Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang Hukum Syariat di Brunei

16 Mei 2014   17:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anom B Prasetyo*

Brunei Darussalam menandai babak baru dalam sistem hukum pidana negaranya. Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, mengumumkan berlakunya hukum syariat di negara monarki Islam ini, awal Mei silam. Hassanal Bolkiah tanpa ragu menyebut penerapan hukum syariat sebagai 'prestasi besar’ yang telah diraih Brunei.

Keputusan menerapkan hukum syariat menurut dia tidak untuk senang-senang, tapi demi menaati perintah Allah seperti tertulis dalam Al Quran. Penerapan hukum ini, dikatakan Jaksa Agung Brunei Datin Hjh Hayati, melewati proses yang sangat ketat dan kompleks. Langkah ini menjadikan Brunei sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan hukum syariat.

Sekitar 55 peraturan tercantum di dalamnya. Diberlakukan secara bertahap, tahap pertama mengatur masalah keagamaan, seperti meninggalkan shalat Jumat, tidak menghormati bulan Ramadhan, dan menghasut orang untuk bercerai. Sanksi pada tahap ini berupa denda, penjara, atau denda dan penjara.

Setelah berjalan selama 12 bulan, tahap kedua diberlakukan. Tahap berlaku sanksi fisik, seperti cambuk atau pemotongan bagian anggota tubuh, yakni tangan atau kaki. Tahap ketiga berlaku setelah 24 bulan penerapan hukum tahap pertama, di mana hukuman mati dengan cara dirajam (dilempar batu hingga mati) dikenakan untuk pelaku kejahatan pemerkosaan, hubungan homoseksual, zina dan sodomi.

Diskriminatif

Hukuman berlaku untuk semua warga negara Brunei, termasuk mereka yang bukan pemeluk Islam. Dua pertiga warga negara berpenduduk 440 ribu ini beretnis Melayu Islam, dan sepertiganya memeluk Buddha, Kristen, Katholik, dan kepercayaan nenek moyang. Sebagian warga minoritas beretnis Tionghoa, dan mereka berperan amat penting dalam sektor perekonomian Brunei.

Kebijakan sultan yang telah berkuasa selama 47 tahun itu, tak diragukan lagi, memantik kekhawatiran kalangan minoritas. Selain puluhan ribu etnis Tionghoa Brunei, kalangan minoritas termasuk para pekerja migran di sektor perminyakan yang berasal dari Eropa. Lebih dari 30 ribu pekerja migran asal Filipina, termasuk di dalamnya.

Kalangan pegiat hak asasi manusia mengecam keputusan ini. Amnesty International, misalnya, menilai legalitas hukum syariat akan membawa Brunei kembali ke jaman kegelapan. Dalam pernyataan resminya, Amnesty menyebut langkah ini ejekan terhadap komitmen hak asasi manusia.

Sebagaimana Amnesty International, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar Brunei segera mencabut hukum ini. Sebelumnya, pada awal April lalu, PBB mendesak Brunei agar menunda penerapannya. Penundaan dimaksudkan agar hukum syariat ditinjau kembali, guna memastikan apakah memenuhi standar hak asasi manusia internasional.

Dalam hukum internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan yang sangat kejam. Selain tak manusiawi, hukum rajam merendahkan harkat manusia, karena itu dilarang dalam hukum internasional. Penerapan hukum ini potensial mendorong kekerasan lebih lanjut, termasuk diskriminasi terhadap perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun