, perempuan dilarang menyetir mobil, dan di Afghanistan warga dilarang memutar kaset musik, karena keyakinan penguasa Taliban bahwa musik haram.

Praktis menyetir dan mendengarkan musik sulit dihindari manusia modern. Larangan tersebut agaknya didasari semangat, bahwa penerapan syariat pada masa kini berorientasi masa silam dari pola pikir ‘masyarakat zaman onta’. Masalah pokok pemberlakuan hukum syariat, terutama bukan apakah hukum itu bisa diterapkan atau tidak, tapi siapkah warga yang multiagama dan kultur itu menerima dampak buruk penerapannya.

Saya tidak menolak doktrin-doktrin Islam, khususnya menyangkut persoalan-persoalan hukum. Persoalan ini harus diihat dari perspektif perkembangan hukum Islam yang lebih luas. Kini yang harus diperjuangkan bukanlah bagaimana menerapkan hukum Islam secara formal, tapi bagaimana memasukkan moralitas Islam ke dalam hukum positif.

Hukum adalah produk dari sebuah mayarakat yang terus berkembang. Ketika Muhammad SAW menerapkan undang-undang Negara Madinah, Piagam Madinah, yang dijalankan adalah ‘hukum positif’ warga Madinah melalui konsensus bersama. Sangat sedikit dari hukum-hukum itu yang bersumber langsung dari teks Al Quran (Assyaukanie, 2001).

Sebagian besar klausul Piagam Madinah dibuat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan Nabi dengan masyarakat Madinah masa itu. Kendati mayoritas muslim, negara Madinah adalah sebuah pemerintahan yang menaungi warga yang multietnik dan multiagama. Bisa dimengerti jika konstitusinya dibuat berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan para penganut agama lain.

Sebagai warga negara tetangga, saya turut khawatir, jangan-jangan penerapan hukum syariat di Brunei Darussalam bukan hendak menolong agama Allah, seperti dikatakan Hassanal Bolkiah. Saya lebih melihat, langkah itu tak lepas dari perebutan pengaruh antarnegara adidaya yang kini tampak makin meruncing di kawasan.

Kekuatan etnis minoritas di sektor perekonomian, dapat disinyalir juga merupakan faktor yang tak bisa dipandang sepele. Kendati dugaan ini masih memerlukan tinjauan lebih kompleks, tak diragukan lagi, kandungan emas hitam di perut bumi Brunei Darussalam adalah bagian penting dari masa depan energi dunia.

Penerapan hukum syariat di dunia modern terbukti menimbulkan banyak masalah. Belajar dari kegagalan-kegagalan negara yang melegalkan peraturan semacam itu, penerapan syariat di Brunei agaknya bakal berujung pada tubir anomali yang sama. Langkah penguasa monarki Islam superkaya itu menjadi preseden buruk bagi penghormatan hak asasi manusia.[] *Peneliti Lembaga Kajian Kewilayahan dan Pertahanan, Jakarta. Dimuat di Harian Solo Pos, Jumat 16 Mei 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun