Dengan memberlakuan hukum syariat untuk semua warga negara, otoritas Brunei tak mempedulikan ragam keyakinan warganya. Kendati pemeluk Islam mayoritas, penerapan semacam ini diskriminatif dan potensial menimbulkan masalah baru. Brunei agaknya tidak belajar darikegagalan banyak negara yang telah melegalkan hukum syariat.
Alasan agama
Kecaman dari dunia internasional tak menyurutkan otoritas Brunei untuk melegalkan hukum syariat. Dia mengaku tidak peduli pada suara-suara sumbang. Penerapan hukum ini, hanya untuk mencari ridha Allah semata, bukan untuk mencari siapa yang suka atau tidak.
Disebut-sebut sudah mengajukan rencana penerepan hukum syariat sejak 1990-an, Sultan mengaku keputusannya didukung mayoritas etnis muslim Melayu, yang merupakan 70 persen penduduk Brunei. Otoritas Brunei meminta orang-orang tidak terlalu panik dan menganggap hukum Islam itu kejam. Hukuman yang ekstrem seperti rajam, harus melalui pembuktian yang detail di pengadilan.
Otoritas kejaksaan Brunei berkukuh, hukum syariat memperhitungkan hak-hak korban dan ahli warisnya, termasuk anggota keluarga. Berbeda dengan hukum perdata-pidana, dalam kasus pidana pembunuhan, ahli waris korban bisa memaafkan atau meminta kompensasi (diyat) sebelum hukuman dilaksanakan.
Selain itu, hukum syariat diyakini dapat menurunkan angka kriminalitas di Brunei. Sepanjang 2000 - 2008, tindak kejahatan meningkat tiga kali lipat. Pihak kesultanan mencatat, penyalahgunaan obat terlarang meningkat 50 persen pada 2012. Sultan menuding, masalah-masalah tersebut disebabkan oleh pengaruh dari luar yang berasal dari internet. “Islam adalah antivirus untuk melawan globalisasi,” tutur sultan, sebagaimana dilansir laman Reuters.
Pelajaran penting
Penerapan hukum syariat bukanlah barang baru. Dalam skala yang lebih kecil, hukum syariat telah diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak 2001. Pemerintah Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan sejak lama dikenal menerapkan hukum syariat.
Di tiga negara muslim tersebut, terutama menyangkut perkara pidana, hukum syariat sangat keras diberlakukan. Alih-alih dapat menegakkan keadilan dan memberangus kemunkaran. Meski diyakini sebagai amalan dari pesan tersurat kitab suci, dalam prakteknya hukum syariat sangat meresahkan dan diskriminatif.
Pelajaran bisa dipetik dari negara-negara muslim yang telah melegalkan hukum syariat. Kini semua negara yang menerapkan hukum syariat mengalami persoalan besar, baik karena benturan dengan hukum positif internasional maupun kelemahan implementasinya. Penerapan syariat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Seorang intelektual asal Sudan, Abdullah an-Naim, punya contoh menarik bagaimana hukum syariat di Sudan sangat tidak memadai ketika harus menerapkan hukum zina bagi warga non-muslim Sudan. Para pelaku zina dari ahlul kitab (non-muslim) tidak dikenakan sanksi pidana (hudud). Ketika sejumlah kasus menyangkut non-muslim terjadi, masyarakat menilai hukum Islam telah berlaku diskriminatif.